Perennial
Wisdom
Komaruddin
Hidayat ; Rektor Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif
Hidayatullah
|
KORAN
SINDO, 23 Mei 2014
Kapan
pun diterbitkan, semua buku terasa baru ketika pertama kali dijumpai dan
dibaca. Sebagaimana juga setiap anak manusia yang baru terlahir seakan bumi
ini baru tercipta untuknya, padahal sudah lama dihuni oleh nenek moyangnya.
Ketika
kita membaca buku, seringkali merasakan di sana tak ada gagasan baru. Banyak
informasi dan pernyataan klasik yang diulang-ulang kembali. Ini amat
terasakan ketika kita membahas pesan moral, misalnya tentang kejujuran,
keberanian, kasih sayang, semangat saling tolong-menolong serta melayani, dan
sebagainya. Bukankah sejak zaman Yunani Kuno sampai sekarang gagasan tentang
kejujuran tak pernah berubah? Begitu pun teks kandungan kitab suci justru
selalu dijaga keasliannya.
Meski
diwahyukan ratusan atau ribuan tahun silam, kitab suci masih tetap menarik
dibaca dan direnungkan karena apa yang disajikan merupakan perennial and timeless wisdom atau alhikmah al-khalidah. Sebuah ajaran
dan pesan kebaikan abadi yang tak pernah lekang oleh waktu. Dalam ajaran
Islam, misalnya, tata cara dan adegan sembahyang memiliki bacaan baku yang
wajib dibaca berulang kali tanpa perubahan, dan itu sudah berlangsung sejak
belasan abad lalu. Meski diulang-ulang pesan dan kandungannya senantiasa
aktual dan relevan. Artinya, tidak semua yang klasik dan lama berarti buruk
dan mesti diganti.
Jika
kita perhatikan sejarah peradaban manusia, pada masa klasik antara Abad V sebelum
dan setelah Masehi, di berbagai belahan bumi muncul guru-guru peradaban yang
telah meletakkan dasar kebajikan moral dan ajaran ketuhanan dengan bahasa dan
latar budaya yang berbeda. Zaman itu ada yang menyebutnya sebagai axial age. Abad poros bagi peletakan
fondasi moral dan ketuhanan bagi manusia. Pada abad-abad itu lahir para nabi
dan orang-orang suci yang menyuarakan pesan langit sebagai pedoman hidup bagi
penduduk bumi.
Prinsip-prinsip
moral dan paham ketuhanan yang disebarkan oleh para rasul Tuhan itu
berkembang sampai tingkat kematangan jauh mendahului abad kelahiran sains dan
teknologi modern. Menariknya lagi, setelah Nabi Muhammad tak ada lagi sosok
nabi. Kalaupun ada yang mengaku dirinya nabi utusan Tuhan, ajaran dan
pengaruhnya tak mampu menyaingi para nabi-nabi sebelumnya yang oleh umat
Islam Nabi Muhammad diyakini sebagai pamungkasnya.
Dengan
mengamati ulang evolusi peradaban manusia, tampaknya Tuhan ingin menyampaikan
sebuah pesan bahwa silakan manusia melakukan eksplorasi dan pengembangan
sains serta ilmu pengetahuan dan teknologi ultramodern dengan anugerah nalar
yang telah diberikan, tetapi jangan sampai melepaskan landasan moral yang
sudah ditanamkan oleh para rasul-Nya. Kalau itu terjadi, prestasi iptek
modern tak menjamin membawa kebaikan dan kebahagiaan, sementara jauh-jauh
sebelumnya Tuhan telah mengingatkan melalui para rasul-Nya agar nilai
kebertuhanan dan moralitas harus menjadi fondasi.
Karenanya,
kita melihat dua orientasi pemikiran manusia. Dalam hal kreasi dan inovasi
bidangsains, para ilmuwanmesti menatap dan melangkah ke depan. Bahkan sains
cenderung dan bisa bersifat ahistoris. Namun dalam bidang agama dan
humaniora, kita diajak menghubungkan diri ke sumber masa lalu yang
menyediakan pesan wisdom of life .
Sumber masa lalu itu jika ditelusuri dan didalami akan memperkenalkan kita
pada guru-guru peradaban agung yang ajarannya pasti sejalan dengan bisikan
nurani kita terdalam.
Orang
beragama selalu ingin terhubung dengan sosok nabi pembawa ajaran suci yang
hidup ratusan atau ribuan tahun yang lalu. Membayangkan ingin hidup sezaman
dan berada di dekatnya. Sebaliknya, para ilmuwan sains melakukan eksplorasi
dan pengembaraan ke masa depan bagaikan mengejar kaki langit. Ilmuwan selalu
menatap dan melangkah ke depan, agamawan selalu menengok dan mencari akar
otentisitas ke belakang. Namun setelah pencari kebajikan abadi menemukan apa
yang dicari di belakang, mereka harus kembali lagi memasuki percaturan hari
ini dan berjalan menuju hari esok untuk mendampingi gerak laju para ilmuwan.
Dengan
demikian, apa yang disebut perennial
wisdom dan formula sains sesungguhnya saling isi mengisi, saling
bergandengan tangan, tidak boleh keduanya berpisah atau bahkan bermusuhan.
Kalau itu terjadi, maka bangunan peradaban dan kebudayaan akan keropos,
lumpuh dan ambruk. Dengan ungkapan lain, ajaran moral tanpa dukungan sains
tak akan mampu menyelenggarakan kehidupan yang nyaman dan sejahtera.
Sebaliknya, sains tanpa prinsip moral dan ketuhanan akan kehilangan dimensi
transenden, kehidupan menjadi mekanistis dan dangkal. Iptek mampu menawarkan
fasilitas hidup secara teknis agar terasa nyaman dan mudah dijalani.
Tetapi
iptek tak bisa mengambil alih ajaran moralitas agama yang menawarkan makna
dan tujuan hidup transenden sehingga kehidupan tidak berhenti pada nihilisme,
meaninglessness, dan absurditas. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar