Presiden Turun
Tangan
Sri-Edi Swasono ; Guru Besar UI
|
KOMPAS,
19 November 2012
Kebetulan saya sempat
berjabatan tangan dengan Martin Luther King Jr (1929-1968) sehingga kata-kata
mutiaranya terasa berarti bagi saya. Ia mengatakan, ”A genuine leader is not a searcher for consensus, but a molder of
consensus (pemimpin yang tulen bukanlah pencari konsensus, tetapi pembentuk
konsensus).”
Presiden
Soeharto pada awal pemerintahannya jelas membentuk konsensus nasional, dalam
Sekretariat Bersama Golkar, sementara Presiden Susilo Bambang Yudhoyono
memilih berkoalisi.
Pada
8 Oktober 2012, Presiden ”turun tangan” di tengah memuncaknya konflik antara
Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri) dan Komisi Pemberantasan Korupsi
(KPK). Masyarakat menilai pidato Presiden mengenai perselisihan Polri-KPK
jelas, tegas, dan melegakan. Presiden memerintahkan Polri menyerahkan
sepenuhnya kasus hukum dugaan korupsi simulator di Polri kepada KPK.
Komentar-komentar
sangat positif, mendukung SBY turun tangan. Masyarakat awam mensyukuri,
merasa ”menemukan kembali” Presiden SBY. Disayangkan Presiden kelewat tawaduk, mengatakan tidak baik kalau
Presiden sering turun tangan.
Keadaan
di Tanah Air saat ini penuh keamburadulan, ibaratnya di mana-mana kita
menghadapi ketidakberesan. Setiap hari kasus korupsi baru diungkap, baik
korupsi oleh oknum lembaga-lembaga tinggi negara, pecundang-pecundang
birokrat, kader-kader partai, maupun preman-preman bisnis.
Harapan
baik Presiden dalam pemberantasan korupsi masih terganjal, KPK kekurangan SDM
dan penyelidik, macet di sana-sini. Artinya, Presiden harus turun tangan
lagi.
Bung
Karno dan Bung Hatta baru mendapat anugerah gelar Pahlawan Nasional.
Disebutkan oleh Presiden SBY berkat jasa besarnya, ”...menancapkan gagasan
kebangsaan, demokrasi ideologi Pancasila, Indonesia sebagai negara hukum, sistem
ekonomi kerakyatan, kegotong-royongan, koperasi, dan berbagai gagasan besar
lainnya...”. Gagasan dan nilai-nilai ekstraordiner ini dimuliakan Presiden
SBY.
Jadi,
Presiden harus turun tangan jika ada menteri-menterinya tanpa kreativitas
masih tunduk pada kepentingan Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) ketimbang
pada Pasal 33 Undang- Undang Dasar 1945, merugikan perekonomian nasional,
serta mengabaikan patriotisme dan nasionalisme ekonomi. Memang keterlaluan
ada menteri yang bilang kepada deputinya agar tidak usah
”ideologi-ideologian”, lakukan best practices saja seperti di Amerika.
Demokrasi
ekonomi konsepsi Bung Hatta tidak terlepas dari doktrin kebangsaan dan
doktrin kerakyatan yang menolak liberalisme pasar bebas.
Demokrasi
ekonomi Indonesia yang diemban Pasal 33 UUD 1945 merupakan benteng
nasionalisme ekonomi Indonesia—artinya kepentingan ekonomi nasional yang
diutamakan, tanpa mengabaikan tanggung jawab global.
Konsepsi
koperasi dan ekonomi kerakyatan Bung Hatta telah menjadi pertimbangan
Presiden SBY untuk penganugerahan gelar Pahlawan Nasional ini, tetapi Menteri
Koperasi dan Usaha Kecil Menengah yang tidak paham koperasi dalam konteks
ideologi nasional Indonesia mendorong RUU Perkoperasian.
Terang-terangan,
langkah ini mencabut roh koperasi, mengabaikan paham kebersamaan,
menyelewengkannya dari Pasal 33 UUD 1945 sekaligus bertentangan dengan
semangat kooperativisme global yang pada tahun ini sedang dirayakan dan
dinyatakan PBB sebagai Tahun Koperasi.
Sampai
2012, sudah ada sekitar 400 pengaduan gugatan atas UU yang masuk ke Mahkamah
Konstitusi (MK) dan sekitar 27 persen di antaranya dibatalkan karena
melanggar nilai-nilai Pancasila (Mahfud MD, September 2012), termasuk UU
Migas, UU Investasi, dan sebagainya. Rancangan-rancangan UU itu tak
seharusnya dengan mudah lolos dan diketuk DPR, yang kemudian ditolak MK.
Bila
transformasi sosial-politik dan sosial-ekonomi diselenggarakan secara
awut-awutan, reformasi berubah jadi deformasi, posisi rakyat yang sentral-substansial
(primus) direduksi menjadi marginal-residual. Posisi modal secara keliru
justru didudukkan sebagai yang primus.
Bila
seorang menteri tak mampu melakukan tugasnya untuk mengakhiri perbudakan
berkelanjutan terhadap tenaga kerja kita di luar negeri, dan menteri-menteri
yang lain, tanpa mengabaikan kemajuan yang ada, tak bisa merasa bahwa rakyat
saat ini capek miskin, capek menganggur, capek pedih bercemburu sosial,
karena kebijaksanaan pembangunan tidak berawal dari Pasal 27 Ayat 2 UUD 1945,
Presiden harus turun tangan meluruskannya.
Masyarakat
marah melihat ”Indonesia is for sale”,
kepentingan negara terancam, BUMN dijuali, kedaulatan pangan, kedaulatan
energi, kedaulatan ekonomi rakyat, hajat hidup orang banyak makin tergerus.
Kalau Presiden tidak turun tangan, pasti migas Blok Mahakam jatuh kepada
asing lagi (meskipun BP Migas barusan dibubarkan). Migas Blok Tangguh,
mineral Freeport, dan lain-lain tidak kunjung direnegosiasi.
Obligasi
rekapitalisasi perbankan merenggut kekayaan kita, piutang menjadi utang
fiktif berkelanjutan, ini merupakan absurditas in optima forma-nya para
ekonomi neoliberal kita.
Kepala
negara harus turun tangan pula ketika rezim otonomi daerah berubah menjadi
eksklusivisme dan otoritarianisme lokal, yang menjuali SDA, menjuali pulau
dan aset-aset nasional sambil memuja investor mancanegara.
Bila
aparat dan masyarakat gagal menjaga kerukunan nasional, aparat perlu
dimampukan (empowered) untuk
menghadapi perubahan ultra dinamis sebagian masyarakat, agar berdaya
mendeteksi bibit-bibit potensial pertikaian-pertikaian ”SARA”.
Ketika
para menteri dan aparat tidak bisa menjamin hak konstitusional Gereja Yasmin
dan kebebasan beragama, rakyat bertanya ”di mana Presiden kita” sebagai
tumpuan harapan?
Ketika
Papua terus bergejolak, ketika tidak ada tangan-tangan bijaksana lain yang
mengerti bagaimana menghadirkan kesejahteraan dan kebahagiaan bagi masyarakat
Papua.
Juga
ketika para pemimpin tak memahami makna demokrasi kita yang berdasarkan
kebersamaan, partisipatif, emansipatif, dan kehastabrataan ”waterpas”–yang
tak mengenal anak emas atau anak tiri terhadap segenap anak negeri di
bentangan Sabang-Merauke dan Miangas-Rote—maka hanya Presiden yang jadi
harapan perubahan.
Presiden
memiliki hak istimewa, hak prerogatif, ibarat exorbitanterecht-nya gubernur jenderal (gouverneur general). Membiarkan menteri pilihan Presiden, yang
kemudian terbukti tidak canggih berkualitas tetap bertahan, dan membiarkan
menteri-menterinya lengah mengemban patriotisme dan nasionalisme ekonomi dalam
perang ideologi global, merupakan kelengahan Presiden memuliakan hak
prerogatif yang menghiasi pundak Presiden.
Adalah
in good faith, bahwa Presiden berkenan ”turun tangan”, bahwa leadership is action, not position.
Barangkali perlu pula dipikirkan ulang pilihan politik koalisi tak kapabel
atau politik konsensus ideologis-meritokratis. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar