Jumat, 16 November 2012

Hijrah dalam Semangat Kebangsaan


Hijrah dalam Semangat Kebangsaan
Hasibullah Satrawi ;  Alumni Al-Azhar, Kairo, Mesir   
SINDO, 16 November 2012


Hijrah Nabi Muhammad SAW dari Mekkah ke Madinah menjadi tonggak baru bagi kehidupan umat manusia. Di Madinah ini Nabi membangun cikal-bakal peradaban modern yang mengedepankan kebersamaan ketimbang peperangan, menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan, dan mengutamakan semangat kebangsaan ketimbang semangat kesukuan maupun kekabilahan.

Hijrah Nabi Muhammad SAW dari Mekkah ke Madinah menjadi tonggak baru bagi kehidupan umat manusia. Di Madinah ini Nabi membangun cikal-bakal peradaban modern yang mengedepankan kebersamaan ketimbang peperangan, menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan, dan mengutamakan semangat kebangsaan ketimbang semangat kesukuan maupun kekabilahan.

Dalam salah satu buku berjudul Kehidupan Muhammad, tokoh kenamaan berkebangsaan Mesir, Muhammad Husain Haikal, melansir data-data penting terkait dengan agenda prioritas Nabi di Madinah untuk menciptakan kehidupan umat manusia yang bersifat modern dan bersemangat kebangsaan. Pertama, menjamin kebebasan beragama dan berkeyakinan bagi segenap penduduk Madinah, baik kalangan mayoritas, terlebih lagi kalangan minoritas.

Orang-orang Yahudi dan Nasrani di Madinah mendapatkan jaminan kebebasan dari Nabi untuk menjalankan keyakinan mereka. Apa yang dilakukan oleh Nabi di atas bisa dimaknai sebagai pembelajaran dan tekat bulat untuk memutus rantai diskriminasi keberagamaan yang pernah dialami Nabi beserta para pengikutnya di Mekkah.

Kalangan paganis Mekkah sebagai kelompok mayoritas kerap melakukan tindakan- tindakan diskriminatif terhadap pengikut Nabi sebagai kelompok minoritas.Tak hanya diharamkan dari kebebasan berkeyakinan, pengikut Nabi di Mekkah bahkan kerap mendapatkan perlakuan anarkistis, penyiksaan, dan pemboikotan ekonomi dari kalangan mayoritas.

Hingga akhirnya Nabi memutuskan untuk hijrahdanmeninggalkanMekkah dengan segala macam bentuk otoritarianisme keagamaan yang ada.Kebebasan beragama dan berkeyakinan yang diteladankan Nabi di Madinah tak hanya bersifat simbolis dan karitatif. Inilah yang masih jauh “panggang dari api” dalam kehidupan keberagamaan di republik ini.

Kedua,mempererat tali persaudaraan nasional.Pengawasan ketat dan perilaku anarkistis yang kerap dilakukan oleh kalangan paganis Mekkah tak memungkinkan Nabi beserta pengikutnya membawa harta kekayaannya ke Madinah (dalam peristiwa hijrah). Sebaliknya, Nabi Muhammad beserta pengikutnya harus meninggalkan Mekkah secara sembunyi-sembunyi. Hanya sehelai kain yang menempel di badannya yang bisa dibawa ke Madinah sebagai sebuah kekayaan.

Kondisi ini membuat Nabi menjadikan persaudaraan nasional sebagai agenda prioritas di Madinah. Dalam bahasa Arab, persaudaraan nasional yang dilakukan Nabi di Madinah dikenal dengan istilah atta’akha (persaudaraan). Program ini mewajibkan penduduk Madinah untuk mengangkat mereka yang datang dari Mekkah sebagai “saudara asli”.

Hingga kedua kelompok masyarakat (Mekkah dan Madinah) yang baru bersatu (di Madinah) benar-benar menyatu dalam hak dan kewajiban layaknya saudara kandung. Program persaudaraan nasional yang digalakkan Nabi sejak tiba di Madinah berhasil menyatukan barisan masyarakat Madinah yang majemuk sebagai satu bangsa.

Masyarakat Madinah (baik muslim ataupun non-muslim) berkewajiban menjaga keamanan secara nasional dan menjaga Madinah dari ancaman pihak luar. Persaudaraan nasional inilah yang tak kunjung terwujud dalam kehidupan berbangsa dan bernegara di republik ini. Alih-alih persaudaraan nasional yang bersifat lintas suku, budaya dan agama,konflik masih senantiasa terjadi dalam kehidupan masyarakat yang berada dalam naungan satu komunitas agama, suku, dan lainnya.

Ketiga, membentuk konstitusi atau aturan bersama dalam kehidupan masyarakat majemuk di Madinah.Konstitusi masyarakat Madinah dikenal dengan istilah Piagam Madinah (Mitsaqul Madinah). Piagam ini merupakan kesepakatan antara pihak-pihak yang ada di Madinah dengan Nabi Muhammad sebagai pemimpin. Piagam Madinah mengatur hal-hal yang boleh dan yang tidak boleh dilakukan oleh masyarakat Madinah sebagai satu bangsa.

Bagi umat Islam, keberadaan Piagam Madinah sebagai rujukan bersama dalam “kehidupan bernegara” di Madinah menyimpan pesan penting terkait kehidupan berbangsa dan bernegara. Bahwa kehidupan berbangsa dan bernegara harus senantiasa merujuk dan mematuhi konstitusi yang ada sebagai konsensus bersama. Kepatuhan terhadap konstitusi tidak harus dipahami sebagai bentuk sikap menduakan kitab suci, apalagi Tuhan Pencipta.

Justru ini diperintahkan oleh Tuhan agar umat Islam mematuhi Allah, Rasul dan ulil amri yang menurut para ahli tafsir dimaknai sebagai negara.Alasan kepatuhan terhadap konstitusi bersifat fundamental mengingat konstitusi merupakan rujukan dalam kehidupan bernegara yang juga berkaitan dengan umatumat agama lain.

Adapun kitab suci adalah rujukan mutlak dalam konteks kehidupan internal satu umat beragama. Inilah yang masih menjadi persoalan serius dalam kehidupan berbangsa dan bernegara di republik ini. Beberapa pihak acap tidak memahami pentingnya mematuhi konstitusi yang ada. Sebagian yang lain justru mengabaikan konstitusi negara sebagai bentuk pembulatan ketundukan terhadap agama.

Bahkan tak jarang jalur kehidupan bernegara dan jalur kehidupan internal umat beragama diletakkan secara tumpang tindih dan disilangkan secara paradoksal. Tidak mengherankan jika kemudian ruang publik kehidupan bernegara kerap dipenuhi logika dan tindakan atas dasar norma agama tertentu. Sangat ironis karena hal ini tak jarang dilakukan justru oleh pejabat negara dan penegak hukum.

Hijrah mengajarkan pentingnya semangat kebangsaan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Sebagaimana hijrah juga mengajarkan pentingnya semangat keagamaan dalam kehidupan internal satu umat beragama. Semangat kebangsaan dan keagamaan samasama penting. Keduanya tak dapat dikonfrontasikan dengan logika harus memilih satu dari keduanya.Terlebih lagi sampai mengabaikan keduanya.

Dalam beberapa kesempatan penulis menganalogikan kepatuhan terhadap negara/konstitusi dan kepatuhan terhadap agama/Tuhan dengan kepatuhan seseorang terhadap bapak dan ibu.Keduanya bersifat mutlak dan tak bisa dipilah-pilah. Memilah-milah antara kepatuhan terhadap negara/konstitusi dan agama/Tuhan tak ubahnya memilah-milah antara kepatuhan terhadap bapak dan ibu.

Mempertentangkan antara dua kepatuhan di atas tak ubahnya seseorang yang mempertentangkan antara ketaatan kepada bapak dan ibunya.Hanya “anak” durhaka yang suka mengadu domba antara bapak dan ibunya, antara negara dan agamanya. Dalam Islam rida Allah hanya mungkin didapat bila seseorang mendapatkan ridaa dari kedua orang tuanya.

Dan Allah telah mewajibkan umat Islam agar mematuhi kedua orang tuanya (ridha allah fi ridhal walidayn), sebagaimana Allah juga memerintahkan agar umat Islam patuh kepada agama dan negaranya (athi’u allaha wa athi’u ar-rasula wa ulil amri minkum). Di Madinah dan berawal dari peristiwa hijrah, Nabi Muhammad SAW telah meneladankan bagaimana cara seseorang menjadi anak yang baik dalam konteks beragama dan bernegara.

Nabi tidak menjadikan konstitusi sebagai kitab suci, pun tidak menjadikan kitab suci sebagai konstitusi. Keduanya berjalan seiring menjadi dua pilar kokoh penegak kehidupan berbangsa dan beragama. Inilah semangat kebangsaan dalam peristiwa hijrah yang sangat dibutuhkan dalam keadaan seperti sekarang. Selamat menyambut dan merayakan Tahun Baru 1434 Hijriah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar