Sabtu, 01 Juni 2013

Model Bisnis Media Cetak

Model Bisnis Media Cetak
Amir Effendi Siregar ;  Ketua Dewan Pemimpin SPS Pusat
KOMPAS, 01 Juni  2013

Dalam sejumlah seminar Serikat Perusahaan Pers, penerbit daerah sering mengeluhkan harga jual surat kabar seribuan rupiah yang dilakukan oleh penerbit nasional.

Harga jual yang rendah itu dianggap mengganggu pertumbuhan pers daerah. Pada saat yang sama, kita juga melihat harga jual eceran surat kabar nasional per eksemplar di Jakarta sudah jauh lebih rendah dari harga ongkos cetak dan kertas. Bahkan, terdapat surat kabar yang diedarkan secara gratis.

Untuk majalah, harga jual masih tinggi. Namun, persaingan sangat ketat. Bukan lagi bagaimana menjual majalah kepada pembaca, melainkan bagaimana memperoleh pembaca yang tepat dan luas. Ini diperlukan agar iklan dapat diperoleh dan ditingkatkan. Itu sebabnya, di samping majalah dijual kepada pembaca, banyak juga yang dibagikan secara gratis. Kemudian terdapat juga jenis majalah yang sengaja diedarkan secara gratis.

Semua ini memperlihatkan bahwa pendapatan yang berasal dari sirkulasi saat ini sangat kecil, sementara iklan diperebutkan oleh banyak penerbitan.

Di samping itu, teknologi komunikasi, khususnya internet, berkembang sangat pesat. Untuk tetap hidup dan berkembang, saat ini diperlukan model baru bisnis media cetak. Tidak hanya mengandalkan revenue konvensional, seperti sirkulasi, yang semakin mengecil dan iklan yang diperebutkan banyak penerbit, tetapi juga diperlukan program pendapatan baru yang melibatkan pembaca dan komunitas yang bernilai ideal sekaligus komersial.

Peta media cetak

Sebenarnya media yang paling elite, atau yang peredaran dan jangkauannya paling kecil dibandingkan dengan radio dan televisi, adalah media cetak. Jumlahnya 1.324, yang terdiri dari 630 surat kabar harian dan mingguan serta 694 tabloid dan majalah. Total sirkulasinya 23,3 juta dengan 10 juta eksemplar surat kabar harian/mingguan untuk 240 juta penduduk (SPS 2013).

Jumlah itu sangat kecil dibandingkan negara maju, seperti AS dan Jepang, yang jumlah sirkulasinya sebanding dengan jumlah penduduk. Sirkulasi tiap surat kabar atau majalah di Indonesia antara ribuan dan puluhan ribu. Hanya beberapa media cetak yang sirkulasinya ratusan ribu, sementara di negara maju banyak sekali yang ratusan ribu, bahkan jutaan.

Di Indonesia, media cetak terutama beredar di daerah urban dan kota besar. Sebagian media cetak menggunakan internet untuk memperluas peredaran. Meskipun pengguna internet tumbuh pesat, penetrasi internet di Indonesia baru sekitar 24,23 persen atau sekitar 63 juta penduduk (APJII 2012). Sementara itu, di negara maju penetrasi internet 70 persen ke atas.

Model baru bisnis

Svida Alisjahbana dalam pertemuan CEO Media di Manado, Februari lalu, menyajikan secara sangat menarik model baru bisnis media cetak kelompok Femina. Presentasinya yang berjudul Brand Relevance memperlihatkan secara jelas kekuatan komunitas dalam mempertahankan dan mengembangkan bisnis majalah Femina.

Bayangkan Femina membangun komunitas yang disebut dengan Women Entrepreneur, Career Woman, Food Lovers, Beauty, Finance Manager, Smart Shopper, Fashion Lover, dan Traveller. Femina yang pada dasarnya sebuah media cetak, dalam semua kegiatannya itu juga bekerja sama dan menggunakan media sosial, web, buku, radio, dan televisi. Setiap komunitas mempunyai banyak kegiatan, antara lain women entrepreneurship competition, workshop, seminar, kusala Femina, fahsionista, beauty freak, dan lain-lain.

Namun, yang paling penting dibangun dan dijaga kualitasnya adalah isi media yang bagus dan terpercaya. Isi menjadi titik sen- tral dan awal dari semua kegiatan itu. Selanjutnya, dalam konsep ini pemimpin redaksinya juga disebut sebagai chief community officer.

Bambang Harymurti, CEO majalah Tempo, memberikan penekanan khusus pada model bisnis hibrida. Digital tidak dianggap sebagai ancaman. Versi cetak dan digital harus berjalan bersama- sama. Meskipun saat ini penghasilan dari versi digital dalam kasus Indonesia masih sangat kecil, masa depannya sangat menjanjikan. Model bisnis hibrida ini sudah terbukti manjur. Bambang mengambil The New York Times sebagai contoh. Sirkulasi digital berbayar sebanyak 830.000, sementara sirkulasi versi cetak 780.000 (Pers Kita, Maret 2013)

Demikian juga yang terjadi dengan majalah Swa dan Warta Ekonomi. Kegiatan di luar cetak dalam bentuk seminar, workshop, penelitian, pemberian penghargaan, dan lainnya merupakan pendapatan baru yang tinggi. Komposisi pendapatan menjadi berubah. Sirkulasi yang tadinya cukup besar saat ini hanya sekitar 10-15 persen, sementara dari iklan menjadi 35-45 persen dan dari aktivitas off-print sekitar 35-45 persen meskipun sebenarnya seluruh aktivitas itu terintegrasi.

Inilah yang disebut sebagai model baru bisnis media cetak. Media cetak tidak bisa lagi berdiri sendiri, tetapi harus memanfaatkan teknologi dan kawin dengan versi online-nya; membangun, mengorganisasi, dan memanfaatkan komunitasnya; melakukan kegiatan yang bermanfaat bagi komunitas dan penerbitannya, baik secara ideal maupun komersial; menggunakan dan bekerja sama dengan media lain, termasuk radio dan televisi.


Semua terintegrasi baik. Namun, titik sentral dan penting dari semua aktivitas itu adalah membuat isi sebaik-baiknya karena dari isi yang prima dan kredibel itulah dibangun kepercayaan terhadap media dan penjabaran aktivitas lainnya. Isi media yang baik seharusnya menampilkan wajah, aktivitas, dan kepentingan pembaca/komunitas, bukan wajah dan aktivitas pemilik.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar