|
KORAN
TEMPO, 17 Juni 2013
Target Pembangunan Milenium (MDGs), yang ditetapkan pada
2000 oleh 193 negara dan 23 organisasi internasional, akan mencapai tenggatnya
dua tahun lagi. Ada delapan target pembangunan yang menjadi kesepakatan global,
yang lebih dikenal sebagai Deklarasi Milenium Perserikatan Bangsa-Bangsa, untuk
mengurangi separuh angka kemiskinan di dunia.
Delapan target tersebut adalah menanggulangi kemiskinan dan
kelaparan; pendidikan dasar untuk semua; kesetaraan gender dan pemberdayaan
perempuan; menurunkan angka kematian anak; meningkatkan kesehatan ibu;
memerangi HIV/AIDS, malaria, dan penyakit menular lain; kelestarian lingkungan
hidup; serta membangun kemitraan global untuk pembangunan.
Mayoritas negara berkomitmen memenuhi kedelapan target
tersebut pada 2015. Artinya, MDGs segera berakhir dan negara-negara di seluruh
dunia hanya memiliki dua setengah tahun lagi untuk memenuhi keseluruhan target
tersebut. Beberapa kritik muncul terkait dengan delapan target tersebut, yang
kemudian diturunkan menjadi beberapa indikator keberhasilan, misalnya
pertumbuhan yang muncul bukanlah sekadar angka statistik. Contohnya adalah
kematian anak.
Pada 2011, hampir 7 juta anak-anak meninggal sebelum ulang
tahun kelima mereka. Angka ini turun drastis dari 12 juta pada dua dekade lalu.
Namun jumlah tersebut masih cukup tinggi untuk disimpulkan bahwa pembangunan
telah terjadi dan berjalan di koridornya. Contoh lain adalah kesetaraan akses
untuk pendidikan. Di suatu daerah, tercatat lebih dari 90 persen anak-anak usia
sekolah telah terdaftar di sekolah dasar. Namun, di daerah lain, target MDGs
itu belum berhasil.
Upaya Indonesia
Pemerintah Indonesia telah memasukkan target MDGs sebagai
prioritas dalam Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional 2005-2025, Rencana
Pembangunan Jangka Menengah Nasional 2004- 2009 dan 2010-2014, serta Rencana
Kerja Program Tahunan. Laporan pencapaian MDGs pada 2010, yang dikeluarkan oleh
Bappenas, menyebutkan bahwa Indonesia telah mencapai beberapa target MDGs, satu
di antaranya adalah angka partisipasi murni untuk pendidikan dasar mendekati
100 persen dan angka melek huruf melebihi 99,47 persen pada 2009.
Angka tersebut menunjukkan bahwa sebagian besar anak-anak
Indonesia telah mengenyam pendidikan dasar. Namun bukan berarti mereka telah
mendapatkan pendidikan berkualitas. Jika dilihat dari peringkat Indonesia untuk
Programme for International Students Assessment (PISA)-sebuah program yang
mengevaluasi kompetensi anak berumur 15 tahun dalam hal membaca, matematika,
dan ilmu pengetahuan setiap 3 tahun-kita masih jauh tertinggal. Pada 2009,
Indonesia berada di peringkat 10 terbawah dari 65 negara.
Di semua negara, kemiskinan mengantarkan stres kronis untuk
anak-anak dan keluarganya. Sebagai contoh, di Indonesia bagian timur, tingkat
kemiskinan dua kali lipat lebih dari rata-rata angka nasional (13,33 persen),
yaitu Papua 36,80 persen, Papua Barat 34,88 persen, dan Maluku 27,74 persen.
Mereka juga memiliki persentase yang lebih rendah untuk partisipasi murni dalam
pendidikan dasar.
Ketimpangan pembangunan
Permasalahan pendidikan di Indonesia bukan sekadar jumlah
anak yang masuk sekolah dan jumlah anak yang bebas dari buta huruf. Yang lebih
penting adalah berkaitan dengan pendidikan yang merata dan berkualitas.
Pemerintah Indonesia telah mengupayakan berbagai cara untuk meningkatkan jumlah
anak yang ikut program Wajib Belajar 9 Tahun, salah satunya adalah program
Bantuan Operasional Sekolah (BOS). Dari total alokasi BOS untuk 2013, yaitu Rp
23 miliar lebih, sebagian besar (93 persen) ditujukan untuk sekolah di daerah
tidak terpencil. Selain itu, penghitungan pemberian BOS didasari jumlah siswa.
Jadi, semakin banyak siswa, semakin besar dana didapat. Lalu, bagaimana dengan
sekolah di daerah terpencil dengan jumlah siswa yang sedikit? Inilah yang
disebut sebagai ketimpangan pembangunan.
Pemerintah juga berupaya untuk melakukan standardisasi
pendidikan nasional sebagai acuan pengembangan kurikulum, tenaga kependidikan,
sarana dan prasarana, pengelolaan, serta pembiayaan, dan diatur dalam
Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional Nomor 20 Tahun 2003 Pasal 35. Salah
satunya dengan ujian nasional, yang pada implementasinya mendapat banyak
kritik, terutama terkait dengan negasi proses belajar, kualitas tenaga
pengajar, serta infrastruktur/fasilitas belajar-mengajar yang berbeda dari
setiap wilayah di Indonesia. Tidak aneh jika pada akhirnya ujian nasional juga
dijadikan alat untuk mendongkrak prestise sekolah dan berujung pada mencoba
segala cara untuk mendapatkan persentase kelulusan tinggi.
Komitmen pemerintah
Indonesia, melalui kepemimpinan Presiden Susilo Bambang
Yudhoyono, memainkan peran yang sangat penting dalam pembuatan agenda
pembangunan setelah 2015. Presiden Yudhoyono adalah satu di antara tiga
pemimpin anggota Panel Tingkat Tinggi Perserikatan Bangsa-Bangsa berjumlah 27 negara,
bersama Perdana Menteri Inggris David Cameron dan Presiden Liberia Ellen
Johnson Sirleaf. Sejak September 2012 sampai Mei 2013, panel ini bertugas
memberi rekomendasi kepada Sekjen PBB dalam agenda pembangunan global setelah
2015.
Panel Tingkat Tinggi telah menyampaikan lima agenda
transformatif serta 12 target dan 54 indikator pembangunan global yang
berkelanjutan. Salah satu targetnya adalah penyediaan pendidikan berkualitas
dan pembelajaran seumur hidup. Hal ini tentunya membutuhkan keseriusan pemerintah
tiap negara untuk menjamin warganya mendapatkan akses belajar tanpa batasan
kelas dan usia, sehingga mereka memiliki kemampuan untuk membaca, menulis, dan
menghitung sebagai standar minimum sebuah proses pembelajaran.
Tiba saatnya negara-negara anggota PBB menjadikan agenda
ini sebagai agenda serius sampai 2030. Komitmen dari para pemimpin negara
diperlukan untuk memastikan bahwa agenda tersebut memberi manfaat kepada semua
warga negara, bahkan yang paling sulit dijangkau, misalnya anak-anak di daerah
paling terpencil dan miskin. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar