Karakter SDM
dan Upah Ideal
Bayu
Kariastanto ; Alumni STAN, Bekerja
di Kementerian Keuangan
|
REPUBLIKA,
20 November 2012
Unjuk rasa buruh akhir-akhir ini kian marak, terlebih menjelang
akhir tahun saat dilakukannya proses penyusunan dan penetapan upah minimum.
Data Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi menyebutkan terjadi unjuk
rasa/pemogokan buruh pada 2011 sebanyak 303 kali, jauh meningkat dibandingkan
unjuk rasa buruh pada 2010 yang hanya 83 kali. Mayoritas unjuk rasa buruh
menuntut upah.
Model ekonomi standar memprediksikan kenaikan upah minimum tanpa
disertai kenaikan produktivitas pekerja akan menyebabkan kenaikan jumlah
pengangguran. Jika seorang pekerja memiliki produktivitas yang lebih rendah
dari upah minimum yang ditetapkan maka pekerja tersebut tidak akan
mendapatkan pekerjaan di pasar tenaga kerja.
Studi empiris menunjukkan hasil yang berbeda. Sebagian mendukung
prediksi model standar dan sebagian kontra. Yang harus digarisbawahi dari
penelitian- penelitian itu adalah dalam kondisi riil perekonomian, akan
sangat sulit untuk mengisolasi pengaruh variabel-variabel lain yang secara
bersamaan memengaruhi tingkat pengangguran untuk mengetahui efek bersih dari
kenaikan upah minimum.
Meski pengaruh penetapan upah minimum terhadap jumlah
pengangguran belum jelas, terdapat konsensus dari penelitian-penelitian itu.
Yakni, penetapan upah minimum yang terlalu tinggi akan meningkatkan jumlah
pekerja informal dan juga meningkatkan jumlah pengangguran di kalangan anak
muda. Persoalan pokok sebenarnya bukan terletak pada perlu atau tidaknya
penetapan upah minimum, melainkan bagaimana menetapkannya.
Rutkowski (2003) berpendapat bahwa upah minimum yang ideal harus
ditetapkan berdasarkan rata-rata upah pekerja pada suatu wilayah yang
mencerminkan rata-rata produktivitas pekerja di wilayah itu. Rutkowski juga
berpendapat, upah minimum yang ideal adalah 30-50 persen upah rata-rata ter-
sebut.
Bagaimana dengan kondisi ketenagakerjaan di Indonesia? Sektor
informal masih menjadi penyerap terbesar tenaga kerja, yakni mencapai 78
persen dari total pekerja (OECD, 2009). Jumlah pekerja yang bekerja di sektor
informal ini sangat tinggi dibandingkan negara-negara yang sebanding, seperti
Meksiko yang hanya 36 persen dan Rusia yang hanya sekitar 10 persen.
Karakter kedua dari ketenagakerjaan di Indonesia adalah
pengangguran didominasi oleh kalangan anak muda. Data BPS menunjukkan
bahwa 53 persen pengangguran berusia di bawah 25 tahun dan mayoritas penganggur
ini adalah pengangguran terdidik karena 74,5 persen berpendidikan SMA atau
lebih tinggi.
Mencermati dua karakter ketenagakerjaan di Indonesia tersebut, sebaiknya penetapan upah minimum di Indonesia harusnya tidaklah terlalu tinggi untuk menaikkan penyerapan pekerja di sektor formal sekaligus mengurangi pengangguran di kalangan anak muda. Mengikuti pendapat Rutkowski, sebaiknya upah minimum ditetapkan 30 persen dari pendapatan rata-rata buruh di setiap provinsi/kabupaten.
Sayangnya, penetapan upah minimum di Indonesia tidak dikaitkan
dengan upah rata-rata buruh atau rata-rata produktivitas pekerja. Menurut Undang-Undang
13/2003 tentang Ketenagakerjaan, upah minimum ditetapkan di setiap daerah
oleh gubernur berdasarkan kebutuhan hidup layak (KHL) yang komponennya
ditetapkan oleh menteri Ketenagakerjaan. Perhi- tungan KHL dilakukan melalui
survei yang dilakukan oleh Dewan Pengupahan di tingkat kabupaten/kota.
Penetapan upah minimum berdasarkan KHL yang disusun melalui mekanisme tripartit seperti ini selain dapat memicu terjadinya konflik horizontal yang sangat membahayakan, juga dapat merugikan perekonomian nasional. Penetapan upah minimum berdasarkan KHL merupakan kebijakan pro-cyclical yang dapat mem perdalam efek kri sis ekonomi yang mungkin melanda Indonesia pada masa depan. Pro-cyclicality upah minimum dapat dijelaskan sebagai berikut. Saat terjadi krisis ekonomi, tingkat inflasi akan tinggi sehingga KHL dan upah minimum akan naik yang pada gilirannya mendorong inflasi lebih tinggi. Sedangkan, untuk keluar dari krisis ekonomi, syarat mutlaknya adalah seluruh perusahaan harus melakukan efisiensi yang salah satunya melalui pengurangan biaya produksi. Sebaliknya, saat kondisi perekonomian membaik, pertumbuhan produktivitas buruh, tinggi tetapi tingkat inflasi terkendali sehingga KHL dan upah minimum tumbuh terbatas yang seharusnya dapat tumbuh lebih tinggi sesuai peningkatan produktivitas.
Menurut hemat kami, sudah saatnya mekanisme penetapan upah
minimum diubah. Namun, disayangkan perubahan tersebut harus melalui perubahan
Undang-Undang Ketenagakerjaan. Penelitian empiris di Indonesia menunjukkan,
penetapan upah minimum yang tinggi sebenarnya merugikan pekerja sendiri
karena secara langsung menciptakan PHK dan mengurangi daya serap sektor
formal.
Rama (1996) meneliti kenaikan upah minimum pada awal 90-an yang
secara nominal mencapai tiga kali lipat atau dua kali lipat secara riil.
Kenaikan tersebut ternyata hanya mampu menaikkan rata-rata upah hanya sebesar
10 persen yang diikuti dengan berkurangnya pekerja di sektor formal sebesar
dua persen dan turunnya investasi sebesar lima persen. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar