|
KOMPAS, 10 Juni 2013
Majalah
Infobank baru saja merilis proyeksinya bahwa industri perbankan akan
mengalami stagnasi dalam empat tahun mendatang. Ada indikasi pertumbuhan kredit
yang lebih kencang daripada pertumbuhan dana pihak ketiga membuat rasio kredit
terhadap dana pihak ketiga perbankan tahun 2017 diprediksi hampir menyentuh 100
persen (Kompas, 4/6). Situasi tidak sehat ini tentu agak merisaukan.
Beberapa
data ekonomi makro belakangan ini memang menunjukkan tanda-tanda pelambatan
ekonomi. Kinerja pertumbuhan ekonomi triwulan I-2013 hanya 6,02 persen. Karena
itu, semula pemerintah hanya berani menargetkan pertumbuhan ekonomi 2013
sebesar 6,2 persen, sebelum kemudian diralat DPR menjadi 6,3 persen.
Inflasi
tahunan (year on year) memang masih
nyaman pada 5,47 persen. Namun, bakal segera melesat ke 6 persen atau 7 persen
sesudah harga bahan bakar minyak (BBM) dinaikkan, ditambah peristiwa musiman
bulan Ramadhan dan Lebaran. Pemerintah memperkirakan inflasi per akhir tahun
7,2 persen, sementara Bank Indonesia (BI) memproyeksikan 7,76 persen.
Pada
industri perbankan, gejala melambat terlihat dari penurun sejumlah indikator
utama. Pertumbuhan kredit triwulan I-2013 sebesar 22 persen, turun dari 24
persen periode yang sama tahun 2012. Kredit sektor pertambangan turun dari 34
persen ke 19 persen; kredit pertanian turun dari 30 persen ke 26 persen; kredit
konstruksi turun dari 22 persen ke 17 persen.
Namun,
ada yang menggembirakan. Rasio kredit bermasalah bruto turun dari 2,29 persen
menjadi 1,97 persen. Indikator efisiensi yang ditunjukkan oleh rasio biaya
operasional terhadap pendapatan operasional membaik sedikit dari 76,7 persen
menjadi 75,5 persen.
Persoalan
terkini industri perbankan ada dua. Pertama, rezim suku bunga rendah belum
sepenuhnya berhasil. Suku bunga acuan BI Rate memang turun hingga 5,75 persen,
terendah dalam sejarah perekonomian Indonesia, tetapi belum diikuti dengan
penurunan bunga kredit secara proporsional.
Kedua,
ekspansi kredit mulai melambat. Hal ini disebabkan turunnya tingkat kepercayaan
pelaku ekonomi terhadap prospek perekonomian Indonesia. Anggaran Pendapatan dan
Belanja Negara tidak sehat karena terbebani subsidi BBM, defisit neraca
perdagangan, cadangan devisa melorot, yang menggerogoti kepercayaan investor
dan bank yang lalu sama-sama mengerem ekspansinya.
Data
industri perbankan menunjukkan gejala pertumbuhan melambat. Aset total
perbankan sejak akhir tahun 2012 cenderung datar ke level Rp 4.200 triliun,
dana pihak ketiga Rp 3.200 triliun, dan kredit Rp 2.700 triliun. Situasi ini
mirip kasus di Amerika Serikat saat Kepala Fed (Bank Sentral AS) Alan Greenspan
menerapkan rezim bunga rendah dengan memangkas Fed Rate dari 9 persen jadi 5,75
persen pada Mei 1989-Juli 1991 (Fleckenstein dan Sheehan, 2008).
Meski
secara positif mendorong konsumsi dan investasi, kebijakan ini juga menyebabkan
migrasi dana dari perbankan komersial ke pasar modal sehingga harga saham di
Wall Street melambung. Namun, hal ini lebih bersifat artifisial, bukan
fundamental. Kelak, pada September 2008, ketika harga saham sudah terlalu menggelembung,
indeks harga saham Dow Jones pun terkoreksi hampir 50 persen saat krisis
subprime mortgage. Krisis ekonomi terbesar AS sejak depresi besar pada 1930-an.
Kejadian
ini nyaris sama dengan kondisi kita kini. Harga saham naik hingga indeks
menyentuh di atas 5.200 per akhir Mei 2013, bisa jadi disebabkan oleh suku
bunga simpanan di bank yang tak menarik. Dengan bunga acuan 5,75 persen
berbanding ekspektasi inflasi 7 persen, dapat dipahami jika banyak orang yang
memburu imbal hasil di pasar modal. Namun, karena kenaikan harga saham ini
sifatnya artifisial (tidak fundamental), IHSG pun mudah terkoreksi menjadi
4.865 pada akhir pekan lalu, Jumat (7/6).
Tampaknya
likuiditas dalam hari-hari ini masih cenderung mondar-mandir antara sektor
perbankan dan pasar modal. Sementara itu, sebagian likuiditas rupiah juga
”lari”, dibelikan dollar AS. Akibatnya, kurs rupiah cenderung melemah. Sejauh
ini BI memang masih bisa mengintervensi pasar dengan cara melepaskan cadangan
devisanya. Namun, sampai kapan mereka kuat? Cadangan devisa saat ini, 105
miliar dollar AS, jelas bukan level ideal dan aman karena sudah mendekati batas
psikologis 100 miliar dollar AS.
Untuk
mengurangi beban intervensi agar rupiah stabil, saya sarankan BI mulai
menaikkan BI Rate menjadi 6 persen. Memang, rezim suku bunga rendah pada era
Darmin Nasution cepat atau lambat akan ada limitnya. Saya duga batas itu kini
dijumpai. Harga BBM bersubsidi ”harus” naik, inflasi merangkak ke 7 persen,
sehingga BI Rate 5,75 persen pun kini mulai tidak relevan lagi. Kalau BI Rate
tetap, bisa berdampak buruk pada volatilitas rupiah dan IHSG.
Kenaikan
suku bunga memang akan memaksa pelambatan ekspansi kredit perbankan. Namun, di
sisi lain, dana masyarakat yang ”gentayangan” membeli valas dan saham akan
mulai mengalir kembali ke bank. Saya tetap yakin bahwa industri perbankan tidak
stagnan, tetapi masih akan terus tumbuh meski lebih lambat.
Meski
begitu, kebutuhan terus menyuntik modal bagi bank-bank kita masih akan menjadi
persyaratan yang harus dipenuhi para pemilik bank jika ingin banknya terus
eksis di industri. Bank yang bermodal kecil harus memperkuat struktur modalnya
dengan cara anorganik, misalnya berkonsolidasi, merger, dan akuisisi dengan
bank lain. Hanya bank bermodal besar yang tetap tangguh dan mampu bertahan di
industri yang haus modal dan sarat teknologi ini.
Rezim
suku bunga rendah untuk sementara harus jeda dulu. Tekanan krisis global dan
APBN yang tidak sehat merupakan dua hal yang memaksa BI harus segera menaikkan
BI Rate. Jika kelak tekanan mulai berkurang, rezim tersebut dapat dilanjutkan
kembali. Suku bunga rendah adalah strategi jangka menengah dan panjang yang
harus kita capai, tetapi menaikkan BI Rate adalah realitas taktik jangka pendek
yang semoga tidak terlalu lama kita jalani. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar