Kamis, 01 Agustus 2013

Memberantas Pengacara Hitam

Memberantas Pengacara Hitam
Akhmadi Yasid  ;  Wartawan Radar Madura (Jawa Pos Group),
Pernah diklat profesi advokat
          JAWA POS, 31 Juli 2013



PENANGKAPAN Mario C. Bernardo, pengacara pada lawfirm Hotma & Associate, mengirim pesan penting bagi kita semua. Penangkapan advokat yang disebut masih keponakan Hotma Sitompul itu benar-benar membuka mata kita. Betapa profesi yang mulia (officium nobile) itu mudah tergelincir pada lubang kelam hukum yang mestinya ditegakkan.

Mario C. Bernardo yang tertangkap tangan menyerahkan uang kepada Djodi Suratman, pegawai MA, bisa menjadi kenyataannya yang tidak hanya berhenti di situ. Bukan tidak mungkin uang itu diduga memang untuk mengurus perkara di MA. Sepertinya, banyak mafia di gerbang terakhir penegakan hukum itu.

Bukan tidak mungkin, uang itu sebenarnya memang untuk diserahkan kepada pejabat sekelas hakim agung. Lebih-lebih media sudah membuka bahwa Mario C. Bernardo diduga memakelari kasasi kasus tanah di MA. Sulit menerima dalih bahwa itu uang THR atau sumbangan gereja (Jawa Pos, 30 Juli).

Kita maklum, setiap OTT (operasi tangkap tangan) KPK cenderung "lebih cerah daripada warna aslinya". Tak terhitung jumlah kasus OTT KPK yang semula terlihat biasa. Tapi, setelah bukti penyadapan dibuka di persidangan, baru publik menyadari betapa hasil OTT KPK "lebih cerah daripada warna aslinya". Yang jelas, ada indikasi permainan hukum oleh advokat.

Penangkapan Mario C. Bernardo dari lawfirm beken itu menarik jika ditelisik dari kacamata lebih luas. Kasus ini seolah menjelaskan kepada kita bahwa profesi terhormat (officium nobile) itu sangat rawan penyimpangan. 

Sudah jamak kita ketahui kasus-kasus yang melibatkan advokat hitam. Dari sekian black lawyer yang dirilis ICW, ada beberapa yang memang sudah bukan rahasia. Haposan Hutagalung, misalnya, mencuat seiring kasus mafia pajak Gayus Tambunan bersama Lambertus Palang Ama. Selain advokat, kasus Gayus komplet melibatkan segerombolan aparat, mulai hakim, jaksa, hingga polisi.

Tak terkecuali advokat sepuh Harini Wijoso yang juga ditangkap saat berusaha menyuap pegawai MA dan hakim agung. Advokat nakal pasti jauh lebih banyak. Hanya, belum terungkap karena mereka mungkin masih bernasib "baik" (atau "buruk" karena dibiarkan tak bertobat sampai mati). 

Inilah yang oleh sebagian kalangan disebut darurat hukum. Pengacara sebagai catur wangsa penegak hukum dipergoki abai pada etika profesi dan standar etik yang lain. Benar kata Lawrence M. Friedman tentang begitu pentingnya membangun hukum tidak hanya dari struktur dan substansi. Kultur hukum yang berisi kebiasaan, cara berpikir dan bertindak, harus selalu baik dari para penegak hukum. Ini berkaitan erat dengan pengawasan masyarakat. 

Sebelum UU No 18/2003 tentang Advokat diberlakukan, selalu ada kesan profesi ini menjadi subvarian. Setidaknya jika dibandingkan dengan elemen catur wangsa hukum yang lain, yakni polisi, jaksa, dan hakim. Namun, sejak UU Advokat diberlakukan, profesi officium nobile itu semakin terlegitimasi.

Inilah alasannya mengapa advokat harus diikat oleh kode etik untuk melindungi masyarakat dari perilaku tidak patut. Hal ini berbanding lurus dengan pasal 3 huruf g bab II Kode Etik Advokat Indonesia, bahwa "Advokat harus senantiasa menjunjung tinggi profesi advokat sebagai posisi terhormat".

Pada pasal 3 huruf b malah ditegaskan soal pentingnya kepribadian advokat. "Advokat dalam melakukan tugasnya tidak bertujuan semata-mata untuk memperoleh imbalan materi, tetapi lebih mengutamakan tegaknya hukum, kebenaran, dan keadilan".

Pasal ini menegaskan bahwa advokat menjadi benteng penegakan hukum (law enforcement) bersama polisi, jaksa, dan hakim. Sayangnya, dalam praktik tercium banyak advokat (bersama aparatur lain) yang justru membelokkan hukum. Jalur nonlitigasi profesi ini rawan kongkalikong dengan aparat hukum lain. Seolah ada "pasar gelap" di sana. 

Kalau sedikit mau belajar dari kehidupan advokat di negara maju, betapa mereka berupaya mempertahankan kebenaran materiil. Tak jarang advokat bertindak seperti penyidik untuk menggali sedalam-dalamnya kebenaran materiil yang terkadang tidak ditemukan di persidangan. 

Seperti pada film A Civil Action (1998) yang dibuat berdasar kisah nyata, dengan tokoh utama Jan Schlichtmann dan diperankan John Travolta. Jan Schlichtmann harus berhenti menjadi injury lawyer dan beralih menjadi pengacara lingkungan demi sebuah kebenaran. Itu dilakukan untuk menghindari kongkalikong hukum, bukan sebaliknya.

Melihat advokat hitam, pendapat Vito Corleone Andolini dalam film The Godfather, seperti benar adanya. "A lawyer with his briefcase can steal more than a hundred men with guns" (seorang pengacara dengan tasnya bisa mencuri lebih dari seratus orang dengan senjata). 

Akankah dunia advokat (dan aparat hukum lain) kita akan terus seperti ini? Kita yang harus menjawabnya. Maklum, dalam urusan hukum terkadang kita memberikan ruang untuk bermain-main dengan suap. Alasan memenangkan perkara klien menjadi pelengkap penyimpangan etika profesi advokat. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar