Sabtu, 01 Juni 2013

Jokowi Sekali Lagi

Jokowi Sekali Lagi
Budiarto Shambazy ;  Wartawan Senior Kompas
KOMPAS, 01 Juni  2013


Narasi pencapresan setahun menjelang Pilpres 2014 masih relatif stagnan. Rupanya ”tahun politik” yang digembar-gemborkan itu tak berlangsung tahun ini, baru tahun depan.

Alasan pertama mengapa stagnan karena pasar lebih banyak didikte hasil survei kuantitatif dan pemberitaan media massa. Hasil survei dianggap kurang valid dan pemberitaan hanya menyuguhkan noises, bukan voices.
Perlu juga digarisbawahi, citra sebagian jajak pendapat tercemar. Dan, dalam demokrasi yang utuh, pers bukan berperan sebagai penggembala rakyat, melainkan sebagai pengontrol kekuasaan.

Pengumuman hasil jajak pendapat dan pemberitaan pers cukup informatif tentang capres-capres. Namun, berhubung Pilpres 2014 masih jauh, belum ada yang memberikan pemahaman apa yang akan mereka lakukan tahun 2014-2019.

Tentu sudah banyak kalangan yang menentukan pilihan masing-masing dengan referensi kualitatif yang lumayan lengkap. Tetapi, pilihan itu ibaratnya masih berupa tabungan yang baru akan dibelanjakan jika kelak waktunya tiba.

Alasan kedua, tak mudah membedakan antara capres yang secara prosedural telah memenuhi syarat dengan yang belum. Anda tak hafal, misalnya, siapa yang resmi mendeklarasikan diri lengkap dengan partai/partai-partai pendukung.

Atau Anda mungkin lebih hafal capres-capres yang justru tidak dicalonkan partai atau mendeklarasikan diri. Lebih parah lagi, Anda punya jagoan-jagoan yang hanya disebut-sebut sekilas saja yang Anda belum ketahui rekam jejaknya.

Oleh sebab itu, wacana pencapresan cuma menyentuh kulit perdebatan saja. Tema-tema yang beredar masih seputar bosan wajah lama, berharap pada wajah baru, sindrom ”rindu Soeharto”, usia tua atau muda, dan lain-lain.

Ini barangkali yang disebut sebagai ”penyakit pemula” dalam demokrasi kita yang relatif baru. Kita menganggap kepresidenan sebagai satu-satunya lembaga penentu jalannya republik ini.

Debat di BPUPKI sudah mengingatkan bahaya hegemoni kepresidenan ala sistem presidensial di Amerika Serikat ini. Itu sebabnya, konstitusi kita menetapkan presiden hanya sebagai mandataris yang bertanggung jawab kepada MPR.

Sejak 2004 sampai abad ke-22 saja bakal ada puluhan presiden yang kita pilih langsung. Saya berani menjamin, tak satu pun dari mereka akan mampu memuaskan selera pasar kita yang secara geografis dan kultural terlalu beragam ini.

Sebuah fakta unik, banyak yang belum tahu kita punya dua presiden selain enam nama yang kita hafal: Assaat Datu Mudo dan Syafruddin Prawiranegara. Bahkan, ada yang beranggapan Syafruddin 100 persen orang Minang, padahal sekitar 75 persen darahnya asli orang Banten.

Idealnya kita tak perlu mempersoalkan usia, jenis kelamin, wajah lama atau baru, dan berbagai kriteria kurang penting tentang capres. Realitas yang kita hadapi sekarang mengatakan capres-capres yang tersedia masih yang itu-itu juga.

Namun, suka atau tidak, belakangan ini stagnasi itu mencair dengan kemunculan kembali nama Gubernur DKI Joko Widodo sebagai capres terfavorit. Padahal, Jokowi belum mendeklarasikan diri dan belum dicalonkan PDI-P.

Kita dihadapkan pada one million dollar questions alias teka-teki terbesar: apakah Jokowi mau nyapres? Pertanyaan ini belum akan terjawab sampai sekitar akhir tahun ini, selama Ketua Umum PDI-P Megawati Soekarnoputri masih bungkam.

Bagi saya, yang menarik bukan Jokowi mau nyapres atau tidak, tetapi debat yang sehat di seputarnya. Jokowi sebuah kebetulan sejarah, atau ”faktor x”, yang sering kali secara tiba-tiba jadi penentu berjalannya sejarah Indonesia.

Jokowi bukan sosok hebat, ”cuma” seorang wali kota Solo yang terpilih dua periode karena tipe kepemimpinan dia yang merakyat. Tentu tak sedikit pemimpin lokal lain yang berprestasi mirip dia.
Bedanya Jokowi lebih bermakna sebagai simbol ketimbang sosok. Ia menyimbolkan harapan baru bagi kita tentang masa depan yang lebih cerah.

Dalam skala berbeda, kemunculan Jokowi kurang lebih sama dengan Barack Obama di AS dalam periode 2007-2008. Hanya dalam waktu sekitar setahun, kedua simbol ini mengubah drastis lanskap elektoral di AS dan di Indonesia.

Rakyat AS kecewa terhadap war on terrorism selama dua periode Presiden George W Bush, rakyat Indonesia kecewa terhadap war on corruption selama dua periode 2004-sekarang. Mereka memilih Obama (di sini mau memilih Jokowi) sebagai presiden lebih sebagai protes sosial ketimbang menggunakan hak pilih.

Sejak era demokrasi, kita rakyat di bawah dipaksa harus reaching out setiap pemimpin yang seolah hidup di atas sana. Kini malah sang pemimpin yang mau turun reaching out kita rakyat di bawah.

Dengan kata lain, Jokowi sama dengan kita dengan kelebihan dan kekurangannya. Kita tertarik menyimak pernyataan realistis dia di media massa, kita juga tergelak menertawakan keluguan dia.

Dalam bahasa Inggris, ”He is one of us.” Dan, kebersamaan antara yang memimpin dengan yang dipimpin itulah yang telah lama hilang.

Saya minta maaf mengatakan keliru mengkritik Jokowi seolah belum siap menjadi presiden. Presiden-presiden pascareformasi belum tentu lebih baik dibandingkan dia saat mereka nyapres.

Demokrasi tak mau menunggu siapa pun, tak bisa diulur seperti benang layangan, pula tak bisa ditarik ke belakang seperti memutar balik jam. Ia harus dilakukan sekarang atau tidak sama sekali.


Bisa dibayangkan Megawati harus mengambil keputusan yang mungkin paling berat dalam karier politiknya. Kalaupun Jokowi batal nyapres, anggap saja artikel ini tak ada, saya mohon maaf Anda.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar