Jumat, 07 Juni 2013

Rute Majemuk Isra Mikraj

Rute Majemuk Isra Mikraj
Sumiati Anastasia ;   Alumnus Program Master University of Birmingham
 untuk Studi Relasi Islam-Kristen
JAWA POS, 06 Juni 2013


KAMIS 6 Juni 2013 hari ini bertepatan dengan 27 Rajab 1434 H saat kita, umat Islam, merayakan peringatan Isra Mikraj. Isra berarti perjalanan Nabi pada malam hari dari Makkah ke Masjid Al-Aqsha. Mikraj berarti perjalanan Nabi dari Masjid Al-Aqsha ke langit ketujuh. Kejadian pada tahun 621 M itu hingga kini masih menjadi polemik menarik. Polemik karena dari sisi manusia, perjalanan sejauh yang dilakukan Kanjeng Nabi itu sesungguhnya tidak mungkin dilakukan dalam sehari semalam. Namun, dalam tataran iman atau kepercayaan, tidak ada hal yang tidak mungkin.

Hampir seluruh literatur sejarah Islam mencatat, sebelum sampai di Masjid Al-Aqsha, Nabi mampir di negeri tempat kelahiran Nabi Isa (Betlehem) dan tempat Nabi Musa menerima wahyu di puncak Gunung Sinai. Di tempat yang sangat bersejarah bagi Nabi Isa dan Nabi Musa, dua saudaranya sesama nabi, Nabi Muhammad memberikan hormat. Kemudian, Nabi meneruskan perjalanan menuju Masjid Al-Aqsha. Di sini di kiblat semua agama samawi (Yahudi, Kristen, dan Islam), di kawasan yang diperebutkan saat ini, Nabi melakukan salat bersama (jamaah) dengan bapak para Nabi, Ibrahim, dan dua saudaranya, Nabi Musa dan Nabi Isa.

Setelah pertemuan tersebut, Kanjeng Nabi melanjutkan perjalanan menuju langit ketujuh. Menurut para sejarawan Islam, dalam perjalanan kali ini Nabi bertemu dengan para Nabi yang lain. Di langit pertama, contohnya, Nabi bertemu dengan Nabi Adam. Di langit kedua, ketiga, dan seterusnya, Nabi juga bertemu dengan para Nabi yang lain, seperti Nabi Ibrahim, Nabi Musa, Nabi Isa, Nabi Yahya, Nabi Harun, Nabi Dawud, Nabi Sulaiman, dan Nabi Idris.

Dr Muhammad Husaein Haekal, sejarawan Islam, dalam buku Hayâtu Muhammad atau Kehidupan Nabi Muhammad menyebut peristiwa Isra Mikraj yang dialami Nabi menggambarkan sebuah puncak tertinggi religiuitas dan spiritualitas (2001: 207). Kejadiannya berlangsung dalam tempo singkat, yakni tidak sampai satu malam, namun mampu merangkum atau menyatukan semua perjalanan masa. Seperti disebutkan di atas, dalam Isra Mikraj, Kanjeng Nabi dikisahkan bertemu dengan Nabi Adam, simbol dari awal kehidupan. Kanjeng Nabi juga melihat Surga dan Neraka yang merupakan potret dari akhir kehidupan. Lewat momen itu, Kanjeng Nabi sungguh mampu menembus batas kehidupan, mengingat perjalanan Isra Mikraj berawal dari Makkah yang ada di bumi hingga langit ketujuh dan menembus batas-batas agama. Pasalnya, Nabi Muhammad bertemu dengan para Nabi yang diutus sebelum dirinya.

Relevansi untuk NKRI 

Apa pesan agung yang bisa kita timba dari Isra Mikraj kali ini? Harus diakui bangsa kita yang beragam sering justru terancam dengan kondisi keragaman itu. Padahal, keragaman (kemajemukan) seperti itu merupakan sunatullah atau hukum alam. Sayang, keragaman itu justru sering memantik konflik sosial. 

Yang memprihatinkan, konflik sosial sering justru banyak mengusung ideologi agama. Sebagian kalangan (hard liners) sangat doyan mencomot serampangan teks-teks Quran sebagai sumber perjuangan dan pembenaran tindakan radikal, dengan membunuh, melaksanakan aksi teror, merusakkan harta benda dan simbol-simbol keagamaan umat lain. Tentu, dengan mengabaikan banyak ayat yang menyerukan perdamaian dan menghargai kemanusiaan. 

Kita tentu tidak bisa menulikan diri dari berbagai kasus kekerasan yang bernuansa SARA. Meskipun hampir 68 tahun usia NKRI, tindakan menghakimi pihak lain jelas menunjukkan kita belum sepenuhnya bisa berbeda. Menghakimi pihak lain dengan cara kekerasan sesungguhnya bukan cermin hidup beriman atau beragama yang benar, sebagaimana pernah ditulis Gilles Kepel (The Revenge of God: the Resurgence of Islam, Christianity, and Judaism in the Modern World, 1994).

Karena itu, pada perayaan Isra Mikraj kali ini, sebaiknya masing-masing berani melakukan otokritik, apakah praktik hidup beragama (khususnya sebagai muslim) sudah senada dengan apa yang dicontohkan oleh Kanjeng Nabi, junjungan kita? 

Dalam pemaparan di atas sudah terlihat betapa Rasullullah tidak suka menghakimi ajaran atau apa yang disampaikan para Nabi sebelumnya. Justru Kanjeng Nabi mempertontonkan semangat menjalin tali silaturahim. Dengan tali silaturahim ini, Nabi bukan hanya bersikap toleransi (membiarkan orang lain seperti adanya), tapi juga mengapresiasi. Di sinilah teladan Kanjeng Nabi masih begitu relevan dengan kekinian kita.

Boleh jadi, semangat silaturahim inilah yang perlu dijalin oleh berbagai anak bangsa yang berbeda suku dan agama guna memperkuat kembali daya rekat (kohesivitas) sesama anak bangsa. Negeri yang majemuk seperti Indonesia jelas menuntut respons yang tepat agar kita tidak alergi pada setiap perbedaan. "Allah SWT telah menciptakan manusia menjadi bersuku-suku dan berbangsa-bangsa untuk saling mengenal." (QS 49 Al-Hujuraat: 13)

Kanjeng Nabi sudah memberikan teladan bahwa dengan silaturahim atau perjumpaan yang akrab, segala prasangka buruk bisa ditepis dan segala benih konflik sosial bisa dipadamkan sedini mungkin. Dengan demikian, kita akan bisa lebih fokus untuk memberikan kontribusi positif demi keutuhan dan kejayaan Indonesia, bangsa tempat kita tumbuh menjadi manusia.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar