|
KOMPAS, 10 Juni 2013
Banyak diplomat dan pengamat asing melihat
gerakan antikorupsi di Indonesia relatif maju dibandingkan dengan negara-negara
lain yang juga tengah mencari jalan keluar dari lilitan korupsi yang mencekik
bangsanya.
Banyak kasus korupsi besar yang diadili, yang
tidak pernah terjadi sebelumnya. Siapa pun yang berani mengganggu Komisi
Pemberantasan Korupsi (KPK) akan menghadapi perlawanan sengit dari masyarakat.
Meskipun demikian, kita saksikan pengaruhnya belum terlalu kuat untuk
menghentikan korupsi. Korupsi terus hidup berkembang di tengah upaya untuk
memerangi.
Konsolidasi oligarki korup
Korupsi di Tanah Air memiliki kemampuan
asimilasi yang luar biasa dari sistem otoriter ke demokrasi tanpa mengalami
hambatan. Belakangan, konsolidasi oligarki korup telah menemukan bentuknya
dalam sistem pembagian kekuasaan politik yang mencar.
Masih terlalu sedikit pemimpin politik,
agama, birokrasi, masyarakat, dan bisnis yang betul-betul ingin keluar dari
situasi yang sangat korup ini. Bahkan para pemuka politik memanfaatkan usia
demokrasi yang masih relatif muda ini untuk mereproduksi cara-cara kotor untuk
mendapatkan logistik politiknya. Politik uang, dan politik gentong babi model
Orde Baru, masih dipakai untuk membangun basis atau dukungan politik, di tengah
miskinnya gagasan perubahan yang ditawarkan kepada pemilih. Karena itu, harapan
akan ada perubahan yang ikhlas dari mereka hampir mustahil.
Keadaan ini, kalau terus berlangsung dalam
jangka panjang, tidak hanya membuat frustrasi sosial, tetapi juga bisa
membangun ketidakpercayaan umum seolah melawan korupsi itu adalah pekerjaan
sia-sia, yang hanya akan menghabiskan anggaran saja. Suara sumbang dan
pesimistis terhadap program pemberantasan korupsi mulai sering kita dengar dari
banyak kalangan dan banyak forum.
Maka, perlu upaya penyegaran berkelanjutan
dalam mengimplementasikan strategi nasional antikorupsi (stranas) dengan
inovasi metodologi baru. Jurus kungfu yang sama lambat laun akan diantisipasi
oleh lawan.
Secara umum sasaran korupsi masih relatif
tidak berubah, yaitu anggaran negara, termasuk yang paling menonjol ditangani
KPK adalah pengadaan barang dan jasa. Bedanya dengan masa lalu, saat ini
rantainya menjadi lebih panjang pasca-kekuasaan penganggaran menguat di DPR. Caranya
tetap itu-itu juga: penggelembungan volume pekerjaan atau anggaran, penurunan
kualitas pekerjaan atau barang, dan pengadaan fiktif. Kalau auditor negara,
pengawas pembangunan, dan aparat hukum kita cukup jujur, sebenarnya bukan hal
sulit untuk menangkap hama pembangunan itu. Tapi memang kita tidak bisa
berharap banyak kepada mereka, kecuali KPK.
Membatasi transaksi tunai
Karena itu, perlu ada langkah birokratis dari
menteri keuangan (menkeu) untuk mengendalikan korupsi dalam pengadaan barang
dan jasa melalui instrumen kebijakan keuangan. Sudah lama ada usul dari
masyarakat agar ada regulasi pemerintah dan Bank Indonesia untuk membatasi
transaksi uang tunai sehingga pengendalian korupsi bisa lebih efektif.
Transaksi suap, penurunan nilai wajib pajak, dan pencucian uang tumbuh subur
dalam iklim transaksi uang tunai.
Saat ini memang baru ada tahap studi
kelayakan untuk menerapkan transaksi keuangan nontunai secara menyeluruh.
Namun, untuk mempercepat, sebenarnya menteri keuangan bisa membuat regulasi
yang mengharuskan penggunaan transaksi keuangan nontunai khusus dalam pengadaan
barang dan jasa. Setiap rupiah yang dibelanjakan untuk pengadaan wajib
menggunakan transaksi lewat perbankan, baik transaksi antarinstansi
pemerintah/BUMN, pemerintah ke swasta, antarswasta, dan swasta ke perseorangan.
Melalui cara yang sederhana ini, setidaknya
praktik penggelembungan anggaran dan percaloan dalam pengadaan, atau penggunaan
anggaran publik untuk kepentingan politik lewat tabir pengadaan publik, bisa
dikendalikan. Pendeknya, realitas pengadaan, mulai dari perencanaan
penganggaran hingga implementasinya, bisa terekam dengan baik dan ke depan
pemerintah punya memori yang cukup untuk memperoleh angka perhitungan harga
barang pengadaan dengan realistis.
Dalam kasus Hambalang atau pengadaan impor
daging sapi, yang duitnya mengalir dan dinikmati para politisi pemburu rente,
memberi tahu kita bahwa ada penggelembungan anggaran pengadaan yang luar biasa
besarnya.
Secara teknis ini bukan kebijakan yang sulit
dan rumit, tidak perlu menunggu lahirnya UU baru, hanya apakah pemerintah yang
berkuasa mau menghentikan korupsi atau tidak. Setiap instansi pemerintah,
termasuk di daerah, dan pihak swasta, semestinya sudah memiliki kesanggupan
untuk menjalankan kebijakan ini. Industri perbankan yang jaringannya telah
meluas akan mendukung pelaksanaan kebijakan ini. Pendeknya, hampir tak ada
hambatan teknis.
Namun, hambatannya sudah terbayang. Memang
banyak politisi dan pebisnis yang sejauh ini mengambil keuntungan dalam sistem
transaksi tunai akan menghambat ide ini. Jaringan dan sumber logistik mereka
akan terganggu. Pernah sewaktu ide ini disampaikan kepada pimpinan BI beberapa
waktu lalu, secara substantif mereka sepakat, tapi terlontar keengganan untuk
mengambil inisiatif karena bayangan mereka akan menghadapi penentangan dari
para politisi.
Di sinilah Menkeu M Chatib Basri ditantang
keberaniannya untuk melakukan langkah kecil untuk melawan korupsi. Selain
seorang profesional, Chatib relatif tidak memiliki hambatan politik apa pun
untuk menumpas hama negara.
Tidak berlebihan penerapan kebijakan
transaksi keuangan nontunai, selain bisa menghemat anggaran negara, memangkas
sistem percaloan dan jaringan pemburu rente, juga akan menggenjot penerimaan
pajak pemerintah. Saatnya melakukan reformasi birokrasi kecil untuk memutus
sumber logistik oligarki kotor. Hanya dengan cara ini negara bisa sedikit
melepaskan diri dari rezim korupsi.●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar