Isu
Minoritas dalam Pilpres 2014
Ahmad
Najib Burhani ; Aktivis Muhammadiyah,
Doktor Bidang Agama dari University of California, Santa
Barbara
|
KORAN
SINDO, 09 Mei 2014
Di mana
posisi kelompok minoritas dalam demokrasi? Apakah mereka harus selalu dalam
posisi yang kalah? Apakah dalam demokrasi kelompok mayoritas bisa bertindak
semena-mena terhadap minoritas?
Kalau
itu yang diharapkan, demokrasi adalah sistem pemerintahan yang pasti tak
diidealkan oleh banyak orang. Memang secara teknis dalam sistem demokrasi
kelompok mayoritas hampir selalu menjadi pemenang. Kendati demikian, salah
satu esensi dari demokrasi adalah agar tidak terjadi apa yang disebut dengan
tirani mayoritas. Demokrasi adalah sistem pemerintahan yang diharapkan agar
suara dari setiap penduduk bisa didengar agar kelompok minoritas bisa hidup
dengan tenang dan terlindungi hak-haknya.
Kadangkala
ketika isu minoritas diangkat dalam suasana pesta demokrasi seperti saat ini,
muncul resistensi dari beberapa kelompok dari golongan mayoritas. Mereka
merasa bahwa posisi mereka sebagai mayoritas baru bisa dinikmati beberapa
dekade belakangan saja. Mereka merasa tidak fair jika kelompok minoritas
mendapat peran yang lebih besar di negara ini seperti pada masa lalu.
Mereka
mencoba mengungkit memori pada 1970-an dan1980-an, ketika ada kelompok
minoritas yang seakan memiliki kekuasaan lebih dari kelompok mayoritas,
ketika ada kelompok agama minoritas lebih banyak berperan mengatur negara
daripada kelompok yang mayoritas. Kondisi yang mirip terjadi di Irak ketika rezim
Saddam Husein berkuasa yaitu ketika kelompok Sunni yang minoritas lebih
banyak duduk di pemerintahan dan mengatur negara daripada kelompok Syiah yang
mayoritas.
Fenomena
ini seringkali mereka sebut sebagai tirani minoritas. Baik tirani mayoritas
maupun tirani minoritas adalah tindakan yang bertentangan dengan esensi
demokrasi dan karena itu harus dihindari. Meski demikian, yang seringkali
terjadi dan orang seakan memaklumi atau menganggap sebagai sesuatu yang “wajar”
adalah ketika kelompok mayoritas menjadi tiran dan bertindak sewenang-wenang
terhadap kelompok minoritas.
Ini
misalnya terjadi ketika beberapa kelompok garis keras Islam menggunakan
retorika demokrasi untuk memaksakan kehendaknya kepada pemerintah untuk
membubarkan Ahmadiyah atau meminta pemerintah menutup gereja tertentu.
Kejadian yang masih segar di ingatan kita adalah Deklarasi Aliansi Nasional
Anti Syiah yang diadakan di Bandung pada 20 April 2014. Kegiatan ini diadakan
diantaranya sebagai respons terhadap terpilihnya seorang tokoh Syiah,
Jalaluddin Rakhmat, menjadi anggota DPR RI dari Bandung melalui Partai
Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP).
Sebelumnya
terjadi berbagai upaya dari kelompok garis keras Islam untuk menjegal
Jalaluddin Rakhmat melalui berbagai cara agar tak mendapat suara dalam
pemilu. Meski demikian, upaya-upaya itu tak mampu membendung suara dukungan
ke Jalaluddin Rakhmat pada Pemilu 9 April yang lalu. Sekarang, menjelang
pilpres, diciptakan ketakutan yang berlebihan bahwa jika Joko Widodo terpilih
menjadi presiden, Jalaluddin Rakhmat akan diangkat menjadi menteri agama.
Fenomena
ini menunjukkan ketidaksiapan kita menerima demokrasi. Ada ketakutan luar
biasa jika ada wakil dari kelompok agama minoritas di pemerintahan, seakan
dia akan menggunakan kekuasaan itu untuk membasmi kelompok mayoritas atau
membuat kebijakan yang hanya menguntungkan kelompok agama minoritas.
Isu
minoritas dalam demokrasi di Indonesia menjadi persoalan yang semakin serius
bila dikaitkan dengan Manifesto Perjuangan Partai Gerindra dalam bidang agama
yang berbunyi: “pemerintah/negara wajib
mengatur kebebasan di dalam menjalankan agama atau kepercayaan. Negara juga
dituntut untuk menjamin kemurnian ajaran agama yang diakui oleh negara dari
segala bentuk penistaan dan penyelewengan dari ajaran agama” (h. 40).
Kalimat
tersebut mengindikasikan bahwa partai ini akan banyak terlibat dalam upaya
ìpemurnian agamaî jika mereka berkuasa. Gerindra akan melakukan intervensi
teologis dalam urusan ortodoksi (benar) dan heterodoksi (sesat) ajaran
keagamaan dan menjadi hakim akidah untuk konflik teologis. Bila
diimplementasikan, kebijakan ini akan menjadi ancaman bagi kelompok minoritas
seperti Ahmadiyah dan Syiah yang selama ini sering dituduh melakukan
penistaan dan penyelewengan terhadap ajaran Islam.
Penilaian
di atas sejalan pernyataan Fadli Zon, salah satu perumus manifesto dan juru
bicara Gerindra, yang menyebutkan bahwa pemerintah harus memberi otoritas
atau wewenang lebih besar kepada MUI (Majelis Ulama Indonesia), NU (Nahdlatul
Ulama), dan Muhammadiyah untuk menentukan sesat dan tidak ajaran atau
kelompok agama tertentu. Jika dinyatakan sesat, pemerintah dituntut untuk
melarangnya (Tempo 2014; Arrahmah 2014).
Sebagai akademisi yang menekuni tema pluralitas dan minoritas, penulis merasa
memiliki tanggung jawab moral dan terpanggil untuk menyampaikan ini kepada
publik.
Ada
potensi ancaman terhadap kelompok minoritas agama jika Manifesto Perjuangan
Partai Gerindra itu tak direvisi. Tentu saja kita wajib bersyukur terhadap
capaian demokrasi kita saat ini. Jika dibandingkan dengan apa yang terjadi di
Timur Tengah pasca-Arab Spring, bangsa ini patut berbangga atas demokrasinya.
Mesir,
Suriah, dan Libya, misalnya, masih terlibat konflik berdarah berkepanjangan
pasca-Arab Spring. Pasca-Reformasi 1998 di Indonesia, transisi pemerintahan
dari militer ke sipil bisa berjalan relatif mulus. Susilo Bambang Yudhoyono
adalah jenderal, tapi dia tokoh di balik reformasi di tubuh militer. Kendati
demikian, demokrasi kita saat ini barulah demokrasi angka-angka atau
demokrasi yang lebih mekanis. Secara esensi masih banyak hal yang perlu
ditingkatkan di antaranya sikap terhadap kelompok minoritas.
Banyak
bagian dari kelompok mayoritas yang tidak siap ada perwakilan dari kelompok
minoritas di pemerintahan. Nah, Manifesto Perjuangan Partai Gerindra
berpotensi memberi pelindungan hanya kepada kelompok agama mainstream dan mengancam eksistensi
kelompok agama non-mainstream
karena dianggap menodai kemurnian agama. Ini berpotensi mengancam substansi
dari demokrasi. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar