Sabtu, 03 Agustus 2013

Sengkarut Wacana CSR di Jakarta

Sengkarut Wacana CSR di Jakarta
Jalal ;  Aktivis Lingkar Studi CSR
          KORAN TEMPO, 02 Agustus 2013


Editorial Koran Tempo (27 Juli) yang bertajuk "Mengawasi Dana Sosial Perusahaan" sangat perlu diperhatikan. Koran Tempo juga sudah menurunkan berita pada edisi 24 Juli tentang pertanggungjawaban dinas-dinas di DKI Jakarta, dan pada edisi 25 Juli soal bantuan berbagai BUMD untuk proyek rumah susun. Di media massa lainnya, wacana ini juga mengemuka. Intinya, dana yang digelontorkan oleh perusahaan untuk aktivitas sosial perlu dikelola secara transparan. Pernyataan para pengamat, terutama Iberamsjah, Agus Pambagio, dan Faisal Basri dan LSM Fitra jelas menandai kepedulian yang tinggi atas hal tersebut. 
Hanya, sangat jelas bahwa silang pendapat di antara para komentator serta pihak lain yang dikutip Koran Tempo mengandung hal-hal yang perlu diluruskan soal tanggung jawab sosial perusahaan (corporate social responsibility, disingkat CSR). Tulisan ini bermaksud mengidentifikasi berbagai tema pokok perdebatan, serta memberi komentar atas silang pendapat yang terjadi sepanjang lebih dari satu minggu itu. 
Ada banyak pernyataan mengenai tujuan CSR, namun hampir tak ada satu pun yang menyatakan dengan tegas bahwa CSR adalah tanggung jawab perusahaan dalam mencapai pembangunan berkelanjutan (Loew, 2004; ISO, 2010). Padahal kejelasan tujuan ini akan sangat menentukan apakah memang kegiatan-kegiatan yang dilaksanakan oleh perusahaan bisa dikategorikan sebagai CSR atau bukan. Sebagai proses yang berkontribusi pada pembangunan berkelanjutan, CSR merupakan integrasi manajemen dampak negatif dan positif perusahaan. Dengan demikian, kalau perusahaan tak serius mengurusi dampak negatifnya, apa pun yang dilakukan untuk menonjolkan dampak positifnya tak bisa dinyatakan sebagai bagian dari CSR. 
Ketidaktegasan ihwal tujuan CSR telah membuat wacana ini didominasi pengertian yang sangat dipersempit menjadi sumbangan dana sosial perusahaan. Tentu saja, kita bisa membicarakan hal ini dari sudut pandang yang sempit. Namun penggunaan istilah "dana CSR" di sini tidaklah tepat, karena sesungguhnya maknanya jauh lebih luas dibanding sekadar sumbangan. Seluruh sumber daya finansial yang dipergunakan oleh perusahaan untuk mengelola dampak ekonomi, sosial, dan lingkungannya masuk ke dalam dana CSR. Sedangkan aspek sosial yang dikelola perusahaan juga tidak terbatas pada kegiatan untuk kelompok masyarakat tertentu. Hubungan perusahaan dengan pekerja, masyarakat luas, masyarakat setempat, LSM, media massa, pemerintah, dan pemangku kepentingan lainnya masuk ke dalam pengelolaan aspek sosial. 
Wacana yang bergulir juga berbicara soal regulasi. Yang paling banyak dibicarakan adalah Peraturan Menteri Sosial Nomor 13 Tahun 2012 tentang Forum Tanggung Jawab Dunia Usaha dalam Penyelenggaraan Kesejahteraan Sosial. Sarman Simanjorang, yang dikutip oleh banyak media massa sebagai "Ketua Forum CSR Jakarta", menyatakan bahwa forum tersebut didirikan untuk mengumpulkan sumbangan perusahaan yang mau berkontribusi memecahkan masalah kesejahteraan sosial. Faktanya, beleid tersebut sama sekali tidak mengatur soal pengumpulan dana. Pada Pasal 5 ayat 2 dinyatakan bahwa forum itu mendapatkan mandat untuk (1) memberikan imbauan kepada perusahaan untuk menyisihkan dana untuk mereka yang menyandang masalah kesejahteraan sosial, (2) menginformasikan peta permasalahan sosial, dan (3) memberikan asistensi, advokasi, serta fasilitasi terhadap perusahaan yang mau menjalankannya. Jadi, pengumpulan dana sumbangan sosial sama sekali bukan ranah tugas forum tersebut.
Sebetulnya, seperti yang ditegaskan Agus Pambagyo dan Faisal Basri, dana tersebut memang tak baik bila dikumpulkan dan dikelola oleh pihak tertentu. Regulasi melarang pengumpulan dana sumbangan perusahaan oleh pemerintah. Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah melarang pemerintah daerah memungut apa pun yang tidak masuk dalam daftar pajak dan retribusi daerah itu. Hanya, banyak sekali pemerintah provinsi dan kabupaten yang tak mempedulikan beleid tersebut, lalu membuat "perda CSR" yang memaksa perusahaan-perusahaan menyetorkan dananya. 
Masalah lainnya, kalau mengacu kepada Pasal 16 peraturan menteri sosial tersebut, sebetulnya kita belum bisa juga menyatakan adanya organisasi Forum CSR Jakarta, karena pasal tersebut menyatakan bahwa pembentukan forum dilakukan oleh Gubernur. Karena Jokowi belum membentuknya, organisasi itu sebetulnya tidak eksis.
Soal besaran dana sumbangan juga banyak dinyatakan. Lagi-lagi, pernyataan Sarman Simanjorang bahwa besaran dana sumbangan adalah 2,5 persen dari keuntungan perusahaan, dan potensi di Jakarta adalah Rp 100 miliar per tahun diterima begitu saja. Kalau benar bahwa sumbangan itu dihitung dari proporsi keuntungan sebagaimana yang dikutip, besaran potensinya pasti sangat jauh di atas itu. Tapi masalahnya bukan di situ. Seluruh pakar CSR sejak hampir dua dekade lalu sepakat bahwa CSR bukanlah bersifat after profit, melainkan before profit (Kang dan Wood, 1995). Di Indonesia, pendirian after profit banyak dianut perusahaan karena mereka meniru apa yang diharuskan kepada BUMN untuk Program Kemitraan dan Bina Lingkungan. Tapi BUMN pun tidak menghitung proporsinya 2,5 persen dari keuntungan. 
Belum adanya mekanisme yang jelas diketahui oleh seluruh pihak telah melahirkan kecurigaan. Iberamsjah, akademisi dari Universitas Indonesia, menyatakan kekhawatiran bahwa dana sumbangan tersebut bisa membuat perusahaan memiliki pengaruh yang buruk kepada kebijakan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta, yang langsung disanggah oleh Ahok. Namun penelitian Zhao (2012) membuktikan bahwa, di Cina dan Rusia, para pengusaha memanfaatkan sumbangan atas nama CSR sebagai cara untuk membina hubungan khusus dengan (aparat) pemerintahan. Di situ Zhao menyatakan bahwa apa yang terjadi di kedua negara itu pada dasarnya juga ditemukan di negara mana pun di mana hubungan dengan pemerintah sangat menentukan kinerja bisnis. Karena itu, kekhawatiran soal ini beralasan untuk dikemukakan di Jakarta dan di tempat-tempat lain di Indonesia. 

"Trust, but verify" adalah nasihat mendiang Ronald Reagan soal pihak-pihak yang bisa dipercaya. Jokowi sangat benar ketika menyatakan bahwa sumbangan sosial perusahaan adalah tanda kepercayaan kepada Pemerintah Provinsi DKI Jakarta. Namun ia perlu membalas kepercayaan itu dengan sebuah sistem yang memungkinkan semua pemangku kepentingan memverifikasi pemberian sumbangan perusahaan, pemanfaatannya, serta dampak yang ditimbulkannya. Dengan begitu, kepercayaan itu bisa dijaga, bahkan ditingkatkan. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar