Praktek
Kekuasaan di Indonesia
Mu’amar Wicaksono ; Peminat Masalah Hukum Lulusan
Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran, Bandung |
SUARA
KARYA, 20 November 2012
Kisah mengenai
kehidupan hedonis yang dilakukan oleh para elite politik dan pejabat negeri
ini, sudah bukan barang baru lagi. Hal ini sudah terjadi sejak zaman orde
lama hingga era reformasi saat ini. Barang-barang mentereng, jalan-jalan ke
luar negeri, rumah dan mobil mewah yang mereka gunakan dan seolah-olah dengan
entengnya membuang uang rakyat untuk hal yang tidak penting. Belum lagi
adanya korupsi yang merajalela di kalangan elit politik. Kisah tersebut
bagaikan cerita lama yang dikemas dengan bungkus baru.
Permasalahannya
ialah apakah sikap hedonis para elite politik dan pejabat tersebut dilakukan
dengan menggunakan uang rakyat atau berasal dari kantong pribadi. Jika mereka
mendapatkannya berasal dari hasil jerih payahnya merupakan suatu hal yang
wajar. Namun, apabila dalam memenuhi kebutuhannya menggunakan uang rakyat
yang seharusnya digunakan untuk kemakmuran rakyat, itulah yang menyalahi
aturan.
Menutur Edward
Gibbon (1737-1794), sejarawan Inggris dalam bukunya, The History of the Decline and Fall of the Roman Empire, terdapat
dua hal utama yang menyebabkan kemerosotan Imperium Romawi. Pertama, korupsi
dan kebiasaan hedonis. Kedua, eksklusivitas dan fanatisme Kristen. Oleh sebab
itu, perlu diingat bahwa meski Romawi bukan negara modern layaknya negeri
ini, namun dalam menganalisis pola pikir berpolitik dan perilaku politisi dan
pejabat, tentu tidak jauh beda dengan zaman sekarang di negeri ini.
Perlu diketahui
bahwa kekuasaan selalu berwajah dua, sekaligus mempesona dan menakutkan.
Dengan kekuasaan orang akan mendapatkan kedududukan berikut tahta atau
kekuasaan yang terhormat. Namun, dengan kekuasaan itu pula orang dapat dengan
mudah menjadi seorang penjahat paling kejam di dunia ini.
Ada sebuah
adagium yang perlu selalu diingat, yaitu power tend to corrupt, dimana kekuasan
yang dimiliki akan mengakibatkan kesewenang-wenangan. Terlebih apabila
kekuasaan itu telah berlangsung lama dan sangat nyaman, sehingga telah
mengaburkan mana yang benar dan salah demi melanggengkan kekuasaan, dan
kekuasaan yang sangat besar tersebut sering ditandai dengan gaya hidup yang
mewah untuk menunjukkan bahwa dirinya sedang berkuasa.
Tanggung jawab
moral merupakan suatu bagian hakiki dari setiap praktik kekuasaan ketika
kebaikan dan kesejahteraan masyarakat menjadi taruhannya. Tetapi, tampaknya keyakinan
ini berubah menjadi semacam pesimisme ketika para pemegang kekuasaan
mempraktikkan kekuasaan tanpa tanggung jawab, seperti ketidakpekaan pada
kepentingan publik, pemerkayaan diri, atau upaya pelanggengan kekuasaan, dan
semacamnya.
Dalam kondisi demikian,
pandangan klasik bahwa konsumerisme telah mengambil alih wilayah kekuasaan
dari moral dan mengaburkan kemampuan membedakan moralitas humanisme dan
moralitas binatang yang mengutamakan kenikmatan dapat diterima. Akibatnya,
para penguasa menghapus tanggung jawab moral dari kamus kekuasaan mereka
dengan berpura-pura untuk mengutamakan kepentingan rakyatnya.
Berbagai
diskusi telah dilakukan untuk mencari solusi permasalahan tersebut. Namun
sampai saat ini, belum terlihat adanya titik terang penyelesaiannya. Ada
beberapa faktor yang dapat digunakan untuk mencegah tejadinya penyalahgunaan
kekuasaan yang dilakukan para pejabat di Indonesia. Pertama, adanya sistem
perekrutan yang baik. Sistem perekrutan tersebut harus bersih dari
benih-benih Kolusi, Korupsi dan Nepotisme (KKN). Kedua ialah etos kerja.
Pegawai yang nantinya akan menjadi pejabat harus mempunyai etos kerja yang
baik, disiplin, dan selalu mendahulukan kepentingan orang banyak daripada
kepentingan pribadi.
Ketiga,
lingkungan kerja yang kondusif. Banyak dari masalah KKN ini diakibatan karena
KKN merupakan hal yang lumrah dilakukan dan telah mendarah daging. Adanya
kesenjangan kesejahteraan antara pejabat tinggi dan pegawai rendahan juga
menjadi faktor pendorong adanya KKN tersebut.
Keempat,
penanaman jiwa sederhana sejak usia dini. Inilah merupakan hal yang sangat
penting, dimana mentalitas para pegawai atau cikal bakal pemimpin negeri ini
harus dipupuk sejak usia dini. Budaya curang harus dibuang jauh dari
mentalitas calon pejabat.
Kelima, adanya
penerapan hukum yang baik. Hukum inilah yang sering disalahgunakan, Disinilah
kita perlukan hukum untuk mengaturnya dengan mengutip pendapat dari Prof.
Mochtar Kusumaatmadja. Beliau menyatakan bahwa hukum tanpa kekuasaan adalah
angan-angan sedangkan kekuasaan tanpa hukum adalah kelaliman. Diperlukanlah
kesinambungan antara hukum dan kekuasan, jangan sampai hukum tersebut
disalahgunakan demi melanggengkan kekuasaan.
Dengan
demikian, marilah dirapatkan barisan baik pemerintah dan masyarakat untuk
mencegah hal buruk tersebut terus berlangsung. Terlebih lagi bagi para
penguasa negeri ini, karena yang diperlukan ialah seorang pemimpin sederhana
yang bisa menempatkan dirinya dengan sepatutnya dan mempunyai cita-cita untuk
memakmurkan bangsa bukan memakmurkan pribadi beserta golongannya.
Artinya, penguasa negeri ini tidak
semestinya bergaya hidup mewah layaknya raja-raja dengan seribu selir,
kekayaan melimpah, dan kekuaasaan yang tidak terkira. Tetapi, cukup hidup
secara sederhana maka rakyat dengan sendirinya akan bersimpati dan menjadi
pemimpin yang dicintai. Sebenarnya inilah kekusaan yang tidak terbandingkan
itu, pemimpin tidak berjarak dengan rakyat yang dipimpinya. Itulah yang
dirindukan oleh rakyat di negeri ini. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar