Kaum Muda Masa
Depan Bangsa
Emha Ainun Nadjib ; Budayawan
|
KOMPAS,
17 November 2012
Bangsa Indonesia memiliki
”alam takdir”, watak khas kemanusiaan dan kekayaan budaya yang sangat
menggiurkan untuk membangun peradaban penerang dunia masa depan.
Indonesia
adalah rujukan utama untuk ”membangun demokrasi di negeri mayoritas Muslim”.
Di antara enam nomine, Indonesia di posisi utama, Iran dan Turki urutan terbawah.
Sayang,
bangsa Indonesia seperti dikubur kenyataan sejarah masa silamnya sehingga
penduduk Bumi hanya mengenal Yunani Kuno, Mesir Kuno, Mesopotamia, atau Inka
Maya.
Manusia
Nusantara adalah hibrida dari ekstrem densitas positif dengan ekstrem
densitas negatif. Karena itu, manusia Nusantara memiliki kenekatan hidup
melebihi bangsa mana pun di muka bumi: Berani merundingkan rencana korupsi
bahkan ketika air wudu belum kering, dengan cara yang keterlaluan. ”Tolong 10
persen dikasih para kiai, 10 persen dihibahkan ke pesantren. Jelasnya nanti
kita tahlilan di Hotel X tanggal sekian jam sekian….”
Yang
dimaksud para kiai adalah anggota DPR tertentu, terkait proyek yang akan
disunat. Pesantren adalah pejabat kementerian jalur proyek itu. Tahlilan
maksudnya pertemuan. Idiom apel malang, apel washington kini beralih jadi
”islami”.
Bangsa
Indonesia berani kawin tanpa punya pekerjaan. Berani kredit sepeda motor
ketika utang masih bertumpuk. Berani naik menara tinggi pakai sandal jepit
sambil merokok tanpa tali pengaman. Berani berdesakan di atap kereta api
tanpa berpegangan.
Kalau
tertangkap korupsi langsung pakai peci, kerudung, bahkan jilbab. Begitu duduk
di kursi pengadilan, menenteng tasbih di jari-jemarinya.
Bangsa
yang tidak kunjung hancur oleh krisis ekonomi, tetapi menang kontes tertawa
sedunia. Industri kuliner melonjak, dengan kampung dan jalanan tetap
memancarkan kehangatan.
Tentu
ada juga contoh ketangguhan manusia Nusantara. Namun, cerita ketangguhan mungkin
merupakan bagian untuk menghibur diri dari kebrengsekan kehidupan bernegara
yang tak kunjung usai. Bangsa Nusantara adalah garuda jinak berkekuatan
emprit: bisa dijajah ratusan tahun oleh beberapa peleton satpam perusahaan
Belanda.
Ada
yang mencoba berpikir kontekstual: Ayam tak mungkin melakukan pekerjaan
burung, tetapi burung juga jangan melakukan kebangkitan ayam. Kalau bangsa
Indonesia adalah garuda, kebangkitannya harus bervisi garuda. Kalau bangsa
Indonesia tidak tahu siapa dirinya, bagaimana mungkin mendesain
kebangkitannya?
Namun,
ada juga yang berpikir universal dan esensial: Terserah siapa kita dan siapa
nenek moyang kita, pokoknya hari ini kembangkan potensi dengan kerja keras
dan ketekunan.
Bangunan
NKRI disangga oleh lima pilar. Pilar pertama, yang utama dan berada di tengah
bangunan, adalah rakyat.
Pilar
kedua: kaum intelektual. Untuk konteks negara modern disebut kelas menengah.
Wilayah perannya: legislatif, eksekutif, yudikatif, dan pers.
Pilar
ketiga, tentara rakyat. Sekarang TNI dan Polri. Pilar keempat, keraton dan
kekuatan kebudayaan. Pilar kelima, institusi agama dan spiritualisme.
Pada
era awal kemerdekaan hingga menjelang akhir 1950-an, terdapat keseimbangan
lumayan di antara lima pilar itu. Kemudian mengerucut ke ”Aku Soekarno”.
Lantas pada 1965 dijebol oleh strategi ”anak petani” Soeharto yang kemudian
mendayagunakan pilar ketiga, dengan membonekakan pilar kedua dan mengebiri
pilar-pilar lainnya.
Soeharto,
sesudah ia menggeser landasan kekuatan dari ”merah putih” ke hijau, dari ABRI
merah putih ke ABRI hijau, dari merah putih Golkar ke embrio politik hijau
melalui pesemaian ICMI. Namun, kekuasaan global punya ”pasal”: Indonesia
silakan maju perekonomiannya, bahkan boleh berkibar tri-sakti (politik,
ekonomi dan kebudayaan)-nya, asal jangan ”pakai peci”.
Karena
pergeseran warna Soeharto dari merah putih ke hijau, dari Soeharto abangan ke
Haji Muhammad Soeharto, dari ”Islam Jawa” ke ”Jawa Islam”, ditambah sejumlah
variabel lain, maka reformasi direkayasa untuk menjatuhkannya. Mahasiswa dan
kelas menengah intelektual di- casting
jadi pahlawan yang mampu menggulingkan Soeharto.
Soeharto
lengser. Ia hidup tenang, menyiram kembang di Cendana dan tidak minta suaka
ke luar negeri, tidak di demo di RT-RW-nya. Mungkin perih hatinya melihat
anak-anaknya, tetapi Soeharto benar-benar ora patheken selama tidak menjadi
presiden di sisa hidupnya.
Ia
tahu tak akan pernah diadili. Hanya dikutuk, dibenci, dan dirasani. Sebab,
kebanyakan orang Indonesia ingin menjadi dia, ingin menggantikan dan
memperoleh laba, keenakan dan kenikmatan yang ia peroleh 32 tahun. Maka, ia
tidak lari ke mana-mana. Ia tenang sembahyang, secara resmi mengangkat
seorang imam untuk memandunya berwirid khusnul khatimah.
Akhirnya
ia dipanggil Tuhan, meninggalkan rakyat Indonesia yang makin kebingungan
menentukan Soekarno itu baik atau buruk, Soeharto itu benar atau salah.
Sebenarnya mana rujukan masa depan kita: Orde Lama, Orde Baru, ataukah
Reformasi. Bahkan, para penganut substansialisme hampir pecah kepalanya
karena tak bisa menjawab SBY ini beneran presiden atau presiden-presidenan.
Cari
Untung
Kita
bangsa Indonesia tidak mau disiksa terus-menerus oleh kebingungan sehingga
yang penting sekarang di tempat masing-masing kita sibuk ”cari untung”. Kita
manusia Indonesia memfokuskan diri pada tema- tema kecil, sekunder, dan
parsial. Karena yang besar-besar hampir mustahil diidentifikasi dan
dielaborasi.
Akan
tetapi, kita jangan mati dengan melepas anak-anak kita buta tak tahu belakang
dan tak mengerti depan. Sebenarnya saya gembira dan optimistis hampir di
beberapa wilayah saya berjumpa dengan ribuan anak-anak muda yang berjuang
menyembuhkan kebutaan hidupnya.
Penduduk
Indonesia sekarang rata-rata berusia 27,5 tahun. Yang saya jumpai sejauh saya
berkeliling ke pelosok sejak hari kedua Soeharto jatuh adalah para pemuda
usia tersebut dengan sorot mata aneh. Aneh karena muatan orisinalitasnya.
Mereka tidak hancur oleh ketidakmenentuan negaranya. Mereka tidak semena-mena
bisa dicuci otak dan mentalnya oleh industri disinformasi dan peradaban
hiburan kekonyolan. Anak-anak muda Nusantara sedang mempersiapkan
kebangkitannya.
Ada
gerakan 1 juta petani
Sejarah
hari esok Indonesia tidak bisa mengelak dari pemikiran-pemikiran baru kaum
muda untuk mentransformasikan ketatanegaraan NKRI dan men- saleh-kan
konstitusi dan hukumnya. ”Saleh” adalah kebaikan yang dihitung dan
disimulasikan sedemikian rupa sampai manfaatnya maksimal dan mudaratnya
minimal. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar