Minggu, 16 Juni 2013

“Moncong Putih” Pasca-TK

“Moncong Putih” Pasca-TK
Budiarto Shambazy ;   Wartawan Senior Kompas
KOMPAS, 15 Juni 2013


Kepergian Taufiq Kiemas kebetulan bersamaan dengan perayaan ”Bulan Bung Karno” yang berlangsung setiap Juni. Tak sedikit kalangan menganggap Juni adalah bulan yang spesial untuk mengenang Hari Lahir Pancasila, 1 Juni 1945, serta ulang tahun Bung Karno, 6 Juni 1901.

Persis setahun lalu, TK—begitu ia akrab disapa—tidak bisa menghadiri penutupan ”Bulan Bung Karno” yang diselenggarakan Megawati Institute di Jakarta. Kebetulan saya membantu prosesi acara, dan almarhum menelepon dari rumah mengucapkan terima kasih.

”Maaf Bang enggak bisa hadir, enggak enak badan,” ujarnya di ujung telepon dengan suara lirih. Setelah panjang lebar ngobrol macam-macam perkara, ia berpesan, ”Bang... tolong bantu Mbak Puan supaya lebih matang berpolitik di partai.”

Ini bukan pesan rahasia karena dia bicara begitu kepada banyak orang tentang obsesinya mengharapkan Puan kelak memimpin PDI-P. Megawati dengan saksama juga membantu proses pematangan Puan yang kini dilatih dengan sejumlah tanggung jawab berat di partai ataupun DPR.

Tentu bukan hanya Puan yang disiapkan untuk menggembalakan PDI-P pada masa depan pasca-Kongres 2015. Sejak Kongres Bali 2010, Megawati merekrut salah satu putranya untuk duduk di jajaran DPP PDI-P, yakni Prananda Prabowo.

Kita tahu ada juga putri Guntur Soekarnoputra, Puti Guntur Soekarnoputri, yang kini jadi anggota DPR. Alhasil, generasi ketiga dinasti Bung Karno still alive and kicking dan masih satu-satunya dinasti yang mempunyai banyak penggemar setia.

Tentu belum ada generasi kedua/ketiga yang menyamai sosok Bung Karno. Ibarat sepak bola, Bung Karno seperti Diego Maradona yang mungkin dilahirkan cuma sekali dalam seribu tahun.

Lebih dari itu, Bung Karno tidak sekadar sosok ”larger than life” yang berjasa sebagai proklamator bersama Bung Hatta. Sebagai pemikir, dia mewarisi konsep-konsep kehidupan bernegara/berbangsa melalui aneka karya tulis.

Semua sumbangsih itu tak menyimpang sedikit pun dari cita-cita kemerdekaan, yakni menyejahterakan rakyat dan mencerdaskan bangsa besar ini. Pun tak kalah besar jasa Bung Karno terhadap praktik politik yang menjunjung keadaban, etika, dan akal sehat.

Dinasti politik bukan ”barang haram” karena masih tetap laku dipraktikkan di mancanegara. Pilpres 2016 di Amerika Serikat jangan-jangan akan kembali menjadi pertarungan antardua dinasti, Hillary Clinton versus Jeb Bush.

Kadang kala, pelestarian dinasti politik berlangsung kurang mulus seperti di India. Apa lacur, garda depan dinasti Nehru-Gandhi kini justru berada di tangan Sonia Gandhi yang asal Italia itu.

Sekali lagi, kepergian TK dan perayaan Bulan Bung Karno yang waktunya bersamaan membuat kita sadar betapa beruntungnya kita memiliki Pancasila. Kita tidak perlu merasa kalah jasa dibandingkan dengan TK yang berjuang dan berusaha menggairahkan kembali Pancasila.

Ramai diperbincangkan pengaruh kepergian TK terhadap PDI-P menjelang Pemilu-Pilpres 2014. Tak terhindarkan muncul berbagai spekulasi politik, padahal PDI-P sedang berduka.

Satu hal saja, kini mulai bergulir wacana siapa orang PDI-P yang akan menggantikan TK sebagai ketua MPR. Apalagi, banyak yang berharap sang pengganti TK mestinya tetap bekerja keras menggelorakan apa yang disebut dengan ”empat pilar”.

Setiap manusia, tanpa kecuali, pasti ada plus dan minus seperti halnya baterai. Dengan segala maaf dan bukan berniat merendahkan, kepergian TK tidak terlalu banyak berpengaruh terhadap PDI-P.
Sebagai politisi yang moderat, TK sering berfungsi sebagai penyeimbang hubungan antarpimpinan lembaga negara. Namun, di PDI-P dia tetap di bawah subordinasi Megawati.

Barangkali sering muncul kesan di PDI-P selama ini ada ”matahari kembar”, yakni TK dan Megawati. Padahal, TK justru figur yang tahu diri dan tidak serampangan ikut campur dalam urusan internal/eksternal PDI-P, kecuali sebatas pillow talk.

Sebagai politisi yang dikenal pragmatis, TK sering terkesan mempraktikkan prinsip politics as usual yang khas Indonesia. Dalam istilah Pak Adam Malik, ”semua bisa diatur.”

Sebaliknya, Megawati lebih mempraktikkan the politics of principles yang teguh. Maklum saja, Megawati memimpin sebuah partai nasionalis khas Indonesia yang dimulai dengan perjuangan berat.

Perbedaan itu terlihat jelas ketika mereka bersikap berlawanan saat pencalonan Joko Widodo sebagai calon gubernur DKI. TK tak punya pilihan, kecuali mengikuti kehendak Megawati.

Kepergian TK mengakhiri perjalanan pasutri politisi yang belum ada presedennya dalam sejarah politik kita. TK dan Megawati mengawali karier dari bawah sebagai aktivis GMNI yang sempat merasakan represi politik Orde Baru.

Megawati tetap akan bertindak independen dan leluasa—seperti juga sebelumnya—dalam menggembalakan PDI-P. Suka atau tidak, Megawati salah seorang politisi yang masih punya indra politik keenam yang lumayan tajam.

Tantangan terberat Megawati dalam waktu dekat adalah menyiapkan PDI-P menyongsong Pemilu-Pilpres 2014. Setahun kemudian, datang tantangan tak kalah berat, yakni Kongres 2015.

Saat itu terlihat siapa ”anak biologis” atau ”anak ideologis” yang melanjutkan kepemimpinan Megawati. Beruntung, ”Moncong Putih” punya stok.

Mungkin, untuk Pemilu 2014, PDI-P siap seperti partai-partai lainnya. Sementara untuk Pilpres 2014, Partai Golkar, Gerindra, Hanura, dan PAN sudah mendeklarasikan capresnya masing-masing.
Selamat jalan Bang TK. Innalillahi wa inna ilaihi roji’un.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar