|
Pahlawan
Pangan, Sebuah Konstruksi
Fransiscus Welirang ; Pelaku Usaha dan Pemerhati Masalah
Sosial
|
KOMPAS,
10 November 2012
|
Analis politik, Sukardi
Rinakit, pernah bertanya kepada saya, ”Siapakah yang bisa disebut sebagai
pahlawan pangan? Bidang lain ada pahlawannya, sektor pangan, kok, tidak ada?”
Bagi
penulis, pahlawan pangan tentu bukan orang-orang yang melempari batu dan
merusak usaha waralaba internasional. Sekalipun mereka mengklaim melakukan
tindakan itu karena merasa dijajah oleh masuknya bisnis tersebut ke Tanah
Air. Bisnis itu juga dituduh telah membunuh makanan tradisional kita yang
hampir serupa.
Akan
tetapi, seiring dengan bergesernya waktu dan lokus persoalan, pengertian
pahlawan saat ini bukan lagi terbatas pada sosok yang berjuang untuk mengusir
penjajah seperti yang dilakukan tokoh-tokoh pergerakan era revolusi
bersenjata. Dalam konteks pangan juga adalah para aktor yang menjamin
ketersediaan pangan dan mengolah pangan itu sehingga pancaindra kita seperti
mata, hidung, dan lidah, ikut ”makan”. Makanan disajikan secara sempurna.
Tegasnya,
pahlawan pangan adalah para petani yang selama hidupnya bergumul di
agribisnis dan pelaku usaha yang bergerak di proses (industri) pangan. Tanpa
mereka, entah bagaimana perikehidupan kita. Mungkin budaya kita jika tidak
boleh disebut peradaban, tidak akan pernah tegak dan sarat konflik.
Jika
dicermati, hampir seluruh perhatian politisi, aktivis, dan para pembuat
keputusan selama ini tertumpah pada produsen pangan, yaitu petani. Mulai dari
urusan penyempitan lahan pertanian, harga gabah, pupuk, benih, infrastruktur,
pestisida (untuk sekadar menyebut beberapa contoh), selalu menjadi
pembicaraan di kalangan mereka. Oleh sebab itu, dalam tataran citra, petani
boleh disebut sebagai pahlawan pangan yang diperhatikan. Akan tetapi,
ironisnya, mereka tertinggal.
Petani
sebagai ”pahlawan yang diperhatikan tetapi tertinggal” tersebut selalu
menjadi bahan diskusi daripada implementasi program aksi. Akibatnya,
perikehidupan mereka tidak pernah menjadi lebih baik. Menurut pendapat saya,
hal itu karena—salah satunya—oleh ketidakpahaman para pembuat keputusan pada
sejarah kampung (budaya) yang hidup di kalangan petani.
Peraturan
yang dikeluarkan pemerintah dan cara kerja bank, misalnya, sejauh ini tidak
pernah bersandar pada budaya petani yang lekat dengan sesuatu yang konkret
dan bersifat komunal serta berkonteks kepercayaan. Tidak mengherankan jika di
antara posisi pemerintah dan petani ada ruang kosong.
Ruang
ini umumnya diisi oleh para pengepul/tengkulak, yang secara kultural mampu
mengeksploitasi petani dan menawarkan sesuatu yang konkret langsung di depan
mata mereka, yaitu uang. Sementara petugas bank biasanya hanya membawa
formulir transfer uang atau persyaratan kredit yang harus diisi.
Berbeda
dengan petani yang bergelar ”pahlawan pangan yang diperhatikan, tetapi
tertinggal”, para aktor di bagian proses—yaitu pelaku usaha dari usaha rumah
tangga, katering, kedai nasi, warung tegal, restoran padang usaha kecil,
menengah, sampai industri makanan—boleh disebut ”pahlawan pangan yang tidak
diperhatikan”. Para pengambil keputusan hampir tidak pernah menyentuh mereka.
Padahal,
mereka ini adalah jejaring penentu agar makanan sampai di mulut konsumen.
Mereka juga harus menafsirkan terus-menerus pergerakan selera dan budaya baru
konsumen.
Sejauh
ini, saya belum pernah mendengar ada program aksi pemerintah untuk, misalnya,
mendidik para pedagang warung tegal agar makanan yang mereka masak dan jual
bersih, penampilannya mengundang selera, dan rasanya enak. Jika melihatnya,
seakan-akan seluruh pancaindra kita juga ikut makan. Juga belum pernah
terdengar kabar, usaha rumah tangga, seperti lemper dan arem-arem,
mendapatkan bimbingan kulinerologi sehingga penampilan lemper dan arem- arem
akan indah seperti sushi dan rasanya pun enak menjemput selera konsumen.
Semua
aktor di sisi proses ini memang tidak mendapatkan perhatian dari para
pengambil keputusan. Akibatnya, para ”pahlawan pangan”—utamanya dari usaha
rumah tangga, katering, kedai nasi, warung tegal, restoran padang beserta
industri kecil dan menengah—bisa mati karena tertinggal oleh selera konsumen
yang melompat. Dengan komposisi penduduk rata-rata berusia muda (27,5 tahun)
dan kompleksitas informasi yang mereka serap, perubahan budaya makan tak bisa
dihindari. Ini sesuai dengan adagium bahwa konsumen adalah driver perubahan.
Miskinnya
perhatian elite politik dan perguruan tinggi serta teknolog pangan, otomatis
berimplikasi pada ketidakmampuan para pelaku usaha makanan untuk bersaing
dengan waralaba internasional, yang mampu menafsirkan perubahan selera
konsumen berusia muda. Kelompok usia ini inginnya mengonsumsi produk kualitas
premium, dengan rasa, bau, warna, kecepatan penyajian, dan kemasan prima.
Pendeknya, bukan waralaba asing itu yang sesungguhnya menjajah kita, tetapi
kita yang gagal menangkap perubahan selera bangsa sendiri.
Dengan
konstruksi kedua pahlawan pangan yang seperti itu (petani yang diperhatikan
tetapi tertinggal dan pelaku usaha yang tidak diperhatikan), diperlukan suatu
intervening variable. Dalam hal ini, ia adalah pemerintah yang berperan
sebagai suporter dan katalisator. Dengan demikian, terjadi penguatan dan
kerja
Untuk
bisa memainkan peran itu, pemerintah harus memahami perubahan budaya makan
masyarakat. Tanpa itu, suara- suara kritis yang mengatakan bahwa makanan
asing telah menggeser makanan kita akan semakin menebar. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar