|
"Momentum
yang kita harapkan tak begitu saja lewat dari fenomena euforia Ganjar adalah
"kasualisasi birokrasi"
BERLEBIHANKAH menyambut kehadiran Gubernur 2013-2018 Ganjar
Pranowo dengan harapan besar membangun “Jawa Tengah baru”? Persoalan utama
dalam setiap awal peristiwa perubahan adalah “euforia” dan “momentum”. Kita,
dan bukan hanya pemilih loyal PDIP, tengah bereuforia dengan keterpilihan orang
muda, dan akan menjadi gubernur termuda dalam sejarah kepemimpinan provinsi
punjering tanah Jawi ini.
Mirip dengan fenomena Joko Widodo di DKI Jakarta yang
menciptakan “demam gaya blusukan” dengan tampilan personal bersahaja, Ganjar
yang lebih muda tampil dengan segala gaya “ngenomi”. Kelimis, kasual, gaul, dan
membawa magnet mirip Jokowi: ia seperti menabrak semua sekat kaku, baik dalam
komunikasi sosial maupun elan birokrasi.
Simaklah bagaimana bersama pasangannya, Heru Sudjatmiko,
Ganjar memilih tampil dengan celana jins biru dan kemeja putih lengan panjang
yang kemudian menjadi brand kasualnya. Performa itu membawa kesan bersahaja,
walaupun Ganjar juga biasa muncul necis dengan varian koleksi batik lengan
pendeknya.
Dengan gaya, tampilan, dan kemauan membangun silaturahmi
awal ke berbagai kelompok masyarakat, dua gubernur di DKI dan Jawa Tengah itu
bahkan mampu mencairkan sekat politis; bukan hanya “milik” PDIP tetapi menjadi
kebanggaan untuk semua. “Demam Ganjar” di Jawa Tengah, seperti sebelumnya
“demam Jokowi” di Jakarta yang ditopang oleh fenomena media darling, sejatinya
menggambarkan kerinduan tentang kehadiran “pemimpin rakyat” dengan pola-pola
komunikasi yang menyatu. Euforia di awal, kita yakini bukan sekadar sebagai
ekstremitas impian dekonstruksi kepemimpinan, melainkan lebih pada ungkapan
harapan-harapan.
Impian, Harapan
Hakikat sebuah euforia sebagai impian bisa berbalik menjadi
kekecewaan manakala keingarbingaran respons yang ditimbulkan oleh suatu
peristiwa tidak mewujud paralel dengan harapan-harapan itu. Akan tetapi euforia
bisa menjadi modal besar bagi pemimpin untuk mengelola dukungan rakyat, seperti
yang sekarang diikhtiarkan oleh Jokowi - Ahok dengan berbagai programnya.
Di Jawa Tengah, euforia itu mungkin mengembang lebih
dominan di kalangan kelas menengah, yang merepresentasi pada impian tentang
sosok pemimpin muda yang cerdas, gaul, dan menjadi lokomotif penghela
perubahan. Modal personalitas gaya itu diimpikan untuk mendekonstruksi banyak
segi yang pada periode tertentu boleh jadi dipandang menghegemoni kepemimpinan
di provinsi ini.
Euforia adalah juga momentum. Dalam pemaknaan kegairahan,
atmosfer kegempitaan dalam suksesi
kepemimpinan ini mesti ditangkap sebagai momentum
untuk menggerakkan perubahan. Kalau selama ini Bibit Waluyo selalu membanggakan
trofi-trofi penghargaan yang diterima selama masa pemerintahannya, bahkan
pernah mengatakan, “Oyaken, nek iso...!” (Kejarlah kalau bisa...!), apakah
perubahan itu harus dimaknai bahwa gubernur yang baru dituntut mampu menjajari,
bahkan melampaui capaian penghargaan-penghargaan formal itu?
Saya kira masalahnya tidak sesederhana statistik trofi,
walaupun dari sisi formalisme birokrasi hal-hal demikian masih dipandang sebagai
ukuran kebanggaan, karena itu adalah simbol prestasi. Menggerakkan perubahan,
mestinya lebih beraksentuasi pada peningkatan sikap dan perilaku partisipasi
masyarakat, menggairahkan sektor-sektor produksi, mengembangkan
potensi-potensi, dan pada gilirannya dirasakan betul sentuhan kepemimpinan itu
dari keterjaminan kesejahteraan warga masyarakat, kemandirian, dan
kreativitasnya.
Persoalan utama dalam pengelolaan momentum adalah
“memelihara aktualitas” euforia. Jika berjalan dalam komitmen trek, euforia itu
bisa dipelihara untuk terus menerus disegarkan secara aktual. Blusukan Jokowi
dijaga jangan sampai menghantam titik jenuh yang membuyarkan, karena selalu ada
produk yang dirasakan masyarakat. “Rembugan” Ganjar juga jangan sampai
membentur tembok bosan, karena selalu ada yang bisa diaktualisasikan dari
temuan-temuan gaya pendekatannya itu.
Di sinilah dibutuhkan “tim rembugan” yang kuat, yang secara
aktual mampu membaca arah kebutuhan masyarakat, memberi visi, menguatkan
kondisi-kondisi, merangkul semua, dan berlogika implementatif, bukan sekadar
normatif-politis-jargonis.
Birokrasi Kasual
Momentum yang kita harapkan tidak begitu saja lewat dari
fenomena euforia Ganjar ini adalah “kasualisasi birokrasi”, mendekonstruksi
segi-segi seram mekanisme komunikasi dan interaksi di lingkaran mata rantai
penyelenggaraan pemerintahan daerah. Silaturahmi awal Ganjar ke kepala-kepala
daerah di seluruh Jawa Tengah, merupakan start yang elegan dalam membangun
komunikasi.
Penyamaan persepsi tentang praktik otonomi daerah di tingkat
provinsi dan kabupaten/kota jelas dibutuhkan, sehingga tidak memunculkan
keluhan tentang kesenjangan komunikasi dalam rapat-rapat koordinasi di tingkat
provinsi seperti pada masa kepemimpinan gubernur sebelumnya. Titik berat otonomi
memang di daerah kabupaten/kota, namun fungsi koordinasi tidak lantas
meminggirkan simbol gubernur.
Dengan intensitas komunikasi dan interaksi ke berbagai
elemen dan lapis masyarakat, kita berharap berkembang budaya birokrasi yang
“kasual”, tidak terpaku pada pakem pelayanan publik yang cenderung lambat,
statis, seram, dan melelahkan. Budaya kegesitan birokrasi ini antara lain akan
dimungkinkan dari seberapa jauh Ganjar istikamah dengan modifikasi gaya
rembugan-nya.
Permasalahan-permasalahan yang dihadapi rakyat bisa dilihat
secara langsung, didengar, lalu diserap, sehingga tidak bergantung pada mata
rantai pelaporan yang bertingkat-tingkat dan terkadang malah menimbulkan bias
realitas.
Apalagi sikap “asal bapak senang” bagaimanapun masih
menjadi budaya pelaporan yang berdampak membangun realitas semu. Setidak-tidaknya,
inilah momentum awal dari euforia pemimpin baru yang sangat sayang jika
dibiarkan berlalu. Kekasualan gaya Ganjar Pranowo jangan berhenti sebagai
kosmetik politik, tetapi mewujud sebagai jaminan kegesitan budaya birokrasi dan
pelayanan masyarakat untuk membangun Jawa Tengah baru. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar