Senin, 19 Agustus 2013

Mereformasi Negara Rapat

Mereformasi Negara Rapat
Kholiq Arif ;   Bupati Wonosobo
JAWA POS, 19 Agustus 2013


PRESIDEN Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) mengakui masih ada beberapa program pemerintahannya yang masih tertarih. Yakni, reformasi birokrasi (RB), penanganan korupsi, harmonisasi sosial, dan masalah lingkungan hidup. Pengakuan dalam wawancara Tempo beberapa bulan lalu ini yang wajib diapresiasi untuk dibahas lebih mendalam.

Saya sendiri yang sudah bekerja di pemerintahan kurang lebih 4.000 (empat ribu) hari kerja atau 13 (tiga belas) tahun sejak dilantik menjadi wakil bupati Wonosobo, Jawa Tengah, 30 Oktober 2000, merasakan benar akan kegalauan Pak SBY. Terutama masalah RB. Sekarang merupakan periode jabatan bupati Wonosobo kedua hingga 30 Oktober 2015, itu pun belum mampu mengoptimalkan isu RB ke dalam kenyataan maksimal. Wa bil khusus, pelayanan publik.

Saya ingin berbagi bagaimana ikhtiar Pemkab Wonosobo dalam upaya mewujudkan tata kelola pemerintahan yang baik, sejak 4 (empat) tahun terakhir terus berupaya mereformasi birokrasi. Yakni, mengefektif-efisienkan sumber daya, mewujudkan pelayanan publik yang profesional, meningkatkan kesejahteraan birokrat dan masyarakat, meningkatkan responsivitas dan responsibilitas serta akuntabilitas pemerintahan.

Selain untuk mencapai tujuan mulia bernegara, kebutuhan reformasi birokrasi tidak lepas dari kondisi birokrasi saat ini yang diselimuti berbagai jenis penyakit "patologi birokrasi" dan persoalan. Baik yang muncul karena kelembagaan, ketatalaksanaan maupun SDM.

Mendiskusikan kelembagaan pada dasarnya sama saja dengan membicarakan struktur organisasi. Di sinilah wadah orang-orang yang akan melakukan pekerjaan sejenis yang dikoordinasikan secara formal. Setidaknya terdapat enam elemen yang perlu diperhatikan ketika pemda merestrukturisasi organisasi.

Yang terpenting adalah spesialisasi pekerjaan. Tugas-tugas dalam organisasi dibagi-bagi ke dalam beberapa pekerjaan. Juga perlunya departementalisasi, yakni dasar yang dipakai untuk mengelompokkan pekerjaan secara bersama-sama. Departementalisasi dapat berupa proses, produk, geografi, dan pelanggan. Selanjutnya dipertegas rantai komando. Garis wewenang tanpa putus membentang dari puncak organisasi hingga ke eselon paling bawah. Ini juga menjelaskan siapa yang bertanggung jawab kepada siapa atas suatu pekerjaan.

Perlu diperhatikan soal rentang kendali. Jumlah bawahan yang dapat diarahkan oleh seorang manajer secara efisien dan efektif sehingga mampu mengukur jumlah pekerjaan yang wajib diemban. Dengan demikian, akan muncul kebijakan sentralisasi dan desentralisasi secara terukur. Sentralisasi mengacu kepada seberapa jauh tingkat pengambilan keputusan terkonsentrasi pada satu titik di dalam organisasi. Adapun desentralisasi adalah formalisasi, seberapa jauh pekerjaan-pekerjaan di dalam organisasi dibakukan.

Mana kala tata kelola pemerintahan bisa diatur dalam ritme ideal seperti di atas, setiap pemkab/daerah akan bisa memisahkan jabatan dan pekerjaan administratif dan fungsional secara lebih adil dan merata, sesuai kebutuhan dasar masyarakat. Umumnya yang terjadi, pejabat dan staf administratif menumpuk. Padahal, yang dibutuhkan masyarakat lebih ke arah bimbingan praktis atau teknis yang action. Misalnya, petugas penyuluh pertanian, perkebunan, koperasi, industri, dan juga petugas lapangan KB (PLKB).

Lantaran tidak seimbangnya jumlah pegawai administrasi yang terlampau berjubel dibanding tenaga penyuluh lapang tersebut, umumnya pegawai pemkab berkutat pada urusan yang tidak jelas. Jelas ini tidak efektif untuk layanan publik. Akibat selanjutnya, pemerintahan kita lebih suka bekerja di atas meja dan rapat-rapat. 

"Indonesia adalah negara rapat," demikian celoteh komentator di banyak acara talk show televisi. Saya merasakan benar hal tersebut. Sering topik yang sederhana harus dibahas dalam rapat ke rapat yang justru sulit mencari konklusinya. Dari rapat menghasilkan kesimpulan rapat untuk bahan rapat selanjutnya! 

Karena itu, 4 (empat) tahun lalu Pemkab Wonosobo melakukan analis jabatan (anjab) dan melakukan analisis beban kerja (ABK) secara komprehensif. Hasil scoring dari analis tersebut, ternyata banyak sekali lembaga yang tidak kompeten melakukan layanan publik. Karena itu, saat ini telah terkonsep struktur organisasi tata kerja (SOTK) dan telah masuk materi bahasan di DPRD. Dari jumlah jabatan struktural semula 434 akan menjadi 245 jabatan.

Bila jabatan fungsional dimaksimalkan, setingkat Pemkab Wonosobo cukup dengan 172 eselon 2 hingga eselon 4. Yang diperkuat adalah jabatan yang langsung melayani publik, seperti yang disebutkan di atas. Struktur mini itu menjadikan pemkab bisa berjalan dengan baik, bahkan lebih lincah. Dalam ingatan, saat awal menjabat Wabup jumlah eselon 2 hingga eselon 5 mencapai 1.059. Seiring perkembangan, jumlah eselon sudah turun, namun pekerjaan tetap bisa diampu dengan baik.

Dengan rampingnya struktur tersebut, kanal awal dari proses RB ini terwujud dalam konsep one roof local government (Orlog). Konsep kantor kabupaten satu atap (orlog) telah selesai dikerjakan dan tinggal realisasi pembangunan tahun depan. Ada harapan besar akan mengefektifkan pelayanan publik. Selain efisien dari banyak aspek, seperti biaya, waktu, dan pengawasan, yang akan menyegarkan sektor keuangan daerah, lebih-lebih manfaat yang dipetik masyarakat. 

Hanya, konsep ini membutuhkan kesadaran para pihak, terutama para politisi di gedung dewan. Sepantasnya mereka memiliki semangat yang sama untuk perubahan menuju lebih baik. Membahagiakan bukan bila rakyat dilayani lebih baik? ● 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar