Prangko
M
Nafiul Haris ; Penulis
|
TEMPO.CO,
09 Mei 2014
Bagi
orang Indonesia, prangko pos tidak hanya berfungsi sebagai bukti telah
melakukan pembayaran untuk jasa layanan pos, seperti halnya mengirim surat.
Ada yang lebih penting terkait dengan keberadaan prangko pos Indonesia.
Khususnya bagi masyarakat Indonesia terdahulu, keberadaan prangko menjadi
bukti pengakuan kedaulatan Indonesia. Jejak sejarah Nusantara kita terekam
jelas dalam prangko.
Sebagaimana
sejarah kala itu, Indonesia pernah memesan prangko dari Vienna (Eropa) dan
Philadelphia (AS). Namun pada akhirnya pemerintah Belanda mengembargo prangko
tersebut. Tujuannya tak lain adalah mencegah diakuinya kedaulatan negara
bernama Indonesia, lantaran nama tersebut pastinya akan tercetak dan tersebar
di seluruh pelosok dunia.
Pada
titik ini jelas bahwa prangko mempunyai andil besar dalam mewujudkan
kemerdekaan Indonesia dan pula sebagai bukti perjuangan bangsa ini untuk
terlepas dari belenggu penjajahan. Selain itu, prangko mempunyai sejarah
sosial yang patut kita simak, selain fungsinya sekarang sebagai benda
koleksi, karena termasuk benda budaya langka. Antik.
Pada
masa pemerintahan Bung Karno, prangko berfungsi sebagai alat untuk
mengumpulkan dana dari masyarakat ketika terjadi bencana alam. Bahkan ada
sebuah negara yang menjadikan penerbitan prangkonya sebagai sumber pendapatan
negara. Ini menegaskan bahwa keberadaan prangko masih sangat kita butuhkan
karena mempunyai potensi yang cukup besar, selain bukti kesejarahanya.
Nilai-nilai sosial yang ada dalam prangko pun tak kalah menarik, seperti yang
telah diajarkan oleh Sang Proklamator.
Akan
tetapi, seiring bermunculannya teknologi baru yang menyuguhkan berbagai bentuk,
dari handphone, Internet, sampai smartphone, kesejarahan serta nilai-nilai
sosial yang pernah dikisahkan pun seakan hanya menjadi cerita kusam. Maka
pantas jika kita beranggapan prangko hanya sebatas riwayat dalam bingkai
sejarah Indonesia. Prangko semakin kehilangan sakralitasnya, ketika
ruang-ruang spiritualnya telah digantikan oleh teknologi. Media komunikasi
yang sifatnya sosial, seperti Facebook, Twitter, dan BlackBerry, misalnya,
yang semakin memudahkan seseorang untuk berkomunikasi, menjadi bukti bahwa
surat-menyurat tak lagi diminati, demikian pula prangko. Hal itu menegaskan,
prangko bukanlah tren masa kini.
Meski
demikian, selayaknya kita perlu mengingat setiap peristiwa yang kini telah
diabadikan dalam Museum Pos, sebagai bukti perjuangan fisik bangsa Indonesia
yang bergerak dalam bidang perposan demi mewujudkan kedaulatan negara.
Perjuangan itu dibuktikan dengan terbitnya prangko yang dicetak asal-asalan,
seperti prangko pos militer di Solo serta prangko cetak tindih yang
bertulisan "Indonesia" atau daerah tertentu peninggalan Nederland
Indie atau Dai Nipon. Semua itu guna menunjukkan kepada dunia luar bahwa
pemerintah Indonesia eksis dan berfungsi (Kompas,
27/9/11). Jadi, prangko bisa menjadi alternatif penting upaya menumbuhkan
semangat nasionalisme kita belakangan ini yang semakin luntur. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar