Pemimpin di
Negeri Gaduh
Laode Ida ; Sosiolog; Wakil ketua Dewan Perwakilan
Daerah (DPD) RI
|
JAWA
POS, 20 November 2012
NYANYIAN Sekretaris Kabinet (Seskab) Dipo Alam kembali mengguncang.
Sebelumnya mantan aktivis UI itu membuat heboh karena ''kerjaannya''
mengumumkan ranking parpol ''terkorup'', sehingga
membuat sejumlah petinggi parpol marah serta menganggapnya tendensius. Kini
dia mengembuskan adanya sejumlah kementerian yang berkongkalikong dengan
APBN, termasuk menuduh parpol di parlemen menggelembungkan anggaran proyek
dalam APBN.
Dipo cenderung membenarkan keresahan Menteri BUMN Dahlan Iskan tentang adanya upaya pemerasan oleh oknum DPR terhadap BUMN. Dan, barangkali data yang dimiliki sudah dianggap memadai, dia pun langsung melaporkannya ke KPK. Entah bisa dituntaskan atau hanya akan mempersumpek ruangan karena tidak jelasnya nasib tumpukan dokumen pengaduan itu kelak. Yang pasti, pihak terkait dengan nyanyian Dipo Alam itu, baik dari kementerian maupun parlemen, tampak kebakaran jenggot. Tersinggung dan marah. Maka, muncullah tudingan miring. Ada yang mencurigainya sebagai pengalihan isu di tengah ''kegelisahan istana'' karena dugaan Mahfud M.D. tentang adanya mafia narkoba. Ada pula yang merasa tersinggung dan menganggap ''Dipo tidak etis''. Ada pula yang menganggapnya ''sangat tergesa-gesa'' tanpa validasi atau check and recheck. Apa yang diungkapkan Dipo Alam dan Dahlan Iskan sebenarnya merupakan rahasia umum tentang perilaku pejabat politik dan birokrasi di negeri ini. Sebab, jika jujur diakui, niat dan orientasi utama kebanyakan pejabat adalah untuk memperkaya diri, keluarga, dan atau kelompok politiknya. Bahkan, pada tingkat tertentu, pejabat politik (baik di eksekutif maupun parlemen) memang ditugaskan khususnya untuk jadi sumber pendanaan parpol asalnya. Yang diungkapkan Seskab dan Men BUMN itu hanyalah bagian dari sejumlah modus yang dilakukan. Masih banyak lagi cara. Misalnya, skandal di Kemenakertrans terkait pencairan Dana Penyesuaian Infrastruktur Daerah Transmigrasi (DPIDT) yang mencuat pada Agustus 2011. Para pejabat dan staf khusus yang membantu menteri meminta komisi khusus dari pengusaha yang akan mengerjakan proyek di sejumlah daerah. Itu diduga kuat pasti sepengetahuan dan atau mengalir pula ke si pejabat tertingginya di instansi tersebut. Namun, hingga saat ini, tampaknya, para penegak hukum belum menyentuh langsung si bos. Barangkali para penegak hukum lebih percaya ucapan formal satu kalimat, ''Saya tak tahu-menahu tentang praktik suap-menyuap atau bagian komisi itu.'' Ya, berakhirlah pengusutan. Ada cara lain lagi, dan mungkin ini tak akan pernah didapatkan laporannya oleh Dipo Alam. Yang tak sedikit dilakukan pejabat politik di Jakarta maupun di daerah otonom dalam rangka memperoleh uang, baik untuk kepentingan pribadi maupun parpolnya, adalah ''jual beli jabatan''. Semakin tinggi eselon dengan jumlah anggaran yang banyak, kian mahal nilai nominal jabatan itu yang langsung diserahkan kepada si bos penentu. Tak berakhir di situ, para pejabat yang ditempatkan tersebut sekaligus menjadi ''ATM'' bagi si bos. Karena itu, pejabat politik di jajaran eksekutif memiliki harta yang melimpah tanpa pernah dipersoalkan pimpinan tertinggi di negeri ini. Termasuk ,luput dari pembuktian terbalik oleh para penegak hukum. Modus penyangkalan biasa dilakukan para pihak yang terlibat kasus seperti yang dituduhkan Dipo dan Dahlan, termasuk kasus di Kemenakertrans, Kemenpora, Kementerian ESDM, dan lainnya, sehingga memunculkan kegaduhan tersendiri, baik di antara sesama pejabat di internal eksekutif (sesama menteri) maupun dengan Senayan (parlemen). Maklum, khusus gebrakan Dahlan dan Dipo memang dianggap melanggar kebiasaan hubungan sesama pejabat yang saling toleransi, berprinsip tahu sama tahu, bahkan ''sepanjang sama-sama kenyang atau sama-sama dapat bagian, maka tak boleh saling mengganggu''. Padahal, harus ada pejabat yang mau berdedikasi untuk mengabdi bagi terciptanya pemerintahan yang bersih. Dengan begitu, akan terarah pada profesionalisme dengan orientasi pelayanan anggaran untuk rakyat, bukan untuk pejabat karena pejabat sudah memperoleh fasilitas memadai dari negara. Tanpa dedikasi itu, sulit membongkar kebiasaan buruk yang merusak moralitas birokrasi dan politik selama ini. Apalagi, jika kita memercayai saja para siasat penyangkalan, padahal siapa pun tahu, sepanjang tak tertangkap tangan, ''tak akan pernah ada maling yang mengaku''. Mereka akan terus melawan, bahkan ''menuntut balik sang pengungkap'' dengan dalih pencemaran nama baik dan sejenisnya -kendati itu sebenarnya bisa jadi tak lebih sekadar bluffing untuk mengelabui masyarakat awam. Pemberantasan korupsi dan mafia anggaran oleh para pejabat dan lingkarannya di negeri ini, memang harus disadari, tak bisa dilakukan secara biasa-biasa saja. Tak bisa sekadar mengandalkan proses hukum formal dengan asas ''praduga tak bersalah'' serta lebih dahulu harus menunjukkan bukti-bukti otentik. Sebab, akan sangat sulit memperoleh bukti otentik cara-cara kotor yang dilakukan para pejabat politik dan birokrasi, apalagi mereka yang sudah berpengalaman terlibat dalam mafia anggaran atau proyek, termasuk tekan-menekan secara politik. Singkatnya, perlu ada semacam tangan besi yang berani bicara dan bertindak tegas untuk menyingkirkan pejabat yang instansinya sudah terindikasi korup atau memelihara mafia. Jika upaya ''pembersihan'' seperti itu hanya diteriakkan Dipo Alam dan Dahlan Iskan, tanpa ada komando dari pimpinan tertinggi negara ini, yakni Presiden SBY, pastilah hanya akan menimbulkan kegaduhan berkelanjutan. Ya, kita memang masih menunggu apa yang akan dilakukan Presiden SBY dalam merespons informasi dan data dari dua pembantunya tersebut. Atau, hanya akan berkata, ''Jadikan itu sebagai introspeksi dan pelajaran berharga, sekaligus hentikan membuat kegaduhan.'' Bila itu terjadi, praktik korupsi dan mafia anggaran oleh pejabat politik (bawahannya sekalipun) akan terus berlanjut. Maklum, SBY juga tahu, menghadapi tahun politik 2013 dan 2014, masing-masing pejabat dan parpol butuh banyak dana. ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar