Minggu, 16 Juni 2013

“Missi Republiken”

“Missi Republiken”
Daoed Joesoef ;   Alumnus Université Pluridisciplinaires Panthéon-Sorbonne
KOMPAS, 15 Juni 2013


Kini semakin banyak bermunculan politikus-demagog, terutama di media massa visual. Para politikus-demagog menjadi besar dan perut membuncit berkat retak-retak yang mengasat mata di Tanah Air. Retak-retak tersebut bukan lagi retak yang membuat ukir, melainkan semakin menjurus ke retak yang membawa belah, menyayat-nyayat integritas republik kita.

Kita tak dapat menentang mereka dengan sumpah serapah, tetapi dengan merenggut dan menangani sendiri bagian dari kenyataan yang selama ini membuat mereka hidup.

Berhadapan dengan konsekuensi dari evolusi seperti itu, para penanggung jawab politik tertentu dan 
sebagian korps elite— antara lain karena konformisme intelektual kelompok—bersikap menutup mata.
Retak-retak timbul ketika politik dijalankan tidak lagi demi mengukuhkan daulat rakyat, tapi dimanipulasi demi mengabadikan dinasti politik keluarga, monarki bertopeng demokrasi. Ketika organisasi politik bukan lagi merupakan wadah ideal untuk berbakti kepada Tanah Air, melainkan dijadikan sumber harta karun pribadi, keluarga, dan organisasi. Ketika parpol bukan lagi merupakan organisasi dari orang-orang yang bervisi ideologis sama dalam membangun negara- bangsa, melainkan menjadi ”Perkumpulan Koruptor Sejati” yang solider satu sama lain dan saling melindungi. Ketika menangani kasus korupsi, diktum hukum dipenggal seenaknya oleh pengacara hitam. Yang ditonjolkan presumption of innocense, padahal anak kalimat yang disisihkan menegaskan but the absence of evidence is no evidence of the absence of crime.
Ketika para kriminal, begitu keluar dari penjara, berhak memilih, bahkan dipilih, dalam pilpres, pilkada, dan entah apa lagi, berdalihkan ”hak asasi manusia”.

Ketika agama dibawa ke kancah politik hingga menjadi faktor sentrifugal bagi upaya pencapaian konsensus karena sulit memperdebatkan rasionalitas dari prinsip primordialnya. Karena itu, tidak jarang atribut keagamaan dengan sadar dipakai sebagai tameng penutup kemunafikan.

Ketika proses pendidikan yang katanya berbudaya, dalam membina human menjadi manusia sejati, lalai memupuk benih manusiawi dari pertumbuhannya menjadi manusia. Akibatnya, peserta didik tumbuh menjadi homo homini lupus—serigala bagi orang dan makhluk lain (intoleransi, terorisme, premanisme, koboiisme, geng- gengan remaja). Ketika pembangunan nasional, alih-alih mewujudkan koherensi nasional, malah menciptakan kecemburuan dan kecurigaan suku/daerah, disintegrasi nasional, berhubung kekeliruan dalam pengarahan kekuatan nasional dan penyalahgunaan sumber-sumber daya Tanah Air. Ketika penguasa negeri memercayakan tugas penting nasional kepada seorang teknokrat muda yang tak percaya pada kebajikan ”nasionalisme”, supaya dasar fundamental kelahiran Negara-Bangsa Indonesia itu ”dikantongi” saja.

Kekuasaan bersendi uang

Mengapa para parpol menolak calon- calon presiden independen, yang bukan anggota parpol tertentu, berasal dari masyarakat sipil? Apakah mereka ini dianggap warga negara kelas dua? Sementara itu, intelegensi dan integritas mereka memadai, tidak lebih kurang dari calon yang ditonjol-tonjolkan parpol. Di luar parpol mereka selalu mempertanyakan kekuasaan, berdasarkan ”nurani”, ketimbang membentuk kekuasaan bersendikan ”uang”.

Orang-orang yang menggalang kekuasaan memang memberikan kontribusi yang sangat diperlukan bagi kejayaan bangsa. Namun, orang-orang yang mempertanyakan kekuasaan bukan tak memberikan kontribusi yang sama dan sebanding dengan itu. Sebab, mereka inilah yang justru menentukan apakah kita menggunakan kekuasaan atau kekuasaan yang menggunakan kita.

Mengapa kita tak serius berusaha hidup bersama dan tak sekadar hidup berdampingan, bersama-sama membentuk suatu komunitas nasional, dipersatukan oleh nilai-nilai keindonesiaan yang sama-sama diakui, terdiri atas warganegara yang solider dan bertekad sama-sama mengendalikan nasib kolektif? Mengapa kita tidak berusaha membangun masa depan nasional tanpa didikte oleh kepentingan asing? Indonesia dibebaskan dari penjajahan bukan oleh jasa militer Jepang dan pasukan sekutu dari Perang Dunia II, melainkan oleh kesadaran dan tekad kita sendiri untuk merdeka, memperjuangkan kedaulatan nasional yang diilhami dan disemangati nasionalisme.

Semakin eksklusif

Mengapa kita membiarkan diri dibuai penalaran ekonomika, yang mengatakan bahwa sistem dunia berdasarkan atas suatu logika partikular, yaitu akumulasi modal tanpa henti (dynamic equilibrium) demi kekayaan/kepuasan yang terus-menerus? Padahal, harta, fortune, tidak mengubah manusia, ia hanya membuka topengnya. Mesin produksi memang berputar siang-malam, tetapi ia memproduksi ”simbol” kekuasaan dari kelas yang dominan, bukan mengutamakan jasa/barang kebutuhan umum. Mengapa kita tidak mengupayakan adanya kawanisasi kesamaan karakteristik ekologis, geografis, iklim, spasial, dan kultural negeri berdasarkan penalaran geopolitis, geostrategis, geoklimatologis, dan geokultural Tanah Air kita? Peta kawasan khas ini lalu ditetapkan menjadi unsur keniscayaan dalam perencanaan pembangunan nasional. Sebab, sebelum suatu masyarakat—nasional dan regional—menangani sendiri jalan/cara pertumbuhannya, ia harus membangun suatu subsistem yang berspesialisasi dalam menghasilkan keputusan-keputusan kolektif yang mengikat.

Mengapa kita biarkan, bahkan kita puji, kecenderungan pendidikan universiter sebagai semata-mata persiapan profesional atau vokasional? Akibatnya, di satu pihak, ia dideskripsikan semakin lama semakin eksklusif berupa suatu investasi ekonomi dan dinilai semata-mata bersendikan keuntungan ekonomi yang dihasilkannya semata (its ultimate economic return). Di lain pihak, ia semakin memupus the joy of learning para mahasiswa. Mereka dilatih menguasai ilmu pengetahuan, tetapi tak dididik untuk menghayati budaya keilmuan, menjadi well learned tetapi tidak well educated, manusia berkarakter. Padahal, universitas harus menjadi tempat merenungi budaya di zaman yang dikuasai teknologi modern.

Sewaktu revolusi fisik, Bung Hatta sering mengatakan, ”Kita ingin membangun suatu dunia di mana setiap orang seharusnya bahagia”. Ucapan ini secara esensial merefleksikan suatu ide tentang Indonesia, dan ia tak akan pernah basi karena ia tak lain daripada suatu ide tertentu mengenai manusia. Titik di mana manusia berjuang mati-matian—merdeka atau mati—adalah justru titik yang mengawali sejarah manusia. Kita perlu membuat pilihan yang tepat di antara aneka kemungkinan yang ada. Namun, kemungkinan ibarat samudra. 
Untuk mengarunginya, apalagi memanfaatkannya, diperlukan kompas dan peta yang mumpuni. Ini merupakan missi republikan kita, panggilan hidup para intelektual. Politics dan polity adalah terlalu penting untuk dipercayakan melulu kepada politikus, apalagi demagog dan kaum munafik.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar