|
KOMPAS,
15 Juni 2013
Kepergian
Taufiq Kiemas kebetulan bersamaan dengan perayaan ”Bulan Bung Karno” yang
berlangsung setiap Juni. Tak sedikit kalangan menganggap Juni adalah bulan yang
spesial untuk mengenang Hari Lahir Pancasila, 1 Juni 1945, serta ulang tahun
Bung Karno, 6 Juni 1901.
Persis
setahun lalu, TK—begitu ia akrab disapa—tidak bisa menghadiri penutupan ”Bulan
Bung Karno” yang diselenggarakan Megawati
Institute di Jakarta. Kebetulan saya membantu prosesi acara, dan almarhum
menelepon dari rumah mengucapkan terima kasih.
”Maaf Bang enggak bisa hadir, enggak enak
badan,” ujarnya di ujung telepon dengan suara lirih. Setelah panjang lebar ngobrol
macam-macam perkara, ia berpesan, ”Bang...
tolong bantu Mbak Puan supaya lebih matang berpolitik di partai.”
Ini
bukan pesan rahasia karena dia bicara begitu kepada banyak orang tentang
obsesinya mengharapkan Puan kelak memimpin PDI-P. Megawati dengan saksama juga
membantu proses pematangan Puan yang kini dilatih dengan sejumlah tanggung
jawab berat di partai ataupun DPR.
Tentu
bukan hanya Puan yang disiapkan untuk menggembalakan PDI-P pada masa depan
pasca-Kongres 2015. Sejak Kongres Bali 2010, Megawati merekrut salah satu
putranya untuk duduk di jajaran DPP PDI-P, yakni Prananda Prabowo.
Kita
tahu ada juga putri Guntur Soekarnoputra, Puti Guntur Soekarnoputri, yang kini
jadi anggota DPR. Alhasil, generasi ketiga dinasti Bung Karno still alive
and kicking dan masih satu-satunya dinasti yang mempunyai banyak penggemar
setia.
Tentu
belum ada generasi kedua/ketiga yang menyamai sosok Bung Karno. Ibarat sepak
bola, Bung Karno seperti Diego Maradona yang mungkin dilahirkan cuma sekali
dalam seribu tahun.
Lebih
dari itu, Bung Karno tidak sekadar sosok ”larger than
life” yang berjasa sebagai proklamator bersama Bung Hatta. Sebagai pemikir,
dia mewarisi konsep-konsep kehidupan bernegara/berbangsa melalui aneka karya
tulis.
Semua
sumbangsih itu tak menyimpang sedikit pun dari cita-cita kemerdekaan, yakni
menyejahterakan rakyat dan mencerdaskan bangsa besar ini. Pun tak kalah besar
jasa Bung Karno terhadap praktik politik yang menjunjung keadaban, etika, dan
akal sehat.
Dinasti
politik bukan ”barang haram” karena masih tetap laku dipraktikkan di
mancanegara. Pilpres 2016 di Amerika Serikat jangan-jangan akan kembali menjadi
pertarungan antardua dinasti, Hillary
Clinton versus Jeb Bush.
Kadang
kala, pelestarian dinasti politik berlangsung kurang mulus seperti di India.
Apa lacur, garda depan dinasti Nehru-Gandhi kini justru berada di tangan Sonia
Gandhi yang asal Italia itu.
Sekali
lagi, kepergian TK dan perayaan Bulan Bung Karno yang waktunya bersamaan
membuat kita sadar betapa beruntungnya kita memiliki Pancasila. Kita tidak
perlu merasa kalah jasa dibandingkan dengan TK yang berjuang dan berusaha
menggairahkan kembali Pancasila.
Ramai
diperbincangkan pengaruh kepergian TK terhadap PDI-P menjelang Pemilu-Pilpres
2014. Tak terhindarkan muncul berbagai spekulasi politik, padahal PDI-P sedang
berduka.
Satu
hal saja, kini mulai bergulir wacana siapa orang PDI-P yang akan menggantikan
TK sebagai ketua MPR. Apalagi, banyak yang berharap sang pengganti TK mestinya
tetap bekerja keras menggelorakan apa yang disebut dengan ”empat pilar”.
Setiap
manusia, tanpa kecuali, pasti ada plus dan minus seperti halnya baterai. Dengan
segala maaf dan bukan berniat merendahkan, kepergian TK tidak terlalu banyak
berpengaruh terhadap PDI-P.
Sebagai
politisi yang moderat, TK sering berfungsi sebagai penyeimbang hubungan
antarpimpinan lembaga negara. Namun, di PDI-P dia tetap di bawah subordinasi
Megawati.
Barangkali
sering muncul kesan di PDI-P selama ini ada ”matahari kembar”, yakni TK dan
Megawati. Padahal, TK justru figur yang tahu diri dan tidak serampangan ikut
campur dalam urusan internal/eksternal PDI-P, kecuali sebatas pillow talk.
Sebagai
politisi yang dikenal pragmatis, TK sering terkesan mempraktikkan prinsip politics as usual yang khas Indonesia.
Dalam istilah Pak Adam Malik, ”semua bisa
diatur.”
Sebaliknya,
Megawati lebih mempraktikkan the
politics of principles yang teguh. Maklum saja, Megawati memimpin sebuah
partai nasionalis khas Indonesia yang dimulai dengan perjuangan berat.
Perbedaan
itu terlihat jelas ketika mereka bersikap berlawanan saat pencalonan Joko
Widodo sebagai calon gubernur DKI. TK tak punya pilihan, kecuali mengikuti
kehendak Megawati.
Kepergian
TK mengakhiri perjalanan pasutri politisi yang belum ada presedennya dalam
sejarah politik kita. TK dan Megawati mengawali karier dari bawah sebagai
aktivis GMNI yang sempat merasakan represi politik Orde Baru.
Megawati
tetap akan bertindak independen dan leluasa—seperti juga sebelumnya—dalam
menggembalakan PDI-P. Suka atau tidak, Megawati salah seorang politisi yang
masih punya indra politik keenam yang lumayan tajam.
Tantangan
terberat Megawati dalam waktu dekat adalah menyiapkan PDI-P menyongsong
Pemilu-Pilpres 2014. Setahun kemudian, datang tantangan tak kalah berat, yakni
Kongres 2015.
Saat
itu terlihat siapa ”anak biologis” atau ”anak ideologis” yang melanjutkan
kepemimpinan Megawati. Beruntung, ”Moncong Putih” punya stok.
Mungkin,
untuk Pemilu 2014, PDI-P siap seperti partai-partai lainnya. Sementara untuk
Pilpres 2014, Partai Golkar, Gerindra, Hanura, dan PAN sudah mendeklarasikan
capresnya masing-masing.
Selamat jalan Bang TK. Innalillahi wa
inna ilaihi roji’un. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar