Rabu, 19 Juni 2013

Rekayasa Bailout demi Spekulan

Rekayasa Bailout demi Spekulan
Bambang Soesatyo ;   Anggota Tim Pengawas (Timwas)
Penyelesaian Kasus Bank Century DPR
SUARA MERDEKA, 18 Juni 2013


MAKIN terang-benderang bahwa pemberian dana talangan (bailout) kepada Bank Century bukan untuk melindungi perekonomian negara melainkan hanya menyelamatkan dana deposan besar yang berspekulasi di bank sarat masalah tersebut. Pernyataan kegagalan Century bisa berdampak sistemik, tidak lebih dari argumentasi omong kosong untuk membungkus moral hazard di balik ’’penyelamatan’’itu.

Sejak awal keterungkapan megaskandal itu, banyak kalangan terheran-heran dengan langkah berani Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK) menyedot dana Rp 6,7 triliun dari Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) untuk menyelamatkan bank kecil itu. Kala itu muncul pertanyaan: sepenting dan sebesar apa ’’size’’ Century sehingga KSSK berjibaku menyelamatkan dengan dana sebanyak itu? Makin membingungkan tatkala dimunculkan argumentasi seandainya tidak diselamatkan dengan dana sebesar itu, Century menjadi bank gagal dan berdampak sistemik.

Dampak sistemik menurut ukuran apa dan versi siapa? Mengingat sudah diibaratkan penderita kusta, hampir semua bank besar dan lembaga keuangan terkemuka di negara ini menolak berurusan dengan Century. Tahu bahwa argumentasi itu omong kosong, Wapres (waktu itu) Jusuf Kalla sekali pun tidak cemas seandainya bank tersebut tidak diselamatkan. Dia bahkan memerintahkan supaya pemilik Century ditangkap karena diduga menggelapkan dana deposan.

Pendirian JK saat itu terbukti benar pada kemudian hari. Belum lama ini, Tim Pengawas (Timwas) DPR untuk proses hukum kasus Bank Century menerima dokumen yang memuat rincian data yang bisa memperkuat sejumlah bukti yang telah mengemuka. Data dari dokumen terbaru itu memuat matriks dengan berbagai teori untuk dijadikan landasan kebijakan menyelamatkan Century. Setelah mempelajari dokumen itu, kita mudah membuat kesimpulan bahwa argumentasi tentang bank gagal berdampak sistemik itu tak lebih dari rekayasa untuk membenarkan penggunaan dana Rp 6,7 triliun dari LPS.

Dengan demikian, ketidakpercayaan sebagian khalayak atas argumen itu mendapatkan pembenaran. Kalau perekonomian negara aman-aman saja, dana sebesar itu digunakan untuk apa? Dokumen yang sama memberikan petunjuk bahwa dana LPS itu dipakai untuk menyelamatkan dana milik Budi Sampoerna Rp 2 triliun, dana milik Yayasan Bank Indonesia, dan ratusan miliar dana milik sejumlah BUMN, seperti Telkom dan Jamsostek.

Mengapa harus menggunakan dana dari LPS? Karena para pemilik Century sudah menggelapkan dana nasabah, dan tak mampu melaksanakan kewajiban pada saat dana-dana deposito itu jatuh tempo.

Sarat Kejanggalan

Kalau seorang pengusaha besar dengan dana Rp 2 triliun mencoba peruntungan atau berspekulasi di Century, jelas bukan sesuatu yang harus dipertanyakan. Tetapi jika Yayasan BI dan sejumlah BUMN melakukan hal yang sama di Century, tentu patut mempertanyakan. Baik Yayasan BI maupun semua BUMN wajib untuk prudent dalam mengelola dana, sehingga wajib pula memprioritaskan penempatan dana mereka di bank milik pemerintah. Semakin sulit menggugurkan penilaian bahwa bailout yang menggelembung sampai Rp 6,7 triliun itu sebagai moral hazard. Penilaian ini setidak-tidaknya diperkuat oleh pengakuan mantan menkeu/ ketua KSSK Sri Mulyani.

Itu sebabnya, KPK sebaiknya mengkonfrontasi Sri dan mantan gubernur BI Boediono dalam kapasitas mereka sebagai mantan ketua dan anggota KSSK. Dalam forum rapat Pansus DPR untuk Hak Angket Bank Century, awal Januari 2010, Sri Mulyani menegaskan bahwa dia bertanggung jawab penuh atas keputusan penyelamatan Century berdasarkan data awal nilai bailout dari BI Rp 632 miliar. Angka itu ditetapkan BI sebagai acuan menangani Century.

Lantas siapa yang harus bertanggung jawab atas sisa dana talangan yang berjumlah lebih dari Rp 6 triliun itu? Model pertanggungjawaban seperti ini tentu saja aneh. Keanehan itu saja sudah menjadi petunjuk jelas bahwa bailout Century sarat masalah mengingat keputusan dan pertanggungjawaban KSSK semestinya bulat alias satu suara. Bukankah KSSK hanya beranggotakan menkeu sebagai ketua merangkap anggota, dan gubernur BI sebagai anggota? Ketidakberesan menghitung nilai bailout makin terang-benderang ketika publik menyimak penuturan Jusuf Kalla seputar curahan isi hati Sri Mulyani kepadanya.

Kepada Kalla, Sri mengaku merasa ’’tertipu’’ oleh data yang diberikan BI dalam keputusan bailout. Hal ini dituturkan Kalla dalam forum rapat Pansus Bank Century, pada 14 Februari 2010. Kalla menuturkan bahwa Sri menemuinya di kediaman resmi wapres pada 30 September 2009. Dalam pertemuan empat mata itulah Ketua KSSK mengaku tertipu dengan pembengkakan nilai penyelamatan Century.

Awalnya, BI merekomendasikan dana talangan ’’hanya’’ Rp 632 miliar tapi kemudian membengkak jadi Rp 6,7 triliun. Lebih menarik jika menyimak pernyataan Ketua KPK Abraham Samad tentang hasil pemeriksaan Sri Mulyani. Dia menggambarkan hasil pemeriksaan itu makin mendekatkan komisi antikorupsi tersebut dengan pihak-pihak yang merekayasa penyalahgunaan dana LPS Rp 6,7 triliun. ● 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar