|
KOMPAS,
15 Juni 2013
Kini
semakin banyak bermunculan politikus-demagog, terutama di media massa visual.
Para politikus-demagog menjadi besar dan perut membuncit berkat retak-retak
yang mengasat mata di Tanah Air. Retak-retak tersebut bukan lagi retak yang
membuat ukir, melainkan semakin menjurus ke retak yang membawa belah,
menyayat-nyayat integritas republik kita.
Kita
tak dapat menentang mereka dengan sumpah serapah, tetapi dengan merenggut dan
menangani sendiri bagian dari kenyataan yang selama ini membuat mereka hidup.
Berhadapan
dengan konsekuensi dari evolusi seperti itu, para penanggung jawab politik
tertentu dan
sebagian korps elite— antara lain karena konformisme intelektual
kelompok—bersikap menutup mata.
Retak-retak
timbul ketika politik dijalankan tidak lagi demi mengukuhkan daulat rakyat,
tapi dimanipulasi demi mengabadikan dinasti politik keluarga, monarki bertopeng
demokrasi. Ketika organisasi politik bukan lagi merupakan wadah ideal untuk
berbakti kepada Tanah Air, melainkan dijadikan sumber harta karun pribadi,
keluarga, dan organisasi. Ketika parpol bukan lagi merupakan organisasi dari
orang-orang yang bervisi ideologis sama dalam membangun negara- bangsa,
melainkan menjadi ”Perkumpulan Koruptor Sejati” yang solider satu sama lain dan
saling melindungi. Ketika menangani kasus korupsi, diktum hukum dipenggal
seenaknya oleh pengacara hitam. Yang ditonjolkan presumption of innocense, padahal anak kalimat yang disisihkan
menegaskan but the absence of evidence is
no evidence of the absence of crime.
Ketika
para kriminal, begitu keluar dari penjara, berhak memilih, bahkan dipilih,
dalam pilpres, pilkada, dan entah apa lagi, berdalihkan ”hak asasi manusia”.
Ketika
agama dibawa ke kancah politik hingga menjadi faktor sentrifugal bagi upaya
pencapaian konsensus karena sulit memperdebatkan rasionalitas dari prinsip
primordialnya. Karena itu, tidak jarang atribut keagamaan dengan sadar dipakai
sebagai tameng penutup kemunafikan.
Ketika
proses pendidikan yang katanya berbudaya, dalam membina human menjadi manusia
sejati, lalai memupuk benih manusiawi dari pertumbuhannya menjadi manusia.
Akibatnya, peserta didik tumbuh menjadi homo homini lupus—serigala bagi orang
dan makhluk lain (intoleransi, terorisme, premanisme, koboiisme, geng- gengan
remaja). Ketika pembangunan nasional, alih-alih mewujudkan koherensi nasional,
malah menciptakan kecemburuan dan kecurigaan suku/daerah, disintegrasi
nasional, berhubung kekeliruan dalam pengarahan kekuatan nasional dan
penyalahgunaan sumber-sumber daya Tanah Air. Ketika penguasa negeri
memercayakan tugas penting nasional kepada seorang teknokrat muda yang tak
percaya pada kebajikan ”nasionalisme”, supaya dasar fundamental kelahiran
Negara-Bangsa Indonesia itu ”dikantongi” saja.
Kekuasaan
bersendi uang
Mengapa
para parpol menolak calon- calon presiden independen, yang bukan anggota parpol
tertentu, berasal dari masyarakat sipil? Apakah mereka ini dianggap warga
negara kelas dua? Sementara itu, intelegensi dan integritas mereka memadai,
tidak lebih kurang dari calon yang ditonjol-tonjolkan parpol. Di luar parpol
mereka selalu mempertanyakan kekuasaan, berdasarkan ”nurani”, ketimbang
membentuk kekuasaan bersendikan ”uang”.
Orang-orang
yang menggalang kekuasaan memang memberikan kontribusi yang sangat diperlukan
bagi kejayaan bangsa. Namun, orang-orang yang mempertanyakan kekuasaan bukan
tak memberikan kontribusi yang sama dan sebanding dengan itu. Sebab, mereka
inilah yang justru menentukan apakah kita menggunakan kekuasaan atau kekuasaan
yang menggunakan kita.
Mengapa
kita tak serius berusaha hidup bersama dan tak sekadar hidup berdampingan,
bersama-sama membentuk suatu komunitas nasional, dipersatukan oleh nilai-nilai
keindonesiaan yang sama-sama diakui, terdiri atas warganegara yang solider dan
bertekad sama-sama mengendalikan nasib kolektif? Mengapa kita tidak berusaha
membangun masa depan nasional tanpa didikte oleh kepentingan asing? Indonesia
dibebaskan dari penjajahan bukan oleh jasa militer Jepang dan pasukan sekutu
dari Perang Dunia II, melainkan oleh kesadaran dan tekad kita sendiri untuk
merdeka, memperjuangkan kedaulatan nasional yang diilhami dan disemangati
nasionalisme.
Semakin
eksklusif
Mengapa
kita membiarkan diri dibuai penalaran ekonomika, yang mengatakan bahwa sistem
dunia berdasarkan atas suatu logika partikular, yaitu akumulasi modal tanpa
henti (dynamic equilibrium) demi
kekayaan/kepuasan yang terus-menerus? Padahal, harta, fortune, tidak mengubah
manusia, ia hanya membuka topengnya. Mesin produksi memang berputar
siang-malam, tetapi ia memproduksi ”simbol” kekuasaan dari kelas yang dominan,
bukan mengutamakan jasa/barang kebutuhan umum. Mengapa kita tidak mengupayakan
adanya kawanisasi kesamaan karakteristik ekologis, geografis, iklim, spasial,
dan kultural negeri berdasarkan penalaran geopolitis, geostrategis, geoklimatologis,
dan geokultural Tanah Air kita? Peta kawasan khas ini lalu ditetapkan menjadi
unsur keniscayaan dalam perencanaan pembangunan nasional. Sebab, sebelum suatu
masyarakat—nasional dan regional—menangani sendiri jalan/cara pertumbuhannya,
ia harus membangun suatu subsistem yang berspesialisasi dalam menghasilkan
keputusan-keputusan kolektif yang mengikat.
Mengapa
kita biarkan, bahkan kita puji, kecenderungan pendidikan universiter sebagai
semata-mata persiapan profesional atau vokasional? Akibatnya, di satu pihak, ia
dideskripsikan semakin lama semakin eksklusif berupa suatu investasi ekonomi
dan dinilai semata-mata bersendikan keuntungan ekonomi yang dihasilkannya
semata (its ultimate economic return).
Di lain pihak, ia semakin memupus the joy
of learning para mahasiswa. Mereka dilatih menguasai ilmu pengetahuan,
tetapi tak dididik untuk menghayati budaya keilmuan, menjadi well learned
tetapi tidak well educated, manusia berkarakter. Padahal, universitas harus
menjadi tempat merenungi budaya di zaman yang dikuasai teknologi modern.
Sewaktu
revolusi fisik, Bung Hatta sering mengatakan, ”Kita ingin membangun suatu dunia
di mana setiap orang seharusnya bahagia”. Ucapan ini secara esensial
merefleksikan suatu ide tentang Indonesia, dan ia tak akan pernah basi karena
ia tak lain daripada suatu ide tertentu mengenai manusia. Titik di mana manusia
berjuang mati-matian—merdeka atau mati—adalah justru titik yang mengawali
sejarah manusia. Kita perlu membuat pilihan yang tepat di antara aneka
kemungkinan yang ada. Namun, kemungkinan ibarat samudra.
Untuk mengarunginya,
apalagi memanfaatkannya, diperlukan kompas dan peta yang mumpuni. Ini merupakan
missi republikan kita, panggilan hidup para intelektual. Politics dan polity
adalah terlalu penting untuk dipercayakan melulu kepada politikus, apalagi
demagog dan kaum munafik. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar