Salah
Kaprah Mengusik Akal Sehat Kita
Mudji
Sutrisno ; Guru Besar STF Driyarkara,
Dosen Pascasarjana Universitas Indonesia, Budayawan
|
KORAN
SINDO, 09 Mei 2014
Akal
sehat adalah terjemahan kontekstual dari common
sense. Harfiahnya menunjuk pada arti pemahaman biasa yang dibuat oleh
akal sehat orang kebanyakan tanpa banyak-banyak berpikir rumit-rumit atau
berenungrenung sulit.
Semisal
tanda alam langit berawan, akal sehat biasa ”menyimpulkan” akan hujan
sebentar lagi. Apalagi bila angin dingin berair sudah bertiup dan kencang
angin mulai memberat, common sense orang akan mengatakan sebentar lagi hujan.
Geertz menaruh akal sehat ini sebagai tingkatan pemahaman sederhana sebelum
diangkat ke refleksi logis sistematis terukur dan terverifikasi dalam ilmu
pengetahuan. Tulisan ini cukup mengartikan akal sehat sebagai pemahaman biasa
sederhana budi.
Akal
sehat mulai diusik manakala pemahaman biasa akal budi diganggu oleh
ketidaksesuaian antara logika (jalan pikiran) maknanya dan konsensus bersama
proses memahami sebagai ”benar” logis yang ada. Akal sehat akan diganggu
tatkala hukum logis nalar sebab-akibat dicederai lantaran keduanya tidak
sekuensial atau tak bersambung. Lebih diusik lagi akal sehat biasa apabila
proses diskursus (baca: berwacana) tiba-tiba disalahkaprahkan karena proses
itu seharusnya dibuat sebelumnya (prafakta/praperistiwa), tetapi dilakukan
post factum (sesudah peristiwa atau fakta).
Contoh
fenomena salah kaprah yang mengusik akal sehat saat ini adalah wacana makna
atau proses ”koalisi”. Koalisi seharusnya dalam bingkai diskursus demokratis
dibuat oleh partai-partai politik sebelum pemilu untuk tujuan berdialog
mendapatkan kesamaan visi dan tujuan yang diemban demi kesejahteraan rakyat
dari partai-partai lalu dirundingkan demi efektifnya pemerintahan untuk
multipartai dalam parlemen agar pemerintah yang terbentuk bisa kuat dan
efektif demi mencapai tujuan bernegara yaitu suara rakyat yang ingin keadilan,
kesejahteraan, kedamaian, dan bisa cari nafkah yang cukup.
Jadi
tidak untuk kuat pemerintahan demi dirinya sendiri atau demi kuasa dan
pencapaian ambisi politik partainya apalagi demi bagi-bagi lahan kursi untuk
berkuasanya partai yang tidak menaruh suara rakyat yang memilihnya untuk
diwujudkan dalam tata masyarakat adil sejahtera. Salah kaprah wacana dan
tindakanberkoalisipasca-pemilu legislatif itulah yang dipersepsi dalam
pemahaman salah sebagai bagi-bagi kuasa dan terus digulirkan tanpa menoleh sedikit
pun dan sebentar pun pada pertanyaan mendasar tujuan pemilu oleh rakyat yang
memilih.
Karena
salah kaprah ”palsu” dan tidak otentiklah arti koalisi yang sebenar-benarnya
hanya berupa runding-runding cari kepentingan dan keuntungan politis demi keuntungannya
partai politik. Karena itu, yang benar saat ini adalah temu untuk kerja sama!
Karena salah kaprahnya makna koalisi, lihatlah, muncul dualisme wacana antara
yang terbuka disantunkan sebagai pendekatan silaturahmi dan ”yang tertutup”
berisi perundingan siapa calon wapres dan capres nanti.
Lihatlah
pula struktur pertemuan yang muncul keluar penandapenanda dualisme ambiguitas
ini: pertemuan tertutup lalu disusul konferensi pers terbuka yang untuk akal
sehat biasa tetap misterius terselubung isi sebenarnya. Sedang untuk akal
budi yang kritis akan menggugat tanya: apa beda upacara temu kangen biasa dan
silaturahmi tutup terselubung ”koalisi”?
Akal
sehat kita kembali diusik oleh fenomena tidak logis dalam penentuan kebijakan
penghematan BBM, namun diizinkan terus diproduksinya mobil murah. Ketika
devisa hemat BBM jebol, lalu debat tidak setujunya mereka yang tahu ada
keanehan logika mengatasi macet lalu lintas, namun mobil ditambahi terus
tetap tidak ”berani diangkat”. Yang diambil solusinya lebih mengusik akal
sehat lagi karena yang akan diganti adalah ukuran corong pipa bahan minyak
dipompa-pompa bensin antara yang BBM subsidi dan yang tidak.
Akal sehat teraniaya lalu bertanya kritis
tajam: bukankah manusianya yang menentukan kebijakan dan bukan ”saluran pipa
bensin”. Tidakkah bila orangnya tidak mengelupas budinya yang salah kaprah
antara mana sarana dan mana tujuan; mana esensi dan mana yang substansial, di
sini terjadi pelecehan akal sehat kita semua.
Mengapa?
Karena kita dianggap tidak bisa berpikir sehat dengan common sense sehat bahwa kebijakan yang sudah diikat kepentingan
kalkulasi untung rugi uang dan kepentingan bukan sejahteranya orang banyak,
di sanalah logika uang dan hasrat cari untung dan memenangkan bisnis modal
besar akan ”membuat rabun” akal sehat manusia.
Jalan
pikiran akal sehat berdasar pada logika sebab-akibat. Ada asap pasti ada api.
Ada buah baik tentu dari pohon yang baik. Ada akibat pecah belah kerukunan
atau saling memaki halus atau melalui selubung santun puitis pastilah berasal
dari sebab yang antisaling hormat dan antisaling menghargai. Inilah fenomena
berikutnya yang mengusik akal sehat karena merasa baik, benar, dan berjuang
untuk bangsa, namun hasil ucapan, laku tindakannya ”memecah belah” entah
dengan memecah organisasinya atau menerjang anggaran dasar aturan
kesepakatan.
Akal
sehat akan melanjutkan renung prediktif ke depan: belum menjadi pemimpin
besar bangsa majemuk kok sudah main otoritas alias otoriter. Mestinya akan
jadi pemimpin pemersatu keragaman kok laku tindakannya membuat resah dan
pecah. Logika akal sehat akan menggugat: bisakah buah yang buruk berasal dari
pohon baik?
Dalam
pokok ini akal sehat biasa akan dilukai dan dicederai manakala politik yang
mestinya usaha perjuangan untuk Indonesia lebih baik, lebih sejahtera, lebih
adil dan hormati kemajemukan suku, religi penyusun satunya Indonesia akan
”merintih luka” bilasoalagama, beda ras, dan suku mulai dipakai untuk pemilu
calon presiden. Jadi bisa ditarik garis kesimpulan untuk mengukur kerjakerja
akal sehat kita yaitu lihatlah buahbuah ucapan ”serang politik pada lawan!”.
Dari
sana-lah bisa diukur calon pemimpin sejati kita apakah ia ambisi untuk
kekuasaan dengan segala cara dihalalkan mencapai kursi nomor satu atau
kursi-kursi lain ataukah ia menaruh telinga, hati dan nuraninya di jantung
sejati rakyat banyak dengan tulus kerja nyata dan bukan pidato citra.
Rakyat
banyak sudah amat cerdas membaca dan memahami dengan hati tulusnya, mana yang
integritasnya jujur dan mana yang kelam mendung tanggung jawabnya dalam
menyikapi korban dan anak bangsa yang menanti perubahan perbaikan nasib
hidupnya.
Padahal
tanah airnya yang kaya mineral dan limpah kesuburan, tetapi selamanya mereka
menjadi buruh di tanah yang bukan miliknya sendiri. Apalagi di air lautan
yang sudah dikapling-kapling pemilikannya bukan oleh bangsa bahari Nusantara. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar