Pemilu
Indonesia di Timur Tengah
Ibnu
Burdah ; Pemerhati Timur Tengah dan Dunia Islam
dari UIN Sunan
Kalijaga; PW ISNU DIY
|
KOMPAS,
23 Mei 2014
PENCALONAN presiden di Indonesia
ternyata memperoleh perhatian cukup luas di media massa di Timur Tengah.
Media-media besar, seperti laman Al Jazeera, Mashr al-Yawm, Al-Syarq
al-Awsath, dan Al-Hayah, menurunkan liputan tentang pemilihan umum di
Indonesia dan sosok-sosok calon presiden dan calon wakil presidennya.
Salah satu ulasan yang menarik
tentu saja adalah rasa heran mereka atas melesatnya nama Jokowi. Mereka sulit untuk memahami,
mengapa sosok yang masih relatif ”sangat muda” berkiprah di partai politik,
untuk pelayanan publik pun kurang dari 10 tahun, tiba-tiba menjadi kandidat
terkuat orang nomor satu di negeri berpenduduk Muslim terbesar di dunia ini.
Ia bahkan bukan pengurus teras salah satu partai politik di Indonesia.
Dengan segala analisisnya,
pemberitaan pemilu di Indonesia dan para tokohnya di media massa Timur Tengah
adalah apresiasi berharga bagi bangsa Indonesia.
Selama ini, sebagian besar
berita tentang Indonesia yang muncul tak jauh dari rangkaian bencana alam
yang hampir tiada henti, kecelakaan, dan aksi terorisme.
Hal ini jelas memperburuk profil
Indonesia di mata masyarakat Timur Tengah.
Yang menggembirakan dalam ulasan
di atas, Indonesia disebut secara tegas sebagai negara Muslim demokratis
terbesar dan negara demokratis terbesar ketiga dunia.
Dibandingkan Mesir
Liputan media massa Timur Tengah
sebelumnya sering membanding-bandingkan demokrasi di Mesir dengan Indonesia.
Hal ini juga sedikit banyak masih disinggung dalam liputan saat ini.
Namun, dengan kerendahan hati
saya harus jujur mengatakan bahwa demokrasi di Mesir tak level jika
dibandingkan dengan demokrasi di Indonesia yang mulai menuju ”kematangan”,
apalagi pasca peristiwa peralihan kekuasaan 3 Juli 2013 di Mesir.
Media massa Timur Tengah menduga
ada skenario besar yang mendorong Jokowi menduduki kursi RI satu.
Suatu dugaan yang keliru,
menurut saya, mengingat tiga tahun silam Jokowi, sebagai Wali Kota Solo,
barangkali bermimpi pun belum untuk menjadi Gubernur DKI Jakarta, apalagi
menjadi presiden RI.
Kalau Jokowi menjadi kesayangan
media, itu lebih karena program-programnya memang ”menggebrak”.
Banyak programnya dinilai
menyentuh dan memenuhi sebagian harapan masyarakat luas di tengah tipisnya
harapan terhadap yang lain. Baik di Solo maupun di Jakarta, deretan prestasi
diukirnya. Apalagi masih ditambah dengan penampilan dan gaya kepemimpinan
yang sederhana dan ndesani.
Kenyataan menunjukkan bahwa
liputan media justru mulai berubah ketika para pemiliknya juga ingin maju ke
kursi RI satu atau RI dua. Media-media yang dahulu memopulerkan namanya,
beberapa bulan terakhir seperti memusuhinya dan gigih mencari kesalahannya.
Tulus vs pulasan
Namun, masyarakat tampaknya
sudah bisa membedakan ketulusan dan pulasan. Maka, kerja keras dan kesetiaan
Jokowi yang semakin langka di kalangan elite politik, menciptakan ”histeria”
di kalangan kader partainya dan meningkatkan kepercayaan masyarakat
kepadanya.
Suasana batin masyarakat
Indonesia inilah, yang begitu rindu pada ketulusan pemimpin, yang tidak
ditangkap oleh para awak media Timur Tengah.
Tentang ”kejanggalan” orang baru
yang melesat, kepopuleran sosok mendongkrak perolehan suara partai, orang
lupa dengan kepopuleran Susilo Bambang Yudhoyono pada 2004 dan 2009. SBY
secara mengejutkan jadi kandidat presiden terkuat sekaligus mendongkrak
perolehan suara Partai Demokrat.
Padahal, SBY saat itu bukanlah
tokoh yang dianggap sekelas Megawati Soekarnoputri, Abdurrahman Wahid, Amien
Rais, dan Sultan Hamengku Buwono X.
Saat ini, tingkat kepercayaan
masyarakat terhadap partai memang sangat rendah, sehingga figur lebih menjadi
perhatian ketimbang partai.
Hal-hal semacam itulah yang
tampaknya kurang dipahami dengan baik oleh awak media massa di Timur Tengah. Wallahu a’lam. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar