Kamis, 20 Juni 2013

Sebuah Awal dari Kesulitan Besar

Sebuah Awal dari Kesulitan Besar
Rhenald Kasali ;   Ketua Program MM UI
KORAN SINDO, 20 Juni 2013


Kalau Prof Jagdish Sheth menulis buku dengan judul Self Destructive Habits, tangan ini gatal menulis “Sebuah Awal dari Kesulitan Besar”. Awal itu soal pencarian bangsa ini terhadap energi. 

Ketika semua bangsa-bangsa sibuk mencari dan mengembangkan energi-energi baru, kita justru terperangkap dengan politik populis yang seakan-akan masih kaya minyak. Sudah tahu cadangan minyak dunia semakin menyusut, tetapi andalannya masih tetap saja minyak. Sudah tahu kilangnya tidak besar, tetap saja berfoya-foya minyak. Gampang, tidak perlu minyak mentah, beli saja yang lebih mahal: minyak yang sudah jadi. Bagaimana energi alternatif? 

Pola Pikir Minyak 

Pola pikir kita adalah negeri kaya minyak. Minyak itu seakan-akan tersedia gratis seperti air cebok. Harganya sepertiga dari harga sebungkus rokok meski untuk mendapatkannya butuh teknologi, pengetahuan tingkat tinggi, proses yang panjang, dan merusak lingkungan pula. Di negeri kepulauan yang miskin infrastruktur ini kita bahkan butuh biaya angkut yang mahal untuk mengirimnya dari satu tempat ke tempat lainnya. 

Dengan paradigma itu rusaklah semuanya ketika realitasnya sudah berubah. Sumur-sumur minyak yang ada semakin hari semakin menyusut, produksinya turun. Bisa saja sumursumur itu disedot lagi, tetapi diperlukan investasi baru yang sangat besar. Investasi baru itu ternyata tidak dilakukan. Dividen dari keuntungan usaha minyak diambil untuk menambah pemasukan APBN, bukan buat reinvestasi untuk kemakmuran pada masa depan. Akibatnya kita tak punya uang. 

Alternatifnya, cari teman, cari investor. Tetapi, mental kita mengatakan kita tidak ingin dikuasai asing karena perusahaan asing sudah terlalu banyak. Asing dikesankan menguasai karena asing mengambil terlalu banyak dalam bentuk cost recoverydan sebagainya. Tetapi, sekali lagi, yang punya modal dan teknologi ya siapa lagi kalau bukan asing? Bukan melatih diri agar lebih cerdik, melainkan kita selalu hanya ribut. 

Sementara itu mencari sendiri sumur-sumur baru selain berisiko gagal, biaya investasinya sangat besar. Kata para ahli minyak, ada sih minyak itu. Tetapi, terpendam di laut dalam atau terperangkap di dalam bebatuan (shale oil and gas). Namun, untuk menangkapnya lagi-lagi butuh teknologi: Ya, tanpa pengembangan teknologi, tidak bisa kita dapatkan minyak itu. Lalu ada gagasan mencari minyak di negeri lain. 

Tetapi, lagi-lagi, dukungan negara minim. Padahal negeri-negeri pemilik ladang-ladang minyak terus didatangi taipan-taipan minyak dari Malaysia, China, India, Thailand, Rusia, Amerika, Korea, dan Jepang. Mereka berebut memberi “pemanis” agar saling menguntungkan. Yang satu membangunkan kilang sehingga mendapatkan jaminan supplyminyak mentah. Yang lain memberikan harga pasar yang menggiurkan. 

Demi mendapatkan keberlangsunganenergi sambil mendidik warga negara agar tahu bahwa barang ini sudah berubah menjadi barang mewah. Karena kita tidak melakukannya, pilihannya hanya impor. Dari minyak mentah lalu minyak jadi dan semakin hari semakin besar. Ketika harganya di dunia internasional semakin mahal, kita pun menutup mata. Harganya di dalam negeri harus tetap murah. 

Tak peduli sekalipun akan digunakan untuk mabukmabukan, trek-trekan, untuk pacaran, pesta, dan sebagainya. Rakyat kita sama sekali tidak dididik memahami bahwa minyak telah berubah menjadi barang mewah. Bahkan tak banyak yang diberi tahu bahwa Indonesia sudah lima tahun ini keluar dari keanggotaannya di OPEC (2008). Kita bukan lagi anggota dari negara-negara kaya pengekspor minyak, melainkan perilaku kita masih bak raja minyak. Menjadi penjelajah energi. 

Tanpa energi kita tak bisa menyimpan vaksin, tak bisa mendidik anak-anak, apalagi merawat kesehatan. Pikiran kita adalah pikiran lama yang usang, yang seakanakan Indonesia kaya minyak. Atau kalaupun tidak, pikiran kita mengatakan dunia ini masih kaya minyak. “Tidak akan pernah habis.” Produsen automotif pun masih terus menjual kendaraan-kendaraan baru berbasiskan fossil fuel karena itulah energi yang paling efisien dan mudah dibawa. Kita pun terlena.

 Energi Alternatif 

Apakah alternatif yang sedang kita cari? Tenaga surya? Ternyata Indonesia bukan wilayah yang bagus buat energi tenaga surya karena matahari yang bersinar 12 jam di sini tidaklah tajam cahayanya. Kita mendapatkan “light”, tetapi tidak “heat”-nya. Tenaga angin? Ternyata juga tidak cocok. Angin di negeri ini ternyata tak sekencang angin di negeri Belanda atau Swiss walaupun penduduknya sering dilanda “masuk angin” misalnya. 

Adapun panas bumi sesungguhnya sangat menarik. Indonesia adalah negeri yang dikelilingi cincin-cincin api. Sayangnya, panas bumi itu melewati kawasan-kawasan hutan lindung yang belum tentu ramah bagi lingkungan. Di sini perkembangan agak tersendat. Lalu pilihannya ada pada biodiesel seperti minyak sawit, minyak kemiri sunan, dan sejenisnya. Tetapi, selama harga minyak yang utama (BBM) murah, sulit energi alternatif ini hidup dan berkembang. Sama sekali tak ada insentif untuk berubah. 

Kita bisa teruskan perdebatan ini dengan energi-energi alternatif lainnya seperti batu bara, gas, nuklir, dan seterusnya. Semuanya kita tentang, kita tertahan, terbelenggu, sulit bisa mewujudkannya. Padahal di seluruh dunia bangsa-bangsa besar, termasuk negeri-negeri tetangga yang hanya sebesar Malaysia dan Thailand sekalipun, sibuk membangun pertahanan energi.

 Diam-diam mereka membuat rakyatnya tidak mabuk minyak. Harga yang mahal bukan untuk menindas si miskin, melainkan untuk mendidik kesadaran sebelum bencana besar itu tiba yaitu saat minyak sudah tak terbeli lagi sementara teknologi rumah tangga dan transportasi yang dipakai masih fossil fuelbased. Diam-diam mereka melakukan riset secara mendalam demi mendapatkan energi-energi baru yang lebih terjamin pasokannya. Diam-diammerekamemberi insentif agar perusahaanperusahaannya rajinmenjelajahi dunia dan menabung energi untuk masa depan. 

Diam-diam mereka mengikat dengan kerja sama yang saling menguntungkan. Diam-diam mereka menyusun kekuatan-kekuatan baru. Sayangnya, di sini kita justru bertengkar. Kita hidup dalam alam pikiran yang tidak sama. Dalam egoisme ideologis partai yang semu. Dalam kepentingan- kepentingan pribadi dan kelompok yang bodoh. Dalam arahan yang sama sekali tak ilmiah dan tidak logis. 

Dalam permainan yang memanipulasi pikiran-pikiran rakyat. Dalam angan-angan bahwa kita punya segala-galanya. Kita dibiarkan mabuk. Bagi saya, ini semua awal bagi kesulitan yang lebih besar. Ayo putus mata rantainya. Bukalah pikiran-pikiran yang lebih sehat untuk berubah. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar