|
Berbicara swasembada, parameter penting bagi ma syarakat bukan
pada klaim pemerintah tentang jumlah suplai domestik yang mampu memenuhi demand-nya, atau yang dikenal dengan
aspek availability
(ketersediaan). Tapi, yang lebih penting adalah kemudahan masyarakat
mengakses komoditas tersebut secara berkelanjutan.
Begitu juga halnya dengan swasembada daging sapi. Ada permasalahan penting yang hadir di lapangan, yakni kemampuan akses masyarakat akan daging sapi yang semakin sulit dalam tiga tahun terakhir. Pada 2010, harga daging sapi berkisar di Rp 60 ribu per kilogram (kg). Sedangkan, pada awal 2013 ini harganya sudah mencapai Rp 100 ribu per kg. Dan harga itu di pertengahan 2013 tidak bergeser dari kisaran Rp 90 ribuan.
Imbas dari kenaikan harga BBM dan bulan puasa membuat shock baru yang melambungkan harga di atas Rp 100 ribu. Semakin tinggi harga daging menunjukkan semakin sulit akses masyarakat terhadap komoditas tersebut.
Akses masyarakat atas daging sapi yang semakin sulit ini mengindikasikan bahwa kebijakan-kebijakan yang diambil untuk mencapai swasembada pangan tidak bernas dalam implementasinya. Kebijakan yang harus dilakukan pemerintah adalah pengurangan impor daging sapi dengan cara membatasi kuota impor dalam tiga tahun terakhir untuk me- macu memacu suplai domestik.
Dengan demikian, implementasi penurunan impor daging sapi seharusnya tidak boleh menyebabkan kenaikan harga yang tinggi kalau memang benar kebutuhan sapi domestik bisa dipenuhi dari pasokan sapi lokal. Karena berkurangnya daging sapi impor akan ditutup oleh daging sapi lokal. Kenyataannya, dampak kenaikan dari pembatasan impor yang dilakukan pemerintah selama tiga tahun terakhir menyebabkan naiknya harga dari Rp 60 ribu per kg (2010) menjadi Rp 100 ribu per kg pada penghujung 2012 sampai sekarang. Atau terjadi kenaikan harga sebesar 40 persen.
Pada 2010, harga daging rata-rata Rp 60 ribu per kg, saat itu kita impor sebesar 221,23 ribu ton (53,05 persen dari kebutuhan domestik). Tahun 2012, impor turun cukup tajam menjadi 95,02 ribu ton atau setara 18,63 persen dari kebutuhan domestik dan harga daging sapi mencapai Rp 100 ribu per kg.
Kenaikan harga yang tajam dari penurunan impor daging sapi menunjukkan kebijakan pemerintah membatasi impor sepenuhnya hanya berimplikasi pada penurunan suplai domestik. Akibatnya berdampak pada kenaikan harga yang cukup signifikan.
Padahal, kalau pencapaian swasembada dalam track yang benar hadir, maka pembatasan impor yang dilakukan pemerintah itu tidak berimplikasi pada kenaikan harga yang tajam karena sumber daging impor itu diganti oleh sumber daging sapi domestik. Dengan demikian, pertanyaan selanjutnya, apa sebenarnya target dari kebijakan pembatasan kuota impor itu?
Kalau tujuan untuk mencapai swasembada daging dari
ilustrasi di atas, dengan tegas ingin kita katakan bahwa kebijakan tersebut
akan sulit merealisasikan swasembada daging sapi, apalagi untuk 2014.
Pemerintah berasumsi bahwa dengan mengimplementasikan kebijakan pembatasan impor daging sapi, maka kekurangannya akan dipenuhi dari daging sapi lokal. Di atas kertas, hitungan untuk swasembada hanya butuh 12,6 juta ekor, padahal populasi sapi kita 14,8 juta ekor berdasarkan sensus ternak BPS 2011. Tetapi, permasalahannya adalah puluhan juta sapi yang terdata tersebut berada di kandang para peternak kecil yang lokasinya tersebar di seluruh pelosok negeri. Semua itu bukan merupakan ternak yang sewaktu-waktu bisa dipotong dalam kondisi darurat kelangkaan daging (ready stock).
Para peternak kecil skala rumah tangga itu memelihara
ternak untuk kepentingan berjaga-jaga dan tabungan, dijual ketika ada
kepentingan mendesak. Padahal, peternak kecil harus memenuhi 86 persen
kebutuhan daging sapi domestik. Sehingga, ketika tidak tersedia (ready stock), maka wajar terjadi
kenaikan harga daging sapi yang tajam.
Kebijakan pembatasan impor hanya bisa ditujukan untuk mencapai swasembada daging sapi dalam waktu yang lebih panjang sekitar lima tahun ke depan. Itupun kalau pemerintah serius mengatasi kendala-kendala kelembagaan pasar di lapangan.
Pertama, harus hadir BUMN logistik untuk daging yang berfungsi sebagai sta- bilisator harga dan penjaga buffer stock daging seperti halnya Bulog untuk ko- moditas beras. BUMN inilah yang menjemput dan membeli ternak sapi rakyat dan membelinya dengan harga subsidi pemerintah yang masih menguntungkan peternak, dan selanjutnya menyimpannya sebagai stok negara. Ketika harga daging sapi mahal, stok negara inilah yang dilempar ke pasar dengan harga yang lebih murah sehingga stabilisasi harga yang menguntungkan petani, dan masih bisa diakses masyarakat, bisa terjaga.
Kedua, mengatasi masalah distribusi dalam rangka mewujudkan pengang- kutan sapi yang mudah dan murah. Seperti mengaktifkan kapal angkut khusus ternak dalam jumlah yang memadai untuk mengangkut ternak Nusa Tenggara Timur, Nusa Tenggara Barat, dan beberapa pulau lainnya ke Pulau Jawa. Termasuk perbaikan dermaga pengangkutan ternak, mencegah pengangkutan ternak yang tidak mengikuti kaidah animal welfare. Begitu juga angkutan darat via kereta api khusus ternak perlu dihadirkan untuk angkutan dari sentra produksi ke daerah konsumen di Jawa. Dan tidak kalah penting, meningkatkan kuantitas dan kualitas fasilitas dan pelayanan rumah-rumah potong hewan (RPH). ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar