Senin, 03 Juni 2013

100 Tahun Yap Thiam Hien (1913-2013)


100 Tahun Yap Thiam Hien (1913-2013)
Lestantya R Baskoro  ;   Wartawan TEMPO
KORAN TEMPO, 03 Juni 2013


Kita merindu pada sebuah keteguhan hati: Yap Thiam Hien.
Saya bayangkan sosoknya di suatu hari pada tahun 1966. Ia berada di ruang sidang Mahkamah Militer Luar biasa. Ia tampil membela Soebandrio, bekas wakil perdana menteri yang didakwa berperan dalam peristiwa kudeta berdarah G30S yang gagal itu. Semua orang menyumpahi Soebandrio, dan Yap mengambil risikonya, menjadi pembela "musuh negara dan bangsa" tersebut.
Dengan suaranya yang keras-suara yang disalurkan lewat speaker ke luar ruang sidang agar ratusan pengunjung lainnya di luar gedung bisa mendengar-Yap mencecar Soebandri. "Apakah pada waktu Saudara menjabat Perdana Menteri ada anggota parlemen yang tidak setuju dengan pendapat Saudara? Apakah ada partai-partai politik yang tidak setuju dengan Saudara? Ketika Soebandrio menjawab, "Tidak ada," Yap kembali mengejar, "Barangkali dari pihak tentara ada yang tidak setuju?" Kembali Soebandrio menjawab, "Tidak ada!"
Mahkamah Militer memang akhirnya memvonis Soebandrio-politikus yang dituduh dekat dengan Partai Komunis Cina-hukuman mati. Tapi, kita tahu, pembelaan Yap atas Soebandrio, yang sejatinya musuh politiknya saat dia duduk di Konstituante sebagai anggota Baperki, telah mengangkat harkat kemanusiaan Soebandrio yang sebelumnya dinistakan sebagai sumber tragedi peristiwa 1965 itu. Pembelaan Yap atas Soebandrio, juga terhadap Abdul Latief-terdakwa lainnya dalam peristiwa yang sama ini-itu sendiri merupakan salah satu pembelaan yang dinilai brilian dalam sejarah penegakan hukum di Indonesia.
Sesungguhnya, yang digugat Yap, lewat pertanyaan-pertanyaan tajam dan kerasnya kepada Soebandrio, adalah pelecehan terhadap supremasi hukum yang dilakukan semua partai politik, para pemimpin partai, para pemegang kekuasaan, dan ketidakberanian semua pihak mengkritik para pemimpin yang membuat negeri ini hancur. Dalam titik inilah ia mau menyebutkan, tragedi G30S itu adalah kesalahan semua pihak. Pemberian kekuasaan besar kepada Presiden yang diatur lewat UUD 1945, dan sikap membebek semua partai, memberi kontribusi besar atas kehancuran bangsa ini. Puncak itu adalah peristiwa 30 September tersebut.
Yap teguh mengkritik UUD 1945. Ia satu-satunya anggota Baperki-partai yang mewakili kaum keturunan Cina di parlemen-yang dengan lantang menolak gagasan Presiden Sukarno kembali ke UUD 1945. Dia menolak karena UUD 1945 memiliki pasal-pasal tentang perlindungan hak asasi manusia yang sangat sedikit dibanding UUDS 1950. UUD 1945 hanya memiliki lima pasal, sedangkan UUDS setidaknya memiliki 28 pasal. Dia menolak karena Pasal 6 UUD 1945, yang berbunyi, "Presiden ialah orang Indonesia asli," jelas diskriminatif. Menyingkirkan hak semua orang menjadi presiden. Padahal Indonesia dihuni beragam etnis dan berbagai keturunan suku bangsa: Cina, Arab, India, dan lain-lain.
Bagi Yap, sejarah seseorang tak bisa dilenyapkan-karena pelenyapan melanggar HAM, melanggar kemanusiaan. Bagi dia, semua manusia berhak atas sejarahnya, atas kebudayaannya yang melekat di dirinya. Seorang keturunan Cina berhak mempertahankan identitasnya. Karena itu, Yap menolak asimilasi yang dipaksakan yang, antara lain, wujudnya dalam bentuk perintah mengganti nama bagi warga keturunan Cina. Ia teguh memegang sikapnya: tetap bernama Yap Thiam Hien, nama yang diberikan orang tuanya saat dilahirkan di Kutaraja (kini Banda Aceh), 25 Mei 1913.
Namanya tak berubah, tapi kecintaannya kepada negeri ini tak kurang sedikit pun. Dia mengkritik warga keturunan Cina yang hanya mengejar materi belaka tanpa ikut memikirkan ketimpangan yang menganga di sekelilingnya. Dan publik-dari melihat yang dilakukannya-mafhum. Yap bahkan lebih nasionalis, lebih cinta kepada Indonesia-dan karena itu lebih peduli-ketimbang kebanyakan dari mereka yang merasa "warga negara Indonesia asli".
Sesungguhnya, kecintaan Yap pada nilai-nilai kemanusiaan sudah melampaui "nasionalisme" itu sendiri. Dia bukan pemeluk prinsip right or wrong is my country-salah atau benar, negaraku. Dia pengejar kebenaran. Sikap ini pula yang dipegangnya dengan teguh sebagai pengacara: ia tidak mencari kemenangan dalam membela perkara, melainkan mencari kebenaran. Prinsip yang akhirnya memang membuat lulusan Fakultas Hukum Universitas Leiden ini jauh dari gelimang harta-sesuatu yang memang ia sendiri tidak pernah ia kejar.
Kebenaran dan keberanian menegakkan serta menyuarakan kebenaran itu yang ia pompakan, tularkan, dan ia tunjukkan kepada siapa pun. Ia mendirikan Lembaga Pembela HAM dan Persekutuan Pelayanan Narapidana dan Tahanan, serta menyerukan pembebasan semua tahanan PKI-terutama yang dilemparkan ke tempat terpencil di Pulau Buru-karena tidak melalui proses peradilan yang benar. Ia dirikan Peradin (Persatuan Advokat Indonesia) karena ia ingin pengacara Indonesia kuat bersatu dan karena itu berani melawan ketidakadilan yang datang dari penjuru mana pun, termasuk penguasa.
Ia teguh, konsisten, juga jujur. Sesuatu yang semakin langka kita temui pada sosok penegak hukum dan pemimpin negeri ini. Ia menempatkan moralitas sebagai hal penting sekaligus penjaga dalam memperjuangkan nilai-nilai kebenaran itu. Dia menolak suap dan tak pernah menolak siapa pun pencari keadilan, yang biasanya mencarinya setelah mentok ke mana-mana, yang datang ke kantornya yang sederhana-yang untuk dirinya dan tamunya hanya tersedia air putih-di sebuah sudut di Jalan Hayam Wuruk, Jakarta Pusat.
Dia bukan "macan persidangan", yang tampil di ruang sidang dengan suara yang terus menggelar. Yang ia tunjukkan di ruang sidang adalah argumentasi hukum yang logis dan kebenaran yang ingin dibengkokkan. Ia hanya mengaum jika kebenaran itu diusik. Kepada hakim, dia tak segan meminta maaf jika ia sadar sikapnya di persidangan salah.
Itulah Yap. Jika ia masih hidup hingga pekan ini, usianya 100 tahun. Di tengah karut-marutnya hukum di negeri ini, kita memerlukan orang seperti Yap. Orang yang dengan segenap jiwanya menghayati dan melaksanakan semboyan hukum paling terkenal, fiat justitia ruat coelum-sekali pun langit runtuh, hukum harus ditegakkan-dengan teguh. Bukan sekadar retorika seperti yang diucapkan oleh mereka yang mengaku sebagai penegak hukum dalam acara-acara talkshow di layar televisi kita. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar