|
KOMPAS,
20 Juni 2013
Menjelang Hari
Tanpa Tembakau Sedunia, 31 Mei lalu, serombongan mahasiswa berdemonstrasi
di Gedung DPR/MPR dengan spanduk bertuliskan ”RUU Pertembakauan Pesanan Asing”.
Waktu itu saya berpikiran bahwa tuduhan
mahasiswa itu agak terlalu jauh. Masalahnya dimulai dengan masuknya RUU
Pertembakauan yang serba mencurigakan seperti yang diungkap sebuah mingguan.
RUU tersebut masuk ke Badan Legislasi (Baleg) DPR pada akhir 2012 dan segera
ditanggapi oleh Baleg masuk ke dalam prioritas yang akan dibahas pada 2013 ini
juga. Padahal, RUU tentang Tembakau yang diusulkan oleh kelompok Pengendalian
Tembakau beberapa tahun sebelumnya dan didukung lebih dari 240 anggota
diendapkan.
RUU Pertembakauan yang diusulkan kelompok
produsen rokok belakangan justru disambut dan langsung masuk prioritas. Meski
mendapat reaksi dalam sidang pleno DPR dan diberi ”bintang”, yang artinya
ditunda pembahasannya, sekarang RUU itu terus berjalan dan malah sudah
dilakukan kunjungan kerja. Prosedur ini, menurut Sumarjati Arjoso, anggota DPR
dari Gerindra, menyimpang.
Tergesa-gesa
Ketergesa-gesaan Baleg ini menimbulkan
berbagai pertanyaan. Namun, apakah RUU Pertembakauan di DPR ini muncul sebagai
pesanan asing atau tidak sulit dibuktikan. Hanya saja, hampir bersamaan dengan
itu, empat Senator AS telah menyurati negara-negara Uni Eropa (UE). Isinya
meminta agar UE jangan buru-buru mengendalikan konsumsi rokok karena sikap
seperti itu akan melukai hubungan dagang AS dengan Eropa. Demikian diberitakan Wall Street Journal edisi 6 Juni 2013. ”Kami (para Senator AS) sangat memperhatikan
rencana pengendalian rokok di Uni Eropa serta dampaknya bagi perdagangan lintas
Atlantik”, demikian antara lain isi surat itu.
Industri rokok Amerika sudah lama merasa
terkendala berbisnis di negerinya sendiri akibat ketatnya berbagai aturan
tentang konsumsi rokok di AS. Tampaknya Pemerintah AS lebih senang bila
industri rokok mereka meluaskan pasarnya di negara lain. Dapat dimengerti
ketika negara lain mulai mengetatkan konsumsi rokok, Pemerintah AS turun
tangan, seperti yang terjadi terhadap UE di atas.
Industri rokok AS meminta bantuan
pemerintahnya, setidaknya para senator, menekan agar pemerintah negara lain tak
terlalu keras mengatur konsumsi rokok. Hal serupa juga sudah pernah dilakukan
pada 1980-an. Pemerintah AS, melalui Menteri Perdagangan dan perwakilannya di
negara-negara Asia, menekan negara-negara tersebut agar menerima kehadiran
rokok AS. Dalam buku The Cigarette
Century, Allan M Brandt mengutip catatan konsul perdagangan AS di Seoul, ”Saya ingin menekankan bahwa kedutaan
bersama seluruh pemerintahan di Washington akan tetap mengedepankan kepentingan
Philip Morris dan semua industri rokok Amerika dalam tugas kita sehari-hari.”
Berdua muka
Mereka mengetahui bahwa ketika itu pemerintah
negara-negara itu belum melihat pengendalian konsumsi rokok sebagai prioritas.
Pemerintah AS berpolitik dua muka, seperti diulas Glenn Frankel di Washington
Post, 1996. ”Ketika satu tangan
Pemerintah AS mengingatkan bahaya merokok pada rakyatnya, tangan yang lain
membantu industri rokok AS mencari perokok baru di negara lain.” Terutama
di bekas Uni Soviet dan Asia.
Anehnya, Clayton Yeutter, representatif
perdagangan AS, menuduh negara yang mengendalikan rokok atas alasan kesehatan
sebagai munafik. Ketika Thailand membuat UU yang melarang penjualan rokok
impor, Pemerintah AS mengadukan hal itu ke GATT. Namun, Thailand menang karena
alasan melindungi kesehatan warganya. Yang sangat bergembira menyambut
kehadiran industri rokok AS adalah Indonesia. Indonesia jadi ladang penjualan
rokok AS (termasuk BAT) yang subur sampai kini. Mereka menguasai sepertiga
lebih pasar rokok Indonesia dan membawa untung kembali ke negerinya.
Tak jelas apakah ketergesa-gesaan Baleg
menyiapkan RUU yang melindungi industri rokok sejalan dengan desakan Senator AS
ke Uni Eropa atau hanya kebetulan. Hanya Tuhan, anggota Baleg, dan Pemerintah
AS yang tahu! Bagi AS, Indonesia adalah anak manis penurut. Mungkin kita takut
bahwa pengendalian rokok yang ketat akan merusak hubungan dagang AS-RI. Bagi
pakar hukum dan etika Griffith University Australia, Charles Sampford, industri
rokok dan pendukungnya: Corrupt
Corporation that Kills their Consumers. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar