Pesona Bali
Democracy Forum
Dinna Wisnu ; Co-Founder & Direktur Pascasarjana
Bidang Diplomasi,
Universitas Paramadina |
SINDO,
14 November 2012
Sebanyak 11 kepala negara dan
ratusan delegasi dari 80 negara baru saja pulang dari Nusa Dua Bali untuk
menghadiri perhelatan tahunan Bali Democracy Forum (BDF).Ini tahun kelima di
mana Indonesia menjadi tuan rumah dengan tamu-tamu penting yang sedemikian
banyak.
Bali menjadi layaknya New York baru, tempat markas besar Perserikatan Bangsa- Bangsa (PBB) berdiri. Saya yakin Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) sangatbanggadenganpertemuan ini. Bukan main-main, hadir di sana wakil hampir segala bangsa di muka bumi, bahkan mereka yang tidak saling bicara pun hadir di sana seperti sekutu Amerika Serikat (AS) mulai dari Australia, Korea Selatan, dan Turki hingga yang anti-AS seperti Iran dan Kuba. Wakil 10 negara ASEAN hadir, juga China, Jepang, Korea Selatan yang sedang punya banyak pekerjaan rumah untuk membenahi kestabilan kawasan. Sudah tentu, mengingat segala kerepotan mengurus perhelatan akbar macam ini, kita layak bertanya: Apa signifikansi dari BDF bagi dunia dan bagi Indonesia? BDF adalah inisiatif Indonesia segera setelah ASEAN resmi mengadopsi konstitusi bersama yang dikenal sebagai ASEAN Charter pada Desember 2008. Dalam ASEAN Charter semua negara ASEAN sepakat untuk menghapuskan kebijakan nonintervensi yang selama ini menjadi ciri khas ASEAN.Artinya bahwa sah-sah saja bila antara anggota ASEAN saling mendorong agenda tertentu agar kebijakan dalam negeri suatu negara berubah.Ada kesepakatan untuk melembagakan peranan sentral Sekretariat ASEAN dalam mendorong perubahanperubahan yang diperlukan agar Komunitas ASEAN tercapai pada 2020 sesuai tiga pilar yang disepakati: politik keamanan,ekonomi,dan sosial budaya. Ada pula kesepakatan bahwa semua negara ASEAN akan mempromosikan nilainilai demokrasi dan hak asasi manusia (HAM).ASEAN Intergovernmental Commission on Human Rights (AICHR) dibentuk sebagai realisasi komitmen ASEAN pada perlindungan HAM. Indonesia ingin selangkah lebih maju dari ASEAN.Segera setelah deklarasi ASEAN Charter, mantan Menteri Luar Negeri RI Hassan Wirajuda dan Presiden SBY membentuk Peace and Democracy Institute yang berbasis di Bali dan bekerja sama dengan Universitas Udayana untuk prasarananya. Idenya agar institut ini menjadi wadah untuk melaksanakan ide, gagasan, ataupun program- program yang telah ditetapkan oleh BDF dalam bentuk pengkajian,pertemuan para tokoh politik dan demokrasi,penelitian, dialog, seminar, roadshow, dan publikasi di bidang politik dan demokrasi. Terus terang, sesungguhnya institut tadi baru bisa sungguh optimal kalau Indonesia menjadi pelopor penerapan nilai-nilai demokrasi secara konsekuen. Dalam tataran diplomasi memang Indonesia belum punya tandingan dalam menjadi negara muslim terbesar di dunia yang menjalankan praktik demokrasi (meskipun baru sebatas demokrasi prosedural dan belum substantif). Kita boleh berbangga bahwa pengembangan demokrasi kita didukung oleh puluhan lembaga swadaya masyarakat lokal, kegiatan penelitian di lembaga-lembaga penelitian dan universitas yang kerap bermitra dengan lembaga-lembaga asing, serta media massa yang relatif bebas. Tapi, lebih dari tataran diplomasi, sesungguhnya masyarakat dunia masih menunggu-nunggu realisasi dari model kejituan pengambilan kebijakan atas dasar nilai-nilai demokrasi di mana masyarakat luas bisa ambil bagian tanpa kondisi harus menjadi blunder atau politisinya kalang kabut karena takut diprotes masyarakatnya. Misalnya saja soal perlindungan terhadap warga negara, khususnya kelompok minoritas. Eksplisit tertanam dalam nilainilai demokrasi adalah perlindungan tegas terhadap kelompok minoritas, bahkan ketika mereka sangat berseberangan sekalipun dengan pendapat kelompok mayoritas.Pantang bagi pemimpin atau partai di negara demokrasi untuk mengeluarkan pernyataan yang membakar kebencian,apalagi sampai ikutikutan mendorong “penghukuman massa”terhadap kelompok yang berseberangan aliran. Perbedaan pendapat harus diselesaikan lewat dialog publik, kampanye yang meyakinkan, dan lewat pemilu damai. Kalau mau berkaca, kita sudah lihat buktinya pada Romney, sang capres dari Partai Republikan yang baru saja dikalahkan Presiden Barack Obama dalam pemilu di AS. Dalam konteks AS, kelompok minoritas yang mereka bahas adalah kaum muslim. Publik di AS secara umum memang masih banyak yang fobia terhadap Islam,khususnya muslim yang berasal dari Timur Tengah. Dalam benak mereka, Islam dekat asosiasinya dengan kegiatan terorisme yang semata militan, ingin menghancurkan AS,dan sulit diajak berdialog. Romney meyakini betul stereotyping macam itu terhadap kelompok minoritas Islam di AS atau penganut muslim pada umumnya. Untuk itu, Mitt Romney menolak membangun masjid di Ground Zero karena masjid itu dianggap berpotensi sebagai pusat kegiatan merekrut teroris global dan propaganda anti-AS. Terhadap Suriah, ia memandang bahwa tempat ini menjadi magnet bagi kaum ekstremis dan memacu destabilitas kawasan. Untuk itu,Romney menyimpulkan bahwa AS perlu mencari kelompok yang sejalan dengan AS, lalu mendanai dan mempersenjatai mereka. Ia juga meneriakkan perlunya keberanian dalam menghadapi Iran dengan bersiap melakukan aksi militer ke sana. Apa daya,pendapat Romney tadi ternyata hanya populer di kalangan kulit putih. Padahal suara orang kulit putih bukan satu-satunya sumber suara mayoritas di masa kini. Analisis William Liddle menunjukkan bahwa dalam pemilu 2012 Obama meraih hanya 39% suara orang putih (terkecil sepanjang sejarah), tetapi 93% suara kaum Amerika-Afrika, 71% suara Latin,dan 73% Amerika-Asia digondolnya. Ia juga meraih dukungan 60% suara pemilih muda dan 55% suara perempuan. Jumlah pemilih dari kelompok minoritas bertambah terus. Romney dan Partai Republikan belum tanggap pada perubahan ini, padahal Romney berlatar belakang kelompok minoritas dari agama Kristen Mormon. Kembali pada Indonesia. Sudahkah Indonesia memahami makna yang sesungguhnya dari demokrasi? Sudahkah Indonesia meyakini betul bahwa demokrasi memang sistem politik yang membantu menghidupkan dan menjaga kebhinnekaan di Tanah Air? Sebenarnya tak ada alasan untuk ragu. Negara-negara lain bahkan menaruh harapan pada Indonesia dengan terus menanggapi positif ajakan untuk ke BDF. Karena Indonesia memilih branding alias citra sebagai negara berpenduduk muslim terbesar yang demokratis, Indonesia punya pekerjaan rumah serius untuk menghayati akar perdamaian dalam agama Islam. Seperti kata almarhum Nurcholish Madjid, seseorang bisa menjadi muslim, warga Indonesia sekaligus bergaya hidup modern. Artinya menjadi muslim yang taat, atau umat agama lain yang taat, tidak berarti mengorbankan identitas keindonesiaannya. Mari kita sama-sama percaya diri akan potensi bangsa ini sebagai pendorong nilai-nilai demokrasi yang menghargai hak-hak asasi manusia. Kita buktikan kepercayaan bangsa lain di BDF. Karena jika tidak, secara tidak langsung kita membiarkan BDF menjadi proyek jangka pendek Kementerian Luar Negeri dan Presiden SBY belaka. ● |
mantap... ini yg dicari
BalasHapusjual cincin kawin