Sabtu, 24 Agustus 2013

Euforia Pemimpin Kasual

Euforia Pemimpin Kasual
Amir Machmud NS ;   Wartawan Suara Merdeka
SUARA MERDEKA, 23 Agustus 2013


"Momentum yang kita harapkan tak begitu saja lewat dari fenomena euforia Ganjar adalah "kasualisasi birokrasi"

BERLEBIHANKAH menyambut kehadiran Gubernur 2013-2018 Ganjar Pranowo dengan harapan besar membangun “Jawa Tengah baru”? Persoalan utama dalam setiap awal peristiwa perubahan adalah “euforia” dan “momentum”. Kita, dan bukan hanya pemilih loyal PDIP, tengah bereuforia dengan keterpilihan orang muda, dan akan menjadi gubernur termuda dalam sejarah kepemimpinan provinsi punjering tanah Jawi ini.

Mirip dengan fenomena Joko Widodo di DKI Jakarta yang menciptakan “demam gaya blusukan” dengan tampilan personal bersahaja, Ganjar yang lebih muda tampil dengan segala gaya “ngenomi”. Kelimis, kasual, gaul, dan membawa magnet mirip Jokowi: ia seperti menabrak semua sekat kaku, baik dalam komunikasi sosial maupun elan birokrasi.

Simaklah bagaimana bersama pasangannya, Heru Sudjatmiko, Ganjar memilih tampil dengan celana jins biru dan kemeja putih lengan panjang yang kemudian menjadi brand kasualnya. Performa itu membawa kesan bersahaja, walaupun Ganjar juga biasa muncul necis dengan varian koleksi batik lengan pendeknya.

Dengan gaya, tampilan, dan kemauan membangun silaturahmi awal ke berbagai kelompok masyarakat, dua gubernur di DKI dan Jawa Tengah itu bahkan mampu mencairkan sekat politis; bukan hanya “milik” PDIP tetapi menjadi kebanggaan untuk semua. “Demam Ganjar” di Jawa Tengah, seperti sebelumnya “demam Jokowi” di Jakarta yang ditopang oleh fenomena media darling, sejatinya menggambarkan kerinduan tentang kehadiran “pemimpin rakyat” dengan pola-pola komunikasi yang menyatu. Euforia di awal, kita yakini bukan sekadar sebagai ekstremitas impian dekonstruksi kepemimpinan, melainkan lebih pada ungkapan harapan-harapan.

Impian, Harapan

Hakikat sebuah euforia sebagai impian bisa berbalik menjadi kekecewaan manakala keingarbingaran respons yang ditimbulkan oleh suatu peristiwa tidak mewujud paralel dengan harapan-harapan itu. Akan tetapi euforia bisa menjadi modal besar bagi pemimpin untuk mengelola dukungan rakyat, seperti yang sekarang diikhtiarkan oleh Jokowi - Ahok dengan berbagai programnya.

Di Jawa Tengah, euforia itu mungkin mengembang lebih dominan di kalangan kelas menengah, yang merepresentasi pada impian tentang sosok pemimpin muda yang cerdas, gaul, dan menjadi lokomotif penghela perubahan. Modal personalitas gaya itu diimpikan untuk mendekonstruksi banyak segi yang pada periode tertentu boleh jadi dipandang menghegemoni kepemimpinan di provinsi ini.

Euforia adalah juga momentum. Dalam pemaknaan kegairahan, atmosfer kegempitaan dalam suksesi 
kepemimpinan ini mesti ditangkap sebagai momentum untuk menggerakkan perubahan. Kalau selama ini Bibit Waluyo selalu membanggakan trofi-trofi penghargaan yang diterima selama masa pemerintahannya, bahkan pernah mengatakan, “Oyaken, nek iso...!” (Kejarlah kalau bisa...!), apakah perubahan itu harus dimaknai bahwa gubernur yang baru dituntut mampu menjajari, bahkan melampaui capaian penghargaan-penghargaan formal itu?

Saya kira masalahnya tidak sesederhana statistik trofi, walaupun dari sisi formalisme birokrasi hal-hal demikian masih dipandang sebagai ukuran kebanggaan, karena itu adalah simbol prestasi. Menggerakkan perubahan, mestinya lebih beraksentuasi pada peningkatan sikap dan perilaku partisipasi masyarakat, menggairahkan sektor-sektor produksi, mengembangkan potensi-potensi, dan pada gilirannya dirasakan betul sentuhan kepemimpinan itu dari keterjaminan kesejahteraan warga masyarakat, kemandirian, dan kreativitasnya.

Persoalan utama dalam pengelolaan momentum adalah “memelihara aktualitas” euforia. Jika berjalan dalam komitmen trek, euforia itu bisa dipelihara untuk terus menerus disegarkan secara aktual. Blusukan Jokowi dijaga jangan sampai menghantam titik jenuh yang membuyarkan, karena selalu ada produk yang dirasakan masyarakat. “Rembugan” Ganjar juga jangan sampai membentur tembok bosan, karena selalu ada yang bisa diaktualisasikan dari temuan-temuan gaya pendekatannya itu.

Di sinilah dibutuhkan “tim rembugan” yang kuat, yang secara aktual mampu membaca arah kebutuhan masyarakat, memberi visi, menguatkan kondisi-kondisi, merangkul semua, dan berlogika implementatif, bukan sekadar normatif-politis-jargonis.

Birokrasi Kasual

Momentum yang kita harapkan tidak begitu saja lewat dari fenomena euforia Ganjar ini adalah “kasualisasi birokrasi”, mendekonstruksi segi-segi seram mekanisme komunikasi dan interaksi di lingkaran mata rantai penyelenggaraan pemerintahan daerah. Silaturahmi awal Ganjar ke kepala-kepala daerah di seluruh Jawa Tengah, merupakan start yang elegan dalam membangun komunikasi. 

Penyamaan persepsi tentang praktik otonomi daerah di tingkat provinsi dan kabupaten/kota jelas dibutuhkan, sehingga tidak memunculkan keluhan tentang kesenjangan komunikasi dalam rapat-rapat koordinasi di tingkat provinsi seperti pada masa kepemimpinan gubernur sebelumnya. Titik berat otonomi memang di daerah kabupaten/kota, namun fungsi koordinasi tidak lantas meminggirkan simbol gubernur.

Dengan intensitas komunikasi dan interaksi ke berbagai elemen dan lapis masyarakat, kita berharap berkembang budaya birokrasi yang “kasual”, tidak terpaku pada pakem pelayanan publik yang cenderung lambat, statis, seram, dan melelahkan. Budaya kegesitan birokrasi ini antara lain akan dimungkinkan dari seberapa jauh Ganjar istikamah dengan modifikasi gaya rembugan-nya. 

Permasalahan-permasalahan yang dihadapi rakyat bisa dilihat secara langsung, didengar, lalu diserap, sehingga tidak bergantung pada mata rantai pelaporan yang bertingkat-tingkat dan terkadang malah menimbulkan bias realitas.


Apalagi sikap “asal bapak senang” bagaimanapun masih menjadi budaya pelaporan yang berdampak membangun realitas semu. Setidak-tidaknya, inilah momentum awal dari euforia pemimpin baru yang sangat sayang jika dibiarkan berlalu. Kekasualan gaya Ganjar Pranowo jangan berhenti sebagai kosmetik politik, tetapi mewujud sebagai jaminan kegesitan budaya birokrasi dan pelayanan masyarakat untuk membangun Jawa Tengah baru. ● 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar