Minggu, 02 Juni 2013

Panggung Politik Perempuan

Panggung Politik Perempuan
Ali Masykur Musa ;  Ketua Umum Ikatan Sarjana Nahdlatul Ulama,  
Penggagas AMM Berdedikasi
KORAN SINDO, 01 Juni  2013



Proses pencalegan sudah dirampungkan seluruh partai politik dan didaftarkan ke Komisi Pemilihan Umum (KPU). Salah satu isu sentral pencalegan adalah representasi perempuan dalam politik atau yang bisa disebut kuota 30% keterwakilan perempuan. 

Sepenting itukah perempuan dalam panggung politik? Isu perempuan memang tidak ada habisnya untuk dibicarakan. Perempuan menempati peranan penting dalam dinamika kehidupan. Seiring dengan melajunya zaman dan dibarengi dengan perjuangan perempuan yang tiada henti, nasib perempuan telah banyak mengalami kemajuan. Perempuan tak lagi hanya berperan dalam kegiatan domestik, tetapi mulai merambah dunia publik. 

Perempuan sekarang telah mampu menjalankan pekerjaan yang biasanya dilakukan lelaki. Dalam sejarah peradaban manusia, perempuan memang mempunyai peran yang sangat penting. Dalam konteks Islam, perempuan juga diistimewakan, baik kedudukan maupun peranannya. Bahkan, Tuhan mengisyaratkan keistimewaan kaum Hawa tersebut melalui salah satu surat dalam Alquran, yakni Surat Al-Nisa yang berarti perempuan. 

Begitu istimewanya perempuan dalam kehidupan manusia sampai-sampai dalam sebuah riwayat Nabi Muhammad SAW bersabda, ”Wanita adalah tiang negara.”Dalam hadis lain juga Rasulullah berkata, ”Dunia ini adalah harta dan sebaik-baik harta benda adalah wanita yang salehah,” (HR. Muslim). Dari kedua hadis tersebut, cukup bisa dipahami bahwa baik buruknya suatu negara tergantung kepada para perempuannya, tanpa mengabaikan peran laki-laki tentunya. 

Melihat kondisi di Indonesia, memang perempuan masa kini sudah terlibat dalam ruang pembangunan seperti dalam aspek politik, sosial, budaya maupun ekonomi, hanya saja jumlahnya belum terlihat signifikan. Dalam dunia politik di negara kita, gerakan untuk meningkatkan jumlah keterwakilan perempuan dalam politik sebenarnya sangat memungkinkan mengingat besarnya jumlah pemilih perempuan yang ada. 

Sayangnya, hal tersebut tidak diimbangi dengan jumlah perempuan yang duduk di DPR secara signifikan. Meskipun jumlah perempuan di parlemen mengalami peningkatan, yaitu dari 11,3% pada Pemilu 2004 menjadi 18% pada Pemilu 2009, angka ini masih jauh dari yang dicita-citakan, yakni 30% menurut Undang-Undang No 10/2008 tentang Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD dan DPD. 

Sementara berdasarkan data Kementerian Negara Pemberdayaan Perempuan RI, perempuan yang menjabat di eselon I baru mencapai 9,77% dan eselon II 6,71%. Persentase keterwakilan perempuan tidak berbanding lurus dengan jumlah mereka, hal ini bisa dianggap sebagai sebuah ironi. 

Perempuan dan Demokrasi 

Demokrasi menuntut sistem perwakilan yang memungkinkan semua kelompok masyarakat terwakili. Tujuannya agar dalam pengambilan putusan tidak ada kelompok yang ditinggalkan. Namun sejak gagasan demokrasi dipraktikkan, parlemen tidak pernah mewakili semua kelompok yang ada di masyarakat. 

Kenyataan ini menyebabkan parlemen sering mengeluarkan kebijakan yang justru mendiskriminasi kelompok masyarakat yang diklaim diwakilinya. Sebagaimana tampak dalam produk legislasi, materi-materi undang-undang yang dikeluarkan DPR lebih banyak berkaitan dengan dunia laki-laki seperti pertahanan, keamanan, kepolisian, korupsi, investasi, perdagangan. Sementara masalah kesejahteraan, kesehatan, pendidikan, kesenian, lingkungan, atau perlindungan anak tidak banyak disentuh. 

Karena itu, peningkatan jumlah perempuan dalam lembaga legislatif sangat diperlukan. Pentingnya perempuan dalam politik tidak berhenti di situ. Dari hasil pendataan pemilih pada setiap pemilu (termasuk pemilu kepala daerah), ternyata daftar pemilih perempuan sering kali lebih banyak dibandingkan pemilih laki-laki. Namun, tidak banyak partai politik dan pasangan calon yang memfokuskan perempuan sebagai pangsa pasar yang harus digarap secara konkret. 

Padahal dari berbagai pilkada terbaca gejala bahwa jumlah kehadiran perempuan di TPS selalu lebih besar dibandingkan laki-laki. Selain itu, perempuan lebih setia dalam memegang pilihannya dan kemampuan persuasi perempuan sangat efektif dalam pemilu. H a l tersebut bisa diartikan bahwa sebagian dari pemilih perempuan sudah bisa keluar dari kendala struktural maupun kultural yang mengekangnya selama ini. 

Tidak sedikit pemilih perempuan yang berani menunjukkan perbedaan pilihan politik dengan suami dan orang tuanya. Pemilih perempuan dalam menentukan pilihan politiknya, dengan demikian, tidak hanya berdasar pada sisi emosional dan sosiologis, tetapi juga merambah pertimbangan rasional dan politis. 

Penguatan Keterlibatan Perempuan 

Berkaca pada kondisi di atas, sudah saatnya kita melindungi hak-hak perempuan dalam kehidupan demokrasi dengan formula yang baik. Untuk itu ada beberapa agenda penting yang harus dilakukan guna memperkuat representasi dan penguatan perempuan dalam politik, khususnya dalam pilkada. 

Sejumlah agenda tersebut adalah, pertama, memperkuat aksesibilitas, partisipasi, dan respons perempuan dalam politik melalui pendidikan politik. Kedua, meningkatkan kesadaran politik perempuan dan mendorong suara, akses, dan kontrol mereka terhadap penyelenggaraan pemilu. Ketiga, mendorong penguatan strategi dan model regulasi serta kebijakan dalam sistem pemilu dan rekrutmen partai politik yang memungkinkan terjadinya peningkatan representasi perempuan di panggung politik. 

Keempat, memperkuat keterampilan politik perempuan dengan cara melatih mereka supaya peka terhadap isu-isu pemilu seperti regulasi dan kebijakan yang berhubungan dengan penyelenggaraannya. Kelima, membangun kepekaan elektibilitas perempuan atas hak-hak politiknya dalam pemilu supaya mereka dapat merespons persoalan yang mendiskriminasi perempuan dengan cara melakukan pendidikan politik yang sistematis dan berkelanjutan. 

Keenam, mendukung dan memperkuat jaringan kerja yang memungkinkan terjadinya penguatan responsibilitas perempuan dalam pemilu. Memang, di tengah struktur birokrasi dan institusi pembangunan di Indonesia yang masih dilekati ”watak patriarki”, meningkatkan kualitas gerakan politik perempuan tidak semudah membalikkan telapak tangan. Karena itu, perempuan harus mendapat dukungan dari berbagai pihak untuk bisa menjadi komunitas yang solid. 

Dengan soliditas kuat, perempuan bisa menggalang kekuatan sesama politisi perempuan. Kekuatan itu secara bersama-sama kemudian digunakan untuk memengaruhi sistem dan perilaku politik. Indonesia harus berani memulai dan menyuarakan terusmenerus pentingnya perempuan untuk berpartisipasi aktif dalam politik. Karena, bukankah berani memulai dan konsisten adalah syarat untuk sebuah perubahan? Selamat berjuang kaum perempuan di gelanggang politik. Cukup menantang bukan? 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar