|
KOMPAS, 11 Juni 2013
Waktu
tak lebih dari satu tahun sebenarnya tak cukup untuk menilai kinerja seorang gubernur.
Apalagi di provinsi yang permasalahannya sangat kompleks seperti Jakarta.
Namun,
hal ini tidak berlaku pada Joko Widodo (Jokowi). Belum genap setahun memimpin
Ibu Kota, Jokowi sudah mendapatkan apresiasi luar biasa. Dia selalu disambut
hangat dan dielu-elukan warga Ibu Kota.
Jokowi
kemudian secara cepat juga bertransformasi jadi tokoh nasional terdepan. Survei
sejumlah lembaga penelitian telah menempatkan Jokowi sebagai unggulan pertama
dalam bursa calon presiden pilihan masyarakat. Partai-partai politik pun mulai
mewacanakan kemungkinan ”berkoalisi” dengan dirinya. Fenomena Jokowi tak
diragukan lagi telah mengubah konstelasi politik nasional.
Komunikasi
yang khas
Bagaimana
menjelaskan fenomena ini? Pandangan umum menyatakan, masyarakat Indonesia jenuh
dengan kepemimpinan nasional yang ada. Masyarakat kehilangan antusiasme
terhadap nama-nama pemimpin nasional yang itu-itu juga, dengan model
kepemimpinan, gaya komunikasi, dan pendekatan masalah yang serupa tapi tak
sama. Masyarakat merindukan tokoh-tokoh muda yang lebih menjanjikan perbedaan
dan perubahan.
Sesungguhnya
Jokowi tidak seorang diri dalam hal ini. Namun, dia diuntungkan oleh situasi
dengan banyak tokoh pemimpin muda yang belum-belum sudah terlilit masalah
korupsi, direpotkan kendala struktural-hierarkis parpol, atau belum dapat
momentum untuk muncul ke permukaan. Dengan jabatannya yang sangat strategis,
dengan model komunikasinya yang sangat simpatik di mata masyarakat dan pers,
Jokowi terlihat melesat sendirian.
Di
sisi lain, Jokowi juga mampu mengobati kerinduan bangsa Indonesia terhadap
figur manusia politik dalam pengertian yang otentik dan luhur. Pertama-tama,
tentu saja kita harus menyebut gaya komunikasi Jokowi yang khas dan di luar
kelaziman.
Kebiasaan
blusukan ke kampung-kampung pinggiran untuk kemudian berdialog langsung dengan
rakyat kecil, tanpa ada jarak dan kekakuan protokoler, jelas terlihat kontras
dengan model pendekatan formalistik dan hierarkis khas pejabat publik pada
umumnya. Preferensi dan simpati masyarakat dengan cepat terbentuk karena Jokowi
mampu menjadi antitesa dari apa yang selama ini diam-diam membikin jengkel
masyarakat: tembok pemisah antara realitas kekuasaan dan realitas kehidupan
warga.
Bisa
jadi sesungguhnya model blusukan juga diadopsi Jokowi dari tokoh lain. Namun,
masyarakat tak peduli dan terus menganggap blusukan sebagai inovasi dan ciri
khas Jokowi. Tokoh politik yang mencoba menerapkannya tanpa modifikasi seketika
akan dicap sebagai pengekor.
Seorang
manusia politik diuji dari kemampuannya melahirkan sesuatu yang otentik dan
menerobos kelaziman. Di sini Jokowi menunjukkan keberhasilan dalam melampaui
kelaziman pola komunikasi struktural-formalistik khas pejabat publik di
Indonesia.
Jokowi
juga bereksperimen dengan gaya kepemimpinan yang merakyat dan kontekstual.
Tanpa ragu-ragu, dia melantik wali kota di tengah-tengah permukiman kumuh, di
antara jemuran baju yang berseliweran, diselingi bau selokan yang tak sedap.
”Untuk mendekatkan Pak Wali Kota pada permasalahan warganya,” begitu Jowoki
menjelaskan pelantikan pejabat yang nyleneh itu.
Berani
ambil risiko
Manusia
politik juga diuji dari keberaniannya mengambil tindakan tak populer dan
berisiko guna memperjuangkan prinsip. Jokowi juga menunjukkan kelebihannya di
sini. Dia berani memangkas anggaran yang tak masuk akal dengan risiko
mendapatkan perlawanan dari jaringan politik-bisnis yang terbiasa menangguk
keuntungan dari alokasi dana pemerintah daerah.
Jokowi
juga berani melakukan penggusuran permukiman liar, sebagaimana terjadi dalam
normalisasi Waduk Pluit. Selama ini banyak pejabat publik menghindari
penggusuran karena takut tidak populer dan menimbulkan kontroversi. Namun,
Jokowi berani mengambil risiko ini untuk kepentingan yang lebih besar:
mengurangi dampak banjir bagi warga Ibu Kota.
Mengapa
Jokowi tak takut menghadapi kontroversi? Barangkali karena memang tak ada yang
perlu ditutup-tutupi. Sebagai pemimpin eksekutif, Jokowi merasa tidak dililit
oleh kepentingan pribadi atau kelompok. Jokowi tidak berpikir ”harus kembali
modal”, sebagaimana lazim membebani politisi yang baru memenangi pilkada.
Jokowi
barangkali juga tidak merasa harus membalas budi para sponsor. Karena itu, dia
leluasa mengambil keputusan semata-mata berdasarkan pertimbangan kepentingan
publik. Dia berusaha memeragakan kualitas lain dari manusia politik: kemampuan
memisahkan urusan publik dan urusan privat.
Tanpa
pemberitaan media, kelebihan-kelebihan di atas tidak akan memengaruhi
preferensi masyarakat. Di sini Jokowi menunjukkan kelebihannya yang lain.
Berbeda dengan pejabat publik umumnya, Jokowi tidak menutup diri dari media,
tidak menganggap wartawan sebagai momok yang harus dihindari. Sebaliknya, dia
menyadari pemberitaan media dapat membantu mempercepat pelaksanaan
target-targetnya.
Tak
mengherankan, Jokowi selalu jadi magnet pemberitaan media. Menjadi
”media-darling” di tengah kelangkaan tokoh muda nasional yang berkualitas,
kredibel, dan populer, menjelaskan mengapa nama Jokowi begitu meroket
belakangan ini. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar