|
KORAN SINDO, 01 Juni 2013
Dua minggu terakhir mencuat polemik lewat social media terkait pernyataan saya bahwa
kalau orang sudah ditangkap dan ditersangkakan oleh KPK, sebaiknya “mengaku
saja”.
Sebenarnya itu bukan pernyataan langsung saya yang terkait kasus tertentu yang sekarang sedang hot yakni kasus impor daging sapi yang melibatkan LHI sebagai pimpinan suatu parpol. Pernyataan saya itu sudah saya rilis empat tahun yang lalu, melalui tulisan saya pada September 2009 dengan judul “Kalau Ditangkap KPK, Mengaku Sajalah” yang dimuat di harian Seputar Indonesia, halaman 1, Maret 2009.
Tetapi, setelah kasus LHI meledak ada sebuah media yang memublikasikan lagi tulisan saya itu seakan-akan sebagai pernyataan baru dari saya. Waktu dikonfirmasi saya hanya membenarkan pernah menulis itu dan pendapat saya sampai sekarang masih tetap. Jadi janganlah mengira bahwa statement itu spesifik tertuju pada kasus LHI. Sejak dulu, sebelum ada kasus LHI, bahkan sebelum 2009, saya sudah sering mengatakan kalau sampai ditangkap KPK, sebaiknya mengaku saja terus terang tentang apa yang dilakukan terkait bukti- bukti yang ditunjukkan KPK.
Kalau KPK sudah menjadikan tersangka, apalagi sampai ditangkap, hampir dapat dipastikan kekuatan pembuktiannya nanti lebih dari 90%. Faktanya selalu begitu. Semula semua tersangka selalu membantah keras dan menuduh KPK tidak profesional dan memolitisasi masalah. Tetapi, sesudah di pengadilan bukti yang ditunjukkan KPK selalu lebih banyak daripada yang diberitakan di media massa.
Hal itu terjadi bukan karena KPK itu malaikat yang sakti, melainkan karena KPK oleh UU diberi kewenangan-kewenangan khusus yang memungkinkan mencari bukti yang telak seperti memata-matai, membuntuti, dan menyadap. Jika KPK sampai menersangka kan, apalagi menangkap seseorang, semua rekaman pembicaraan, jadwal pertemuan, foto pertemuan, mereka yang hadir, dan materi pembicaraan selama ini selalu lengkap ditunjukkan KPK di persidangan.
Hal yang sama terjadi juga dengan isu “gratifikasi seks” yang mencuat lagi dalam pemberitaan pekan ini. Media banyak yang mengutip dan menayangkan statement saya bahwa banyak keputusan-keputusan pejabat dikendalikan oleh wanita nakal. Ini pun kemudian dikait-kaitkan dengan isu “wanita-wanita” dan “fustun” yang tanpa kita diduga sebelumnya tiba-tiba muncul sebagai bukti yang renyah di Pengadilan Tipikor terkait kasus daging sapi.
Padahal masalah gratifikasi seks dan pengaruh wanita nakal terhadap pejabat-pejabat itu sudah saya tulis di Harian Seputar Indonesia jauh sebelum munculnya kasus daging sapi, tepatnya saya tulis itu di harian Seputar Indonesia pada 19 Januari 2013 dengan judul “Ini Dia Gratifikasi Seks”. Artikel itu saya tulis setelah ada heboh di KPK tentang kembalinya BS sebagai penyidik KPK ke Polri karena diributkan ada fair tersangka AS.
Dari kehebohan di KPK itu sampai waktu yang lama muncul perdebatan tentang gratifikasi seks yang di beberapa negara, termasuk Singapura, diancam dengan hukuman pidana. Maka itu, saya menulis tentang gratifikasi seks itu disertai analisis yuridis dan contoh-contohnya. Jadi tulisan saya itu sudah ada sebelum ada berita tentang aliran uang ke wanita-wanita cantik atau kasus fustun yang terkait impor daging sapi. Waktu saya menulis tak terbayangkan sama sekali akan terjadi kasus yang menimpa orang tertentu.
Kembali ke soal kinerja KPK, saya tetap percaya secara umum KPK sudah on the right track. Tak ada indikasi lembaga ini mengistimewakan atau menyudutkan koruptor dari parpol tertentu, dari parpol mana pun digelandang ke Pengadilan Tipikor. Tapi, apakah KPK begitu bagusnya sehingga tak ada celah untuk dikritik? Kita pun tahu KPK layak dikritik dalam ihwal tertentu. Saya pernah mengkritik KPK karena sangat gencar meminta masyarakat agar melapor ke KPK jika ada dugaan korupsi.
Tetapi, banyak sekali laporan yang, seolah-olah tak ditindaklanjuti dan pelapor, tidak diberi tahu perkembangan penanganannya. Sudah beberapa kali saya mengantarkan laporan ke KPK, tetapi tak pernah diberi tahu progress-nya. Ada pelapor yang sampai dipecat dari status kepegawaiannya karena melapor, tetapi masalah yang dilaporkan ke KPK tak jelas penanganannya. Buat apa KPK membuat iklan agar masyarakat melaporkan terjadi korupsi, tetapi sesudah melapor tak mendapat perhatian yang memadai?
Ada juga kritik yang kerap kita dengar KPK melakukan “tebang pilih” dalam menangani perkara sehingga banyak kasus yang sepertinya tak bergerak. Tetapi, kita pun harus maklum. Mantan Ketua KPK Taufiequrachman Ruki pernah mengatakan, di KPK ada lebih dari 160.000 laporan korupsi. Dari jumlah itu, hanya 10% atau sekitar 16.000 yang bisa ditindaklanjuti.
Dalam acara Mata Najwa kemarin sore di Universitas Airlangga Surabaya Wakil Ketua KPK Bambang Widjojanto menyebut ada sekitar 55.000 laporan di KPK sekarang. Padahal dalam setahun KPK hanya bisa menyelesaikan sekitar 40 kasus. Jadi untuk dibawa ke pengadilan, memang harus ditebang dan dipilih dulu kasus-kasus apa yang paling mudah dibuktikan dan paling menarik perhatian publik. ●
Sebenarnya itu bukan pernyataan langsung saya yang terkait kasus tertentu yang sekarang sedang hot yakni kasus impor daging sapi yang melibatkan LHI sebagai pimpinan suatu parpol. Pernyataan saya itu sudah saya rilis empat tahun yang lalu, melalui tulisan saya pada September 2009 dengan judul “Kalau Ditangkap KPK, Mengaku Sajalah” yang dimuat di harian Seputar Indonesia, halaman 1, Maret 2009.
Tetapi, setelah kasus LHI meledak ada sebuah media yang memublikasikan lagi tulisan saya itu seakan-akan sebagai pernyataan baru dari saya. Waktu dikonfirmasi saya hanya membenarkan pernah menulis itu dan pendapat saya sampai sekarang masih tetap. Jadi janganlah mengira bahwa statement itu spesifik tertuju pada kasus LHI. Sejak dulu, sebelum ada kasus LHI, bahkan sebelum 2009, saya sudah sering mengatakan kalau sampai ditangkap KPK, sebaiknya mengaku saja terus terang tentang apa yang dilakukan terkait bukti- bukti yang ditunjukkan KPK.
Kalau KPK sudah menjadikan tersangka, apalagi sampai ditangkap, hampir dapat dipastikan kekuatan pembuktiannya nanti lebih dari 90%. Faktanya selalu begitu. Semula semua tersangka selalu membantah keras dan menuduh KPK tidak profesional dan memolitisasi masalah. Tetapi, sesudah di pengadilan bukti yang ditunjukkan KPK selalu lebih banyak daripada yang diberitakan di media massa.
Hal itu terjadi bukan karena KPK itu malaikat yang sakti, melainkan karena KPK oleh UU diberi kewenangan-kewenangan khusus yang memungkinkan mencari bukti yang telak seperti memata-matai, membuntuti, dan menyadap. Jika KPK sampai menersangka kan, apalagi menangkap seseorang, semua rekaman pembicaraan, jadwal pertemuan, foto pertemuan, mereka yang hadir, dan materi pembicaraan selama ini selalu lengkap ditunjukkan KPK di persidangan.
Hal yang sama terjadi juga dengan isu “gratifikasi seks” yang mencuat lagi dalam pemberitaan pekan ini. Media banyak yang mengutip dan menayangkan statement saya bahwa banyak keputusan-keputusan pejabat dikendalikan oleh wanita nakal. Ini pun kemudian dikait-kaitkan dengan isu “wanita-wanita” dan “fustun” yang tanpa kita diduga sebelumnya tiba-tiba muncul sebagai bukti yang renyah di Pengadilan Tipikor terkait kasus daging sapi.
Padahal masalah gratifikasi seks dan pengaruh wanita nakal terhadap pejabat-pejabat itu sudah saya tulis di Harian Seputar Indonesia jauh sebelum munculnya kasus daging sapi, tepatnya saya tulis itu di harian Seputar Indonesia pada 19 Januari 2013 dengan judul “Ini Dia Gratifikasi Seks”. Artikel itu saya tulis setelah ada heboh di KPK tentang kembalinya BS sebagai penyidik KPK ke Polri karena diributkan ada fair tersangka AS.
Dari kehebohan di KPK itu sampai waktu yang lama muncul perdebatan tentang gratifikasi seks yang di beberapa negara, termasuk Singapura, diancam dengan hukuman pidana. Maka itu, saya menulis tentang gratifikasi seks itu disertai analisis yuridis dan contoh-contohnya. Jadi tulisan saya itu sudah ada sebelum ada berita tentang aliran uang ke wanita-wanita cantik atau kasus fustun yang terkait impor daging sapi. Waktu saya menulis tak terbayangkan sama sekali akan terjadi kasus yang menimpa orang tertentu.
Kembali ke soal kinerja KPK, saya tetap percaya secara umum KPK sudah on the right track. Tak ada indikasi lembaga ini mengistimewakan atau menyudutkan koruptor dari parpol tertentu, dari parpol mana pun digelandang ke Pengadilan Tipikor. Tapi, apakah KPK begitu bagusnya sehingga tak ada celah untuk dikritik? Kita pun tahu KPK layak dikritik dalam ihwal tertentu. Saya pernah mengkritik KPK karena sangat gencar meminta masyarakat agar melapor ke KPK jika ada dugaan korupsi.
Tetapi, banyak sekali laporan yang, seolah-olah tak ditindaklanjuti dan pelapor, tidak diberi tahu perkembangan penanganannya. Sudah beberapa kali saya mengantarkan laporan ke KPK, tetapi tak pernah diberi tahu progress-nya. Ada pelapor yang sampai dipecat dari status kepegawaiannya karena melapor, tetapi masalah yang dilaporkan ke KPK tak jelas penanganannya. Buat apa KPK membuat iklan agar masyarakat melaporkan terjadi korupsi, tetapi sesudah melapor tak mendapat perhatian yang memadai?
Ada juga kritik yang kerap kita dengar KPK melakukan “tebang pilih” dalam menangani perkara sehingga banyak kasus yang sepertinya tak bergerak. Tetapi, kita pun harus maklum. Mantan Ketua KPK Taufiequrachman Ruki pernah mengatakan, di KPK ada lebih dari 160.000 laporan korupsi. Dari jumlah itu, hanya 10% atau sekitar 16.000 yang bisa ditindaklanjuti.
Dalam acara Mata Najwa kemarin sore di Universitas Airlangga Surabaya Wakil Ketua KPK Bambang Widjojanto menyebut ada sekitar 55.000 laporan di KPK sekarang. Padahal dalam setahun KPK hanya bisa menyelesaikan sekitar 40 kasus. Jadi untuk dibawa ke pengadilan, memang harus ditebang dan dipilih dulu kasus-kasus apa yang paling mudah dibuktikan dan paling menarik perhatian publik. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar