|
SUARA
MERDEKA, 18 Juni 2013
MAKIN terang-benderang bahwa pemberian dana talangan (bailout) kepada Bank Century bukan untuk
melindungi perekonomian negara melainkan hanya menyelamatkan dana deposan besar
yang berspekulasi di bank sarat masalah tersebut. Pernyataan kegagalan Century
bisa berdampak sistemik, tidak lebih dari argumentasi omong kosong untuk
membungkus moral hazard di balik ’’penyelamatan’’itu.
Sejak awal keterungkapan megaskandal itu, banyak kalangan
terheran-heran dengan langkah berani Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK)
menyedot dana Rp 6,7 triliun dari Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) untuk
menyelamatkan bank kecil itu. Kala itu muncul pertanyaan: sepenting dan sebesar
apa ’’size’’ Century sehingga KSSK berjibaku menyelamatkan dengan dana sebanyak
itu? Makin membingungkan tatkala dimunculkan argumentasi seandainya tidak
diselamatkan dengan dana sebesar itu, Century menjadi bank gagal dan berdampak
sistemik.
Dampak sistemik menurut ukuran apa dan versi siapa?
Mengingat sudah diibaratkan penderita kusta, hampir semua bank besar dan
lembaga keuangan terkemuka di negara ini menolak berurusan dengan Century. Tahu
bahwa argumentasi itu omong kosong, Wapres (waktu itu) Jusuf Kalla sekali pun
tidak cemas seandainya bank tersebut tidak diselamatkan. Dia bahkan
memerintahkan supaya pemilik Century ditangkap karena diduga menggelapkan dana
deposan.
Pendirian JK saat itu terbukti benar pada kemudian hari.
Belum lama ini, Tim Pengawas (Timwas) DPR untuk proses hukum kasus Bank Century
menerima dokumen yang memuat rincian data yang bisa memperkuat sejumlah bukti
yang telah mengemuka. Data dari dokumen terbaru itu memuat matriks dengan
berbagai teori untuk dijadikan landasan kebijakan menyelamatkan Century.
Setelah mempelajari dokumen itu, kita mudah membuat kesimpulan bahwa argumentasi
tentang bank gagal berdampak sistemik itu tak lebih dari rekayasa untuk
membenarkan penggunaan dana Rp 6,7 triliun dari LPS.
Dengan demikian, ketidakpercayaan sebagian khalayak atas
argumen itu mendapatkan pembenaran. Kalau perekonomian negara aman-aman saja,
dana sebesar itu digunakan untuk apa? Dokumen yang sama memberikan petunjuk
bahwa dana LPS itu dipakai untuk menyelamatkan dana milik Budi Sampoerna Rp 2
triliun, dana milik Yayasan Bank Indonesia, dan ratusan miliar dana milik
sejumlah BUMN, seperti Telkom dan Jamsostek.
Mengapa harus menggunakan dana dari LPS? Karena para
pemilik Century sudah menggelapkan dana nasabah, dan tak mampu melaksanakan
kewajiban pada saat dana-dana deposito itu jatuh tempo.
Sarat Kejanggalan
Kalau seorang pengusaha besar dengan dana Rp 2 triliun
mencoba peruntungan atau berspekulasi di Century, jelas bukan sesuatu yang
harus dipertanyakan. Tetapi jika Yayasan BI dan sejumlah BUMN melakukan hal
yang sama di Century, tentu patut mempertanyakan. Baik Yayasan BI maupun semua
BUMN wajib untuk prudent dalam mengelola dana, sehingga wajib pula
memprioritaskan penempatan dana mereka di bank milik pemerintah. Semakin sulit
menggugurkan penilaian bahwa bailout yang menggelembung sampai Rp 6,7 triliun itu
sebagai moral hazard. Penilaian ini setidak-tidaknya diperkuat oleh pengakuan
mantan menkeu/ ketua KSSK Sri Mulyani.
Itu sebabnya, KPK sebaiknya mengkonfrontasi Sri dan mantan
gubernur BI Boediono dalam kapasitas mereka sebagai mantan ketua dan anggota KSSK.
Dalam forum rapat Pansus DPR untuk Hak Angket Bank Century, awal Januari 2010,
Sri Mulyani menegaskan bahwa dia bertanggung jawab penuh atas keputusan
penyelamatan Century berdasarkan data awal nilai bailout dari BI Rp 632 miliar.
Angka itu ditetapkan BI sebagai acuan menangani Century.
Lantas siapa yang harus bertanggung jawab atas sisa dana
talangan yang berjumlah lebih dari Rp 6 triliun itu? Model pertanggungjawaban
seperti ini tentu saja aneh. Keanehan itu saja sudah menjadi petunjuk jelas
bahwa bailout Century sarat masalah mengingat keputusan dan pertanggungjawaban
KSSK semestinya bulat alias satu suara. Bukankah KSSK hanya beranggotakan
menkeu sebagai ketua merangkap anggota, dan gubernur BI sebagai anggota?
Ketidakberesan menghitung nilai bailout makin terang-benderang ketika publik
menyimak penuturan Jusuf Kalla seputar curahan isi hati Sri Mulyani kepadanya.
Kepada Kalla, Sri mengaku merasa ’’tertipu’’ oleh data yang
diberikan BI dalam keputusan bailout. Hal ini dituturkan Kalla dalam forum rapat
Pansus Bank Century, pada 14 Februari 2010. Kalla menuturkan bahwa Sri
menemuinya di kediaman resmi wapres pada 30 September 2009. Dalam pertemuan
empat mata itulah Ketua KSSK mengaku tertipu dengan pembengkakan nilai
penyelamatan Century.
Awalnya, BI merekomendasikan dana talangan ’’hanya’’ Rp 632
miliar tapi kemudian membengkak jadi Rp 6,7 triliun. Lebih menarik jika
menyimak pernyataan Ketua KPK Abraham Samad tentang hasil pemeriksaan Sri
Mulyani. Dia menggambarkan hasil pemeriksaan itu makin mendekatkan komisi
antikorupsi tersebut dengan pihak-pihak yang merekayasa penyalahgunaan dana LPS
Rp 6,7 triliun. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar