|
TEMPO.CO,
18 Juni 2013
“Orang-orang dengan siapa saya berkonflik, mereka adalah guru saya yang paling
penting.” -- Dalai Lama
Seorang bapak buta berjalan pada
malam hari. Tangan kanannya menggenggam tongkat, tangan kiri menjinjing lampu.
Ini pemandangan mengherankan bagi seorang pria yang kebetulan berpapasan
dengannya. Penasaran, pria itu bertanya, “Mengapa Anda berjalan membawa lampu?”
Orang buta itu menjawab, “Buat penerangan.” Belum puas, pria itu bertanya lagi,
“Bukankah Anda tetap tidak bisa memandangi jalan meski menjinjing lampu
penerang?” Sambil tersenyum, orang buta menjawab, "Meski saya tidak bisa
melihat, orang lain bisa memandangi saya. Lampu saya membuat jalanan menjadi
benderang. Juga agar pengguna jalan lain tidak menabrak saya.”
Kisah di atas adalah anekdot
sederhana perihal cara manusia memandang hidup. Lelaki heran mewakili manusia kebanyakan,
yang biasa melihat persoalan dengan “sudut pandang aku” atau “sudut pandang
kamu”. Orang buta berparadigma sinergis: cara berpikirku bertemu cara
berpikirmu menghasilkan cara berpikir kita.
Manusia bermental sinergis
mendahulukan kita ketimbang aku. Manusia sinergis, mengingat populasinya amat
sedikit, dalam bahasa statistik disebut pencilan. Macolm Gladwell menyebut
manusia bukan rata-rata itu dengan istilah outlier. Tokoh sinergis
itulah karakter Nelson Mandela.
Stephen Richard Covey, dalam The
3rd Alternative (2011), menjuluki Mandela dengan Seminal karena
menabur benih dan memekarkan tunas baru dalam memahami dunia. Dia menempatkan
dirinya bukan sebagai korban keadaan, melainkan pencipta masa depan. Bisa
percaya diri sekaligus rendah hati pada waktu bersamaan.
Pemimpin perdamaian dunia ini
mengajarkan kebaikan dengan memutus mata rantai kekerasan dan siklus balas
dendam. Mandela teladan perbuatan baik. Bangsa kulit putih yang memenjarakan
dan melakukan politik apartheid dibiarkan hidup dalam damai. Mandela tidak
pernah berencana melakukan aksi pembersihan etnis terhadap bangsa kulit putih.
Ia memaafkan bangsa yang pernah menista dan menjajah kaum kulit hitam. Mandela
tahan uji. Tidak menularkan ketakutan, kecemasan, dan penderitaannya kepada orang
lain.
Pada 1964, Nelson Mandela mulai
menjalani masa hukuman 27 tahun di penjara terpencil pulau Robben, Afrika
Selatan. Pengacara muda ini memberontak pada sistem apartheid yang menindas
warga kulit hitam. Di penjara, ia getir mendapat cemoohan, makian, dan
penghinaan seperti binatang. Mandela butuh empat tahun untuk menghilangkan rasa
benci terhadap sipir yang menghina dan menyiksanya. Hati Mandela berangsur
berubah karena para sipir juga korban dari apartheid.
Mandela berkarib dengan Christo
Brand. Sipir itu menyelundupkan roti dan surat buat Mandela. Ia melanggar
aturan dengan membolehkan Mandela menggendong cucunya. Suatu saat, sipir itu
bisa kena bala. Mandela mengirim surat kepada istri sang sipir agar suaminya
kuliah lagi. Mandela memperlakukan Riaan, anak sang sipir, layaknya cucunya
sendiri. Riaan kelak, saat Mandela jadi presiden, memperoleh beasiswa dari
mantan orang nomor satu Afrika Selatan itu. Relasi narapidana dengan sipir itu
merupakan salah satu tahap dari perjalanan panjang Mandela membebaskan dari
prasangkanya sendiri.
Selama tahun-tahun panjang dan
sepi, hasrat Mandela pada kemerdekaan kaumnya berubah menjadi hasrat untuk
kebebasan semua orang, baik kulit putih maupun hitam. Pihak penindas harus
dibebaskan. Sama seperti pihak yang ditindas. Keduanya, setali tiga uang, telah
direnggut kemanusiannya. Bangsa Afrika Selatan mengatakan Mandela
memiliki Ubuntu, wawasan hidup yang dibangkitkan semangat belas
kasih dan curahan kemurahan hati menakjubkan.
Pergeseran paradigma Mandela
radikal. Konflik dilihatnya bukan lagi sebagai masalah, melainkan peluang.
Perbedaan pendapat besar dijadikan ajang pembelajaran, bukan dinding batu
pemisah. Tujuan hidup Mandela bukan untuk meraih kemenangan atas lawan,
melainkan melakukan perubahan untuk semua orang dan semua pihak. Dia
menyelesaikan akar konflik dengan mengubah paradigma penyebab konflik, yang
dimulai dengan mengatasi konflik batin yang merupakan konflik paling pelik dan
sulit.
Mentalitas defensif (keras kepala)
muncul karena rasa tidak aman dan ketidakjujuran pada diri sendiri. Mentalitas
ini cenderung merendahkan mereka yang berbeda pendapat. Empati muncul saat
Mandela menemukan dirinya dalam hati orang lain. Mandela mengamati dengan
matanya, merasakan emosinya, dan berbagi kepedihannya. Kapasitas untuk
berempati itu sesuatu yang alami dan memberi dampak besar. Tapi mengapa empati
sangat langka? Karena persaingan antarparadigma lebih banyak dimenangkan “cara
berpikirku” dan “cara berpikirmu”, bukan “cara berpikir kita”. Aku dan kamu
lebih banyak mendahulukan kepentingan pribadi masing-masing ketimbang
mengutamakan kepentingan kita. Sebagian besar resolusi konflik jadi bersifat
transaksional. Sedangkan resolusi yang ditawarkan Mandela bersifat
transformatif.
Ada
anggapan empati akan memperpanjang konflik. Tapi cara paling tepat untuk
mendapatkan solusi adalah dengan mendengarkan penuh empati. Waktu yang
diluangkan untuk memahami rival tidak seberapa banyak dibanding waktu dan
sumber daya yang terbuang bila terus berselisih. Di AS, 1,2 juta pengacara
menagih sekitar US$ 71 miliar setahun untuk jasa mereka. Angka itu belum
termasuk success fee untuk perkara yang mereka menangkan di
pengadilan. Betapa banyak waktu dan uang bisa dihemat bila orang berusaha
saling memahami secara jujur.
Politikus oportunis Indonesia yang keras kepala sulit berempati. Kaum pragmatis sering menggunakan kata rakyat dalam sepak terjang kemunafikan dan hipokrisi. Ajudikasi, penyelesaian konflik lewat jalur hukum, sebaiknya dihindari. Pemenang biasanya menjadi pecundang dalam biaya pengeluaran dan waktu yang terhambur. Mendengarkan penuh empatik butuh waktu. Tidak seberapa lama dibanding yang dibutuhkan untuk memulihkan hubungan yang telanjur rusak, untuk hidup di bawah penindasan dan masalah yang tak terpecahkan.
Berusahalah terlebih dulu untuk mengerti, baru kemudian dimengerti. “Keberanian bukan berarti tiadanya rasa takut, melainkan kemenangan atas ketakutan. Berani bukan berarti dia yang tidak merasa takut, melainkan yang berhasil mengalahkan rasa takut.” Begitulah prinsip hidup Nelson Mandela.
Robert Holden, dalam Success Intelligence: Timeless Wisdom for a Manic Society (2005), mencatat warisan terbesar Mandela untuk mengatasi dunia yang belepotan dendam dan prasangka. “Permaafan melepaskannya dari belenggu kesalahan masa lalu dan membuatnya kembali kuat. Ia memaafkan dirinya sendiri. Agar perasaan malu dan penyangkalan diri tidak terlalu berat untuk dipikul. Ia juga memaafkan pihak lain atas peran mereka dalam menciptakan kekecewaan dan kesedihan. Tujuan hidupnya bukan memikul segala keluhan sesal melainkan untuk terus berkembang dan tumbuh.” ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar