Warisan
Utang 2014
Ivan
A Hadar ; Direktur Eksekutif Indonesian Institute for
Democracy Education; Ketua Badan Pengurus Indonesia for Global Justice (IGJ)
|
KORAN
SINDO, 23 Mei 2014
Setidaknya
kita boleh sedikit lega bahwa dua pasangan capres 2014, Prabowo- Hatta dan
Jokowi-JK memiliki keprihatinan mendalam terkait terus membengkaknya utang
pemerintah negeri ini.
Dalam
visi-misi, kedua pasangan tersebut, secara tegas akan menekan rasio utang
terhadap PDB, dengan cara mengurangi pinjaman luar negeri baru, baik
multilateral maupun bilateral. (Koran SINDO , 22/5/2014) Sebenarnya,
keprihatinan tersebut, sudah cukup lama disuarakan secara internasional.
Nancy Birdsall, president Center for Global Development, misalnya dalam
bukunya ”Delievering on Debt Relief: From IMF Gold to a New Aid Architecture
” (2006) telah lama bersuara keras terkait kebijakan Dana Moneter Internasional
(IMF) dalam menangani ketimpangan global, termasuk dalam hal ”jebakan utang”
negara-negara berkembang.
Dalam
Konsensus Washington, IMF dan Bank Dunia gencar mempromosikan pengurangan
peran pemerintah, mendorong liberalisasi pasar, penghapusan subsidi, dan
penjualan badan usaha milik negara, yang menurut banyak pihak telah turut
menjerumuskan perekonomian global ke dalam ketimpangan, yang berujung pada
krisis yang sulit diatasi.
Bretton
Woods
Dengan
segala kontroversinya, Bank Dunia IMF masih merupakan lembaga keuangan dunia
terpenting. Keduanya, didirikan atas rekomendasi konferensi PBB di Bretton
Woods, AS, Juli 1944, sebagai bagian dari upaya penataan dan pembangunan
kembali perekonomian dunia, yang dilanda krisis usai Perang Dunia II. IMF diharapkan
berfungsi menstabilkan perekonomian dunia serta memberikan kredit jangka
pendek, sedangkan Bank Dunia berfungsi memberikan kredit murah berjangka
panjang dan bertanggung jawab atas penyesuaian struktural. Juli nanti, Bank
Dunia dan IMF genap berusia 70 tahun.
Bagi
banyak pihak, 70 tahun lembaga Bretton Woods ini, dianggap pas untuk
mempercepat proses reformasi sistem pengambilan keputusan. Tuntutan lain yang
juga gencar dikampanyekan sejak lebih dari satu dekade terakhir, adalah
pengurangan atau penghapusan utang luar negeri negara-negara berkembang.
Sebuah postcard yang beredar luas di Eropa dan AS, bertuliskan ”2014 is the
70th Birthday of the World Bank and IMF.... but....It’s No Time for a Party!
Its Time to Drop the Debt! ”.
Saat
ini, misalnya, setiap tahun negara-negara miskin Afrika harus membayar
USD20-25 miliar untuk cicilan utangnya kepada Bank Dunia, IMF dan
negara-negara industri. Sebuah jumlah yang jauh lebih besar dibandingkan
utang baru dan bantuan pembangunan yang diperoleh mereka.
Utang
Membunuh
Kritik
pun membahana. ”Utang membunuh”, teriak aktivis LSM di Utara dan Selatan
berkaitan dengan penghematan anggaran kesehatan dan pendidikan demi membayar
utang. Tahun 1999, IMF dan Bank Dunia akhirnya bersedia memberikan pemotongan
utang kepada 41 negara miskin pengutang berat setelah melalui program
penyesuaian selama tiga tahun. Meskipun demikian, bagi kebanyakan negara
tersebut, pemotongan sebagian utang belumlah cukup untuk memulai kembali
pembangunan ekonominya.
Sebenarnya,
sejak akhir 90- an, kritik santer telah dilontarkan oleh ”orang dalam” dan
politisi konservatif, bahwa selama 50 tahun keberadaannya yang telah
menghabiskan dana sebesar USD470 miliar, Bank Dunia dan IMF belum
memperlihatkan hasil nyata yang setimpal. Kini, meskipun telah melakukan
perubahan struktur organisasinya, kritik terhadap Bank Dunia dan IMF belum
juga mereda. Dominasi negara-negara industri, terutama AS (Bank Dunia), dan
IMF (Eropa dan AS) sangat terasa.
Kebutuhan
beragam negara-negara anggotanya, terutama negara miskin, jarang terpenuhi.
Sering kali, ”solusi” yang diajukan adalah ”one size fits all”. Indonesia
pernah menjadi korban. Karena selalu menjadi ”good boy”, Indonesia harus
membayar mahal akibat mengikuti resep yang salah. Dampaknya, fatal seperti
ditunjukkan data-data berikut. Sejak krisis hingga akhir 2002, dalam bidang
pendidikan, terjadi penurunan murid sekolah sebesar 25%, sementara tingkat
kemiskinan meningkat tajam dari 11% menjadi 40-60%.
Atas
anjuran IMF, pemerintah Indonesia memberikan suntikan dana segar triliunan
rupiah kepada bank-bank bermasalah, tanpa menyelesaikan masalah. (INFID,
2003) Saat ini, utang luar negeri (pemerintah dan swasta) Indonesia berjumlah
Rp3.107,4 triliun(!) atau 30,02% PDB, naik drastis dibandingkan Rp1.654,19
triliun atau 26% PDB, sepuluh tahun lalu. Untuk tahun ini, hingga akhir
Februari, pemerintah telah membayarkan utang pokok dan bunganya sebesar
Rp39,574 triliun, sementara pada Januari tercatat pembayaran pokok dan bunga
sebesar Rp25,880 triliun.
Dengan
demikian, total utang beserta bunga yang telah dibayarkan mencapai Rp65,454
triliun atau 17,74 persen dari target APBN 2014 sebesar Rp368,981 triliun. (Okezone, 15/4/2014) Bank Dunia
menempatkan Indonesia di urutan ke enam sebagai negara pengutang terbesar di
dunia. Berturut-turut di urutan teratas ialah China, Brasil, India, Meksiko,
dan Turki. Bagi Indonesia, yang belum sepenuhnya beranjak keluar dari krisis,
dibutuhkan perbaikan jaringan keamanan sosial serta penghapusan (sebagian)
utang luar negeri.
Perekonomian
kita dipastikan tidak mungkin menggeliat tumbuh dengan sehat, selama paling
tidak, sebagian utang luar negerinya, belum dihapus. Untuk membayar utang,
sebagian besar devisa kita kembali mengalir ke negara-negara industri. Namun
perkembangan terakhir, bisa menjadi angin segar bagi Indonesia. IMF dan Bank
Dunia dikabarkan semakin mendukung analisis ekonom Keynesian dan opini ekonom
peraih Hadiah Nobel Ekonomi, Joseph Stiglitz, bahwa ketimpangan membuat pertumbuhan
rawan, menciptakan kondisi yang tidak menentu, dan berdampak pada perlambatan
pertumbuhan ekonomi.
Dalam riset terbarunya, IMF dan Bank Dunia disinyalir yakin bahwa
”pemerataan tidak akan mengganggu pertumbuhan ekonomi,” demikian Max Lawson,
kepala Kebijakan dan Advokasi di Oxfam GB, organisasi kemanusiaan yang hadir
pada pertemuan IMF-Bank Dunia tahun ini. Dalam upaya mengurangi dampak ”utang
membunuh”, Gerakan Jubilee-2000 berhasil memobilisasi dukungan internasional
yang cukup luas bagi penghapusan utang luar negeri negara-negara termiskin.
Indonesia,
memang belum dimasukkan ke dalam kategori ini. Padahal, dalam sebuah seminar
ekonomi regional di Bangkok oleh Asisten Direktur IMF untuk Asia-Pasifik
Charles Adam telah mengakui kesalahan yang dibuat IMF dalam menangani krisis
di Indonesia. (Tempo.co, 13/11/2003)
Karena itu, meskipun kita telah melunasi utang kepada IMF, adalah belum
terlambat dan sangat patut apabila bangsa ini menuntut ”ganti rugi” dalam
bentuk hibah.
Anggap
saja sebagai bentuk konversi penghapusan sebagian utang kita atas kesalahan
IMF. Pemenang pilpres kali ini, mungkin bisa mempertimbangkan usulan ini. Semoga! ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar