Verifikasi
Politik oleh Publik
Chris Panggabean ; Aktif
di Perhimpunan Pendidikan Demokrasi, Jakarta;
Asisten Peneliti di UI
|
KOMPAS,
14 November 2012
Pemilu masih dua tahun lagi, tetapi pilihan
politik akan ditentukan tahun ini. Saat ini KPU sedang melakukan proses
verifikasi partai politik peserta pemilu.
Sementara itu, beberapa
lembaga swadaya masyarakat yang memantau proses ini menengarai, komisioner
KPU punya preferensi: meloloskan yang tak lengkap dan mengeliminasi parpol
baru. Badan Pengawas Pemilu membahasakannya: ada pelanggaran kode etik.
Indikasinya, sebelum
Mahkamah Konstitusi memutuskan bahwa parpol yang di DPR juga harus ikut
diverifikasi, semua syarat verifikasi yang berat tidak bisa dinegosiasikan.
Disengaja atau tidak, proses verifikasi yang sedang berlangsung mengarah pada
lolosnya semua parpol yang memiliki kursi di DPR. Kondisi status quo ini
tentunya tidak sejalan dengan kehendak publik yang mengharapkan perubahan.
Teori psikologi sosial
klasik dari Kurt Lewin, field theory, menganggap benak manusia sebagai medan
energi yang kompleks dan mengandung ketegangan-ketegangan dengan beragam
titik keseimbangan. Manusia memiliki sejumlah kebutuhan yang menciptakan
ketegangan sampai ia terpenuhi.
Valensinya bisa positif
dengan mendekati suatu obyek tujuan atau menjauhinya. Daya ini akan terus
bergerak hingga ia mencapai tujuan. Pada titik ekuilibrium itulah ketegangan
mereda. Salah satu kebutuhan yang sifatnya psikologis adalah hadirnya virtu.
Ciri virtu adalah kehadirannya akan mendatangkan pujian, sedangkan jika ia
hilang maka masyarakat merindukannya (Peterson & Seligman, 2004).
Fenomena ini masih akan
berlanjut. Sepanjang tahun ini, sejumlah lembaga melakukan survei preferensi
politik publik. Secara konsisten semua survei menunjukkan 40-50 persen
responden belum menentukan pilihan. Publik masih menunggu adanya tokoh dan
parpol alternatif. Jika tren ini berlanjut hingga 2014, sangat mungkin parpol
yang ada sekarang akan ditinggalkan dan sejumlah tokoh lama dipastikan
kehilangan pamor.
Sebelum 1998, masyarakat
Indonesia haus akan keadilan, keberanian, kemanusiaan, kesederhanaan.
Kebutuhan ini dirasa banyak orang sehingga jadi daya yang bergerak mencari
pemenuhannya. Tampaknya kebutuhan itu belum jua terpenuhi karena bobroknya
sejumlah elite dan parpol. Ia cair dan terus bergerak di publik Indonesia.
Studi panjang Lembaga
Survei Indonesia menunjukkan besarnya jumlah swing voter sejak Pemilu 1999
diselenggarakan. Besarnya angka swing voter atau yang belum menentukan
pilihan tidak lepas dari proses transisi demokrasi membawa publik lebih
kritis lagi. Publik memiliki kriteria verifikasi sendiri terhadap parpol saat
ini.
Verifikasi pertama soal
korupsi, hal yang paling berbahaya bagi demokrasi dan kepentingan publik. Perilaku
korup yang dipraktikkan sifatnya lintas ideologi dan partai. Tak peduli
berlandaskan marhaenisme, nasionalisme, kekaryaan, bahkan ideologi agama
sekalipun. Publik jadi trauma dengan parpol dan terbangun opini yang
menggeneraliasi: semua parpol korup, termasuk parpol baru yang tidak
melakukan ”dosa” apa pun.
Banyak yang gembira
melihat parpol baru berguguran, demi hasrat kuantitatif pengecilan jumlah
parpol, tanpa sadar kelak mereka akan dihadapkan pada pilihan-pilihan lama
yang terbukti ingkar janji. Padahal, kuasa rakyat adalah meninggalkan pilihan
lamanya dan memberikan dukungan ke pilihan yang baru.
Verifikasi kedua, nilai
demokratis yang dapat diatribusikan kepada suatu partai. Ciri khas demokrasi
adalah kekuasaan dapat dikoreksi. Politik dinasti tentu bukan padanan yang
pas dengan nilai demokrasi. Kebanyakan dari kita, dengan berbagai motif,
diam-diam memakluminya.
Partai yang menghidupi
nilai politik dinasti memiliki mistar keterbatasan. Kader terbaik tetap harus
menunggu restu dari ketua umum. Jangankan anggota biasa, yang satu trah pun
tidak dapat melampaui anak emas. Sementara di partai lain, anak ketua dewan
pembina aktif menyampaikan opini pribadi, berkampanye kepemimpinan 2019 di
ruang publik sampai lupa norma institusi di mana dia bekerja. Tak ter- dengar
teguran dari atasannya.
Pada mulanya gagasan
republik hanya mengenal patriotisme, semangat untuk melakukan yang terbaik
baik bagi masyarakatnya. Jika nasionalisme lebih mencondongkan diri agar
negaranya lebih hebat daripada negara lain, bagi patriotisme, keunggulan
negara hanyalah konsekuensi setelah melakukan yang terbaik bagi bangsanya.
Tujuan politik bagi paham
republik adalah kemaslahatan bersama. Kepentingan publik harus mengatasi
kepentingan pribadi dan kelompok. Prasyaratnya, partisipasi aktif warga
negara. Itu sebabnya kewarganegaraan merupakan salah satu karakter yang dapat
menciptakan virtu keadilan. Ada sebagian warga negara yang terpanggil untuk
membenahi republik dan memaksimalkan nilai demokrasi. Akan tetapi, ada
keterbatasan dan peluang hanyut jika berjuang dari dalam partai yang toleran
pada korupsi dan membiakkan politik dinasti.
Di tengah ketidakpercayaan
yang tinggi terhadap parpol dan keengganan berpolitik, maka keaktifan warga
negara untuk tetap terjun ke dalam partai perlu diapresiasi. Partai
alternatif perlu ada sebagai konfrontasi etis terhadap mereka yang masih
menginginkan politik dijalankan lewat cara-cara korup dan menjauh dari
kepentingan publik. Meskipun demikian, penyederhanaan parpol perlu
diteruskan. Namun, haruslah melalui proses yang adil, imparsial, dan alamiah.
Sebagian besar pemilih
hendak menghukum kekuatan politik lama dengan tak memilihnya lagi. Namun,
selayaknya mereka punya pilihan baru. Pendulum demokrasi tak boleh ditahan.
Ia harus tetap terayun guna menggerakkan jam peradaban politik. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar