Senin, 03 Juni 2013

Guruku, Ustaz Sofyan Hadi


Guruku, Ustaz Sofyan Hadi
Ahmad Baedowi  ;   Direktur Pendidikan Yayasan Sukma, Jakarta
MEDIA INDONESIA, 03 Juni 2013


BAYANGKAN, 32 tahun tak tahu kabar berita, tiba-tiba beberapa teman semasa di pesantren dalam sebuah acara reuni menegur saya. “Bae, ente ingat Ustaz Sofyan Hadi tidak? Dia sering banget nanyain ente,“ kata Nurdin, salah seorang teman. Saya tentu terhenyak, karena Ustaz Sofyan Hadi merupakan guru sekaligus mentor abadi dalam tonggak sejarah perjalanan hidup Saya. Beliau sangat arif, bertutur lembut, dan murah senyum jika menghadapi para santrinya. Termasuk ketika memilih saya secara khusus untuk dilatih sebuah keterampilan berkomunikasi ala pesantren, yaitu berpidato di forum muhadhoroh bak orator ulung.

Bagi saya pribadi, mengenang seorang guru adalah cara paling murah dan mudah untuk membangun kembali ghirah kependidikan pada diri sendiri. Jika ada jejak pendapat yang bertanya tentang rahasia sukses seseorang, guru pasti akan menjadi faktor yang sangat dominan dan banyak dipilih kita sebagai penentu kesuksesan seseorang. Pun begitu jika saya ditanya tentang masa-masa ketika bersekolah di pesantren dulu, tepatnya di Pesantren As-Syafi ’iyah, Balimatraman, Jakarta, pastilah kenangan akan sosok yang sangat santun dan murah senyum seperti Ustaz Sofyan Hadi akan selalu tampak sebagai tonggak penting dalam perjalanan hidup hingga saat ini.

Jika gaya mengajar dan mendidik Ustaz Sofyan Hadi diskemakan dalam prinsip pedagogis Bobby De Potter (Quantum Teaching, 2004), sikap dan perilakunya (habits) yang santun dan murah senyum adalah gambaran autentik dari kombinasi antara pengetahuan (knowledge), keterampilan (skill), dan niat/gairah (passion) adalah penjelasan aplikatifnya. Artinya, sosok Ustaz Sofyan Hadi selain memiliki pengetahuan yang mumpuni serta keterampilan retorik yang ulung. Ia juga merupakan motivator yang mampu memberikan semangat belajar bagi para santrinya, terutama saya.

Pembangunan makna

Saya tak kuasa untuk memeluknya saat bertemu kembali dengannya minggu lalu. Perawakannya yang tetap kecil di mata saya tak menghilangkan kesan bahwa beliau adalah guru yang sangat santun dalam bersikap, bertutur, dan berperilaku. Senyumnya sangat khas, persis seperti gambaran waktu saya kecil saat melihat dia mengajar. Bak gayung bersambut, kesan dia pun terhadap saya tetap seperti dulu, anak yang gampang untuk diajari dan cepat dalam menghafal dan melafalkan ayat, hadis, dan kata-kata hikmat saat berpidato.

Belajar dari Ustaz Sofyan Hadi bagi pengalaman belajar saya adalah sebuah blessing dan penuh makna. Dengan kesadaran bahwa proses belajarmengajar sesungguhnya merupakan upaya pembangunan makna (meaning making), berinteraksi secara langsung dengan beliau adalah pengalaman batin yang luar biasa. Sosoknya bukan hanya paham untuk merumuskan pola pembelajaran yang berorientasi pada perumusan makna, melainkan juga kaya akan pemaknaan yang harus dihayati. Prinsip niat baik dalam belajar baginya merupakan kata kunci yang harus dipegang teguh setiap santri atau siswa.

Prinsip niat baik yang dimaksud Ustaz Sofyan Hadi saya tangkap dari keyakinan Beliau tentang perlunya ketaatan kepada guru. Ketika belajar, baik langsung maupun tidak langsung, posisi kita sebagai siswa harus selalu dalam kondisi berbaik sangka terhadap guru. Hal ini terekam dengan sangat fasih dari pengalaman Beliau ketika belajar dan berinteraksi secara langsung dengan gurunya tercinta, Kiai Haji Abdullah Syafi’i.
Ketika bertemu, Beliau menceritakan pengalamannya ketika diajak berdakwah oleh Kiai Haji Abdullah Syafi’i. Saat itu sekitar 1980-an, Beliau diajak ke daerah Bogor untuk menghadiri acara maulid nabi. Tiba di lokasi, sebagai murid yang taat, tugasnya hanya satu, yaitu memastikan sandal yang digunakan Pak Kiai aman dengan cara memegangnya. Karena sambutan massa yang luar biasa terhadap Kiai, Beliau menjadi terpisah dan duduk agak berjauhan bahkan hampir tak bisa melihat posisi duduk Pak Kiai. Ustaz Sofyan Hadi hanya berkeyakinan bahwa jika saatnya tiba Pak Kiai ceramah, pasti dia akan mendekat ke podium.
Lama ditunggu Pak Kiai tak kunjung ceramah hingga larut malam, bahkan berujung subuh. Ustaz Sofyan Hadi lebih memilih terus duduk bersama jamaah lainnya sambil memegang sandal Pak Kiai hingga pagi hari. Barulah kemudian di pagi hari dia bertanya kepada sohibul bayt, di mana gerangan Kiai Haji Abdullah Syafi’i. Alangkah kagetnya Ustaz Sofyan Hadi ketika mengetahui bahwa sesungguhnya Pak Kiai sudah pulang ke Jakarta pada malam hari karena urung untuk berceramah lantaran saat itu ada larangan ceramah dan sedang musim kampanye.

Cerita tersebut menggambarkan bahwa ketaatan kepada guru pasti akan berbuah manis. Karena sesudah peristiwa itu, Pak Kiai selalu memberi porsi khusus untuk mengajar Ustaz Sofyan Hadi sambil tak lupa memberinya banyak ijazah dan syahadat dalam doa-doa. Ketaatan Beliau terhadap Pak Kiai menjadi bekal yang tak pernah habis dalam mengemban misi untuk terus mengajar sepanjang hayat. Hingga saat ini, Ustaz Sofyan Hadi terus berkutat dengan dunia dakwah dan pengajaran berbasis masyarakat seperti majelis taklim.

Sangat disayangkan bentuk ketaatan ala pesantren saat ini seperti hilang ditelan bumi karena tak lagi banyak dianut dan ditiru para siswa kita. Kalaupun ada yang meniru model ketaatan dalam gaya belajar saat ini, tak lebih dari proyeksi guru dan siswa soal makna disiplin yang terkesan dipaksakan dan tak murni lahir dari sebuah proses kesadaran siswa itu sendiri sebagai hasil dari interaksi dengan guruguru mereka. Padahal, dari kacamata teologis (agama), ketaatan semestinya merupakan sumbu penerang bagi seorang pelajar yang ingin memiliki kedalaman ilmu dan kebaikan akhlak untuk bekal di dunia dan akhirat.

Syukran jazila Ustaz Sofyan Hadi telah mengajarkan saya tentang kesantunan bersikap, berperilaku, dan bertutur berdasarkan niat ikhlas dan juga sebagai bentuk ketaatan terhadap guru. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar