Beban
Politik TVRI-RRI
Agus Sudibyo ; Direktur
Eksekutif Matriks Indonesia
|
KOMPAS, 03 Juni 2015
Melalui Rancangan
Undang-Undang Radio-Televisi Republik Indonesia (RUU RTRI), saat ini sedang
digodok upaya penyatuan TVRI dan RRI. Regulasi penyatuan dua institusi ini
menjadi prioritas legislasi DPR tahun 2015.
Pihak-pihak yang
mewakili TVRI, RRI, dan masyarakat sipil juga tengah membahas opsi status
kelembagaan, struktur organisasi,
desain operasionalisasi, dan pendanaan RTRI.
Penyatuan TVRI dan RRI
adalah gagasan yang masuk akal. Demi efisien anggaran, restrukturisasi
kelembagaan dan penguatan kinerja lembaga penyiaran publik, dua lembaga itu
layak untuk dilebur. Namun, pertanyaannya kemudian, dapatkah dipastikan UU
RTRI akan benar-benar memperkuat kedudukan lembaga penyiaran publik di
Indonesia? Apa kondisi politik faktual di DPR dan pemerintah telah kondusif
bagi upaya perwujudan lembaga penyiaran publik yang independen dan melayani
kepentingan publik?
Lembaga negara atau lembaga pemerintah?
Sebagai titik tolak,
mari kita simak rumusan TVRI dan RRI sebagai lembaga penyiaran publik dalam
UU No 32/2002 berikut ini: "lembaga
penyiaran yang berbentuk badan hukum yang didirikan oleh negara, bersifat
independen, netral, tidak komersial, dan berfungsi memberikan layanan untuk
kepentingan masyarakat".
Didirikan negara,
bersifat independen, netral, tidak komersial, dan melayani kepentingan
masyarakat! Di sinilah pokok masalah pelembagaan TVRI dan RRI sejauh ini.
Berbagai pihak belum dapat memahami esensi dari prinsip-prinsip yang sekilas
bertolak belakang itu. Didirikan negara, tetapi independen dan netral,
bagaimana mewujudkan?
RRI dan TVRI tidak
komersial, berarti tidak leluasa menerima iklan dan sponsorship layaknya
media penyiaran swasta. Padahal, semua orang tahu media penyiaran adalah
bisnis yang padat modal. Dari mana modal TVRI dan RRI? Dari anggaran negara,
APBN. Jika dari APBN, bagaimana RRI dan TVRI bisa independen?
UU Penyiaran No
32/2002 lahir dari semangat reformasi tata kelola pemerintahan dan dilandasi
perspektif demokrasi dalam pengelolaan sumber-sumber daya publik. Dalam
perspektif ini, negara dengan berbagai institusinya, pertama-tama, adalah
representasi masyarakat. Lembaga legislatif, eksekutif, yudikatif hadir untuk
mewakili dan melayani kepentingan masyarakat, dan bukan melayani kepentingan
partikular pejabat publik. APBN ditempatkan sebagai dana publik yang harus
dikelola untuk kepentingan masyarakat, dan bukannya dana milik pemerintah.
Dalam konteks inilah
dimungkinkan untuk melembagakan TVRI dan RRI sebagai lembaga penyiaran publik
yang didirikan dan dibiayai negara, tetapi tetap independen, netral, dan
melayani masyarakat. Persoalannya, sebagian besar dari masyarakat dan
kalangan pemerintah pada umumnya telanjur beranggapan bahwa lembaga yang
didirikan atau dibiayai oleh negara sudah semestinya berpihak kepada
kepentingan negara dan oleh karena itu independensi dan netralitas menjadi
tidak masuk akal. Kepentingan negara dalam konteks ini hampir selalu disempitkan menjadi kepentingan pemerintah
yang berkuasa.
Menggunakan APBN
dianggap sama artinya dengan menggunakan uang pemerintah, dengan konsekuensi
pemerintah berhak melakukan intervensi. Hal inilah yang terjadi dengan TVRI
dan RRI sejauh ini. Masih kuat pemahaman bahwa APBN yang dialokasikan untuk
TVRI dan RRI adalah dana pemerintah, bukan dalam pengertian dana publik.
Maka, terus muncul tuntutan agar TVRI dan RRI senantiasa berpihak kepada
kepentingan pemerintah yang sedang berkuasa. Tuntutan agar TVRI menyiarkan
acara Konvensi Partai Demokrat tahun lalu menunjukkan hal ini. Demikian juga
tuntutan agar TVRI dan RRI menyiarkan kegiatan-kegiatan pemerintah tanpa
melihat nilai beritanya.
Dengan kata lain,
belum terjadi perubahan cara pandang terhadap status TVRI dan RRI sebagai
lembaga penyiaran, serta dalam melihat pengelolaan APBN sebagai dana publik.
Sayangnya, hal yang sama juga masih bertahan di kalangan masyarakat. Sebagian
masyarakat masih melihat TVRI dan RRI sebagai media "pelat merah"
sehingga wajar jika keduanya cenderung menyuarakan kepentingan-kepentingan
pemerintah. Memori tentang TVRI dan
RRI sebagai sarana politik propaganda politik pemerintah pada era Orde Lama
dan Orde Baru masih membekas kuat dalam benak masyarakat.
Intervensi politik
Perubahan cara pandang
kalangan pemerintah terhadap posisi TVRI dan RRI adalah syarat utama jika
kita ingin memperkuat pelembagaan penyiaran publik di Indonesia. Tanpa
menyelesaikan persoalan ini, semua upaya merevitalisasi TVRI dan RRI,
termasuk dengan RUU RTRI, akan jatuh pada kondisi yang sama: rasa memiliki
pemerintah yang berlebihan terhadap lembaga-lembaga yang didirikan atau
didanai negara sehingga melanggengkan cara pandang hierarkis-struktural plus
sikap yang intervensionis.
Perlu dicatat, cara
pandang hierarkis-struktural itu juga terjadi di DPR. Hal ihwalnya adalah
fungsi legislasi, politik anggaran dan pengawasan atas kinerja TVRI dan RRI
menjadi kewenangan DPR. Dewan Pengawas TVRI dan RRI juga dipilih
oleh DPR. Maka, sebagian partai politik dan politisi Senayan juga terjangkiti
sindrom "rasa memiliki" yang berlebihan terhadap TVRI dan RRI.
Beberapa tahun
belakangan, rasa memiliki itu juga diekspresikan dalam sikap intervensionis
terhadap TVRI dan RRI. Beberapa partai politik atau politisi yang merasa
berkontribusi dalam politik anggaran TVRI dan RRI merasa layak mendapatkan
privilese dalam pemilihan Dewan Pengawas
dan (secara tidak langsung) Dewan Direksi TVRI dan RRI. Selanjutnya,
mereka juga berpikir untuk mendapatkan keuntungan dari proyek pembangunan,
pengadaan barang TVRI dan RRI, serta
dari kebijakan redaksi.
Perlu digarisbawahi,
aset dan pengaruh TVRI dan RRI, bagaimanapun, masih menggiurkan. TVRI Pusat berdiri di atas
lahan yang sangat luas, strategis, dan amat potensial dialihkelolakan ke
pihak swasta untuk proyek komersial, sebagaimana lahan bekas Taman Ria
Senayan di sebelahnya. Wacana tukar guling lahan TVRI sempat mengemuka pada
DPR periode lalu.
Dengan
mempertimbangkan konteks politik yang demikian ini, gagasan penyatuan RRI dan
TVRI seperti pedang bermata dua. Gagasan ini adalah peluang yang baik untuk
memperkuat eksistensi lembaga penyiaran publik di Indonesia. Namun, gagasan
itu juga berpotensi melemahkan lembaga penyiaran publik jika yang menonjol
dalam UU RTRI ternyata adalah penguatan wewenang DPR atau pemerintah dalam
mengontrol segi-segi kelembagaan dan operasionalisasi TVRI dan RRI. Seperti
kata sebuah adagium, "jika sudah memasuki ranah politik, segala sesuatu
bisa terjadi". ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar