Legislator
Tidak Pantas Menghakimi
I Wayan Dendra ; Anggota
DPRD Sidoardjo
|
JAWA
POS, 16 November 2012
PERTEMUAN Menteri BUMN
Dahlan Iskan dengan Komisi VII DPR Selasa lalu (13/11) berlangsung ramai.
Jutaan masyarakat Indonesia menyaksikan dan menilai melalui media. Ada yang
menilai negatif, ada pula yang menilai positif. Namun, saya meyakini, penilaian
positif tetap berpihak kepada Dahlan Iskan.
Saya selaku anggota legislatif kabupaten merasa malu ketika menyaksikannya. Saya sesama legislator dengan mereka. Namun, hati nurani berkata lain. Sangat terlihat teman-teman kurang mampu mengontrol emosi. Dengan demikian, fungsi DPR yang seharusnya mengawasi berubah menjadi menghakimi. Dahlan yang kala itu mengenakan kemeja putih datang dengan santun. Penjelasan yang dipaparkan, menurut saya, jelas bahwa di PLN memang terjadi inefisiensi. Bahkan, dia mengaku nilai inefisiensi lebih dari Rp 37 triliun. Secara logika, pengakuan Dahlan itu bukti dia berani bertanggung jawab. Sebaliknya, jika Dahlan mengambil keuntungan atas inefisiensi, dia pasti banyak berkilah. Saya memahami bahwa inefisiensi yang terjadi di PLN merupakan keputusan bersama. Artinya, keputusan PLN beralih menggunakan solar bukan keputusan perorangan, tetapi lewat rapat direksi. Artinya pula, bukan tanggung jawab Dahlan secara pribadi, melainkan PLN secara kelembagaan. Dahlan dalam paparannya sudah menegaskan bahwa inefisiensi dilakukan karena ketersediaan gas menurun. Langkah menggunakan solar ditempuh untuk mempertahankan agar listrik terus menyala. Artinya, "pemborosan'' yang dilakukan PLN kala itu bertujuan untuk kepentingan umum. Bukan kepentingan pribadi. Jelas sekali tidak bisa dikaitkan dengan pasal korupsi. Definisi korupsi adalah memperkaya diri sendiri secara melawan hukum dengan menggunakan jabatan atau kewenangannya. Lalu, apakah inefisiensi PLN memperkaya Dahlan Iskan? Dari pemahaman itu, saya malu atas tindakan teman-teman di komisi VII. Jika memang dianggap salah, pemborosan itu tetap saja tidak bisa dianggap melanggar hukum. Sebab, keputusan itu dibuat untuk kepentingan umum. Ada istilah diskresi dalam ilmu hukum. Maksudnya, satu tindakan yang tidak sesuai aturan bisa dibenarkan jika menyangkut kepentingan umum. Ibaratnya, dua manusia berada di tengah laut. Di sana hanya ada satu pelampung. Untuk menyelamatkan diri, dua orang itu harus bertarung. Salah satu di antara mereka harus mati. Ketika muncul pemenang, dia tidak bisa ditahan begitu saja. Sebab, tindakannya termasuk penyelamatan diri. Mempertahankan agar listrik tetap tersedia dan terus menyala adalah bagian dari kepentingan umum. Artinya, secara hukum, meski salah, inefisiensi tersebut tetap tidak bisa ditarik ke ranah korupsi. Setahu saya, BPK juga sudah mengutarakan ini. Sayangnya, penjelasan ini seolah tidak dipedulikan. Karena itu, muncul pertanyaan yang bisa dinilai pedas terlontar ke Dahlan Iskan. Saya khawatir, pertanyaan-pertanyaan ini semakin memperburuk citra DPR. Perlu diingat, anggota DPR ada karena rakyat. Mereka mewakili rakyat. Apa yang diungkapkan seharusnya jelmaan dari pikiran rakyat. Tetapi, yang terjadi di lapangan tidak demikian. DPR mengungkapkan pernyataan yang kurang elegan. Misalnya, mengambil pemberitaan salah satu media yang menyatakan di meja Dahlan tidak ada tulisan Menneg BUMN. Ini menimbulkan sangkaan ada sikap tidak fair di DPR. Padahal, tidak seluruh legislator demikian. Langkah itu, menurut saya, kurang tepat. Saya yakin, penilaian akan berbeda jika Dahlan diperlakukan sebaik-baiknya di dalam forum. Gaya bertanyanya elegan. Nada bicara juga tidak menyakitkan. Simpati masyarakat pasti berdatangan. Secara komunikasi, hal itu akan memperbaiki citra DPR secara perlahan. Berbeda halnya ketika suasana yang saya lihat di media. Semua pertanyaan yang ditujukan ke Dahlan terlihat jelas memperlakukannya seolah tersangka. Padahal, itu bukan fungsi DPR. Lembaga ini bukan hakim yang bisa menjustifikasi seseorang salah atau benar. Juga bukan lembaga yang bisa mecari-cari kesalahan orang lain. Dahlan memang terdiam di forum itu. Sikap pahlawan sejati. Kalau saja dia mau, membalikkan keadaan di forum itu sangat mudah. Sebab, emosi teman-teman di DPR mudah terpancing. Hanya saja, Dahlan masih menghormati dan membanggakan kelembagaan yang diipilih melalui pemilu itu. Wajar empati dari masyarakat justru tertuju ke Dahlan. Padahal, seharusnya, DPR juga bisa ndhompleng untuk mendapatkan empati itu. Pekan depan, pertemuan yang membahas kasus sama diadakan kembali. Jangan sampai peristiwa Selasa lalu (13/11) terulang. Preseden buruk semakin kental. Masyarakat semakin tidak percaya kepada DPR. Idealnya, beri kesempatan kepada Dahlan bicara secara detail. Bertanyalah sesuatu yang memang tidak dipahami. Posisi Dahlan hanya mantan Dirut PLN. Sebaliknya, DPR hanya kelembagaan wakil rakyat yang butuh informasi mengapa inefisiensi itu terjadi. Tidak lebih dari itu. Dahlan bukan tersangka sehingga tidak pantas dicerca pertanyaan yang menyudutkan. Begitu juga DPR bukanlah lembaga hukum yang bisa menghakimi siapa pun. Sebab, bila mau berkaca, tidak sedikit legislator baik di daerah maupun pusat terlibat kasus korupsi. Wajib malu teman-teman di komisi VII jika memborbardir Dahlan seperti "membantai". Anggota dewan bukan pembantai berkerah putih. Di sisi lain, Dahlan tidak perlu terpancing. Akan lebih baik bila dijelaskan detail inefisiensi itu dengan penuh kesabaran. Dengan begitu, masyarakat menilai bahwa seburuk-buruknya citra DPR, masih ada kebaikan yang bisa dibanggakan. ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar