Watak Dasar
Muhammadiyah
Ahmad Baedowi ; Direktur Pendidikan Yayasan Sukma, Jakarta
|
MEDIA
INDONESIA, 19 November 2012
SEABAD bukanlah perkara singkat. Karena itu, jika
Muhammadiyah hari ini berbangga hati sebab perkara usia, tentu kita harus
mengurut dada. Benarkah Muhammadiyah menjadi besar karena usianya yang panjang? Sementara
tak sedikit para pengkritik organisasi sosial keagamaan itu yang percaya
bahwa Muhammadiyah saat ini sudah masuk perangkap rutinitas birokrasi yang
sengaja mereka ciptakan sendiri sehingga menjadi antikreativitas? Padahal
sebagai lembaga yang mengusung tema tajdid (pembaruan) sebagai watak
dasarnya, kurang sepantasnya jika Muhammadiyah tak lagi melahirkan pemimpin
yang tidak hanya kreatif, tetapi juga penghafal setia urat nadi kegelisahan
warganya.
Sebagai organisasi pembaruan keagamaan yang memiliki
tradisi kuat, Muhammadiyah seharusnya percaya diri dengan pandangan mereka
yang melihat pendidikan sebagai kunci kemajuan sebuah bangsa. Namun,
sayangnya warna, garis, dan haluan lembaga-lembaga pendidikan Muhammadiyah
seakan kurang kreatif dalam menjawab berbagai persoalan keumatan dewasa ini.
Gerakan Muhammadiyah juga sejak awal dikenal luas sebagai gerakan sosial
keagamaan yang didirikan untuk mengadaptasikan Islam dengan situasi modern
Indonesia karena gerakan itu menegaskan diri sebagai gerakan pembaruan yang
peduli dan konsen (care and concern)
terhadap kemajuan Islam dan umat Islam, dan menyebabkan kebangkitan kembali
kaum muslimin di Indonesia. Pendiri Muhammadiyah, Ahmad Dahlan, ketika
menamai organisasi keagamaan Muhammadiyah bahkan juga memberi nama yang sama
untuk sekolah pertama yang didirikannya.
Mengenang Muhammadiyah seharusnya tak lebih dan tak kurang
seperti mengenang watak para pendirinya seperti Ahmad Dahlan. Menurut Abdul
Mu’ti (2009), mengenang Dahlan sesungguhnya seperti mengingat kembali
kerangka dasar yang diletakkan ketika mendirikan Muhammadiyah pertama kali.
Ada tiga hal yang bisa dipelajari dari jalan hidup Ahmad
Dahlan, yaitu (1) senantiasa memulai sebuah perjuangan dari dalam (strugle from within), (2) membiasakan
diri untuk melakukan dialog, dan (3) selalu mengedepankan dan memberi solusi
jalan tengah (tawasuth) untuk
mengatasi sebuah persoalan. Dalam bahasa yang bisa jadi berbeda, semangat
untuk selalu mengedepankan komunitas internal sebagai basis perjuangan
ideologis ialah pilihan yang amat logis. Memulai dari diri sendiri, keluarga
sendiri, dan komunitas sendiri ialah pilihan strategis untuk memasang fondasi
perjuangan. Itulah salah satu interpretasi lain dari prinsip struggle from within yang telah
ditunjukkan Ahmad Dahlan yang masih terasa kontekstual dengan kebutuhan dan
tuntutan masyarakat Indonesia hingga saat ini.
Hanya dalam pengelolaan pendidikan, prinsip struggle from within bisa menjadi
kontraproduktif jika dibaca secara salah oleh warga Muhammadiyah. Ada banyak
kasus karena terlalu mementingkan kebutuhan orang dalam, banyak lembaga
pendidikan Muhammadiyah beralih fungsi kepemilikan dari lembaga menjadi milik
perseorangan. Selain itu, bacaan yang salah juga bisa saja terjadi jika
lembaga pendidikan Muhammadiyah hanya diperuntukkan warga Muhammadiyah, bukan
untuk warga muslim atau bahkan nonmuslim. Hal itu tentu saja amat
memprihatinkan karena ide dasar Ahmad Dahlan tak ditangkap secara utuh,
bahkan melepaskannya dari dua ide selanjutnya.
Banyak cerita dan catatan, karena terbiasa dengan dialog,
Ahmad Dahlan bahkan tak sungkan untuk melakukannya dengan orang lain agama. Sekolah
pertama yang diinisiasinya bahkan merupakan akumulasi dari hasil dari
dialognya dengan penganut Kristen sehingga guru-guru yang mengajar sains
berasal dari teman-teman beragama Kristen. Pertanyaan lanjutannya, masih
adakah semangat dialog menjadi laku kurikulum dalam sekolah-sekolah
Muhammadiyah kebanyakan, saat ini? Jelas sekali bahwa lembaga-lembaga
pendidikan Muhammadiyah harus selalu diuji dengan kematangan dialog sehingga
warna solusi jalan tengah juga merupakan kebutuhan dari laku kurikulum
lembaga pendidikan Muhammadiyah, dan tentu saja harus kental aspek pendekatan
sosiologis ketimbang politisnya.
Muhammadiyah berpolitik sudah diketahui semua orang,
bahkan para pemimpinnya pun banyak terlibat dalam beragam partai politik.
Mungkin Kahin dalam Nationalism and
Revolution in Indonesia sangat benar ketika menyatakan Muhammadiyah
paling tidak memiliki peran dalam tiga dataran: ‘sebagai gerakan pembaruan,
sebagai agen perubahan sosial, dan sebagai kekuatan politik’ (Kahin, hlm
87-88).
Ketiga atribut yang disematkan kepada Muhammadiyah
tersebut memang merupakan keniscayaan. Sebagai gerakan pembaruan,
Muhammadiyah berupaya menghadirkan pemikiran-pemikiran inovatif dan kritis
terhadap status quo sehingga eksistensinya juga sekaligus membawa
transformasi sosial, terutama melalui modernisasi sistem pendidikan Islam.
Namun, ada yang mengganjal dengan posisi politik Muhammadiyah, yang seakan
keluar dari khitah (garis dan orientasi perjuangan) organisasi ini yang
pernah menyatakan secara tegas untuk tidak berpolitik praktis.
Pada konteks ini, tujuan berpolitik Muhammadiyah
seharusnya mengikuti garis sufi stik yang selalu reaktif terhadap seluruh
kecenderungan hidup hedonis yang mengumbar syahwat, serta cenderung
mengedepankan rasio, tetapi tetap kaya dan ikhlas dalam memberikan teladan tentang
kesederhanaan.
Pimpinan lain yang juga perlu disebut karena
kesederhanaannya dalam bertindak dan berpikir ialah Pak AR Fachruddin. Beliau
jelas berhasil dalam memerankan diri sebagai katalisator yang sejuk dari
realitas umat yang secara politis dan teologis didominasi nalar kekerasan.
Muhammadiyah perlu menunjukkan
kembali watak dasar kesederhanaan peran para pemimpin mereka yang tetap
rendah hati dan tidak tergiur oleh syahwat politik yang cenderung membuat
warga Muhammadiyah semakin terbelah. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar