Sabtu, 03 November 2012

Guru Multifungsi Merawat RI


Guru Multifungsi Merawat RI
Ali Formen,  Dosen Fakultas Ilmu Pendidikan,
Koordinator Pembekalan SM-3T Universitas Negeri Semarang 2011-2012 
SUARA MERDEKA, 03 November 2012


TAK hanya mengajar di wilayah pengabdian, ribuan guru muda itu berperan secara multifungsi. Tidak hanya mencerdaskan anak bangsa, menyalakan asa yang nyaris sirna, sarjana pendidikan itu juga merekatkan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).

Genap setahun sudah program Sarjana Mendidik di Daerah Terdepan, Terluar, dan Tertinggal (SM-3T) berjalan. Sebanyak 2.500 sarjana pada awal November ini ditarik kembali ke lembaga pendidikan tenaga kependidikan (LPTK) yang mengirim mereka mengikuti Pendidikan Profesi Guru (PPG). Itu setelah dua pekan sebelumnya, 3.000-an peserta  angkatan II dikirim ke wilayah pengabdian.

Program tersebut merupakan bagian dari ’’Maju Bersama Mencerdaskan Indonesia’’. Dua belas  LPTK mendapat mandat melaksanakan seleksi, perekrutan, dan pembekalan. Di antara  lembaga itu adalah Universitas Negeri Semarang (Unnes), Universitas Negeri Yogyakarta (UNY), Universitas Negeri Surabaya (Unesa), Universitas Negeri Malang (UNM), Universitas Negeri Jakarta (UNJ), Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) Bandung, dan beberapa universitas negeri eks IKIP di luar Jawa. 

Program SM-3T merupakan bentuk pengakuan kesenjangan capaian pendidikan antara pusat dan pinggiran, mulai dari rendahnya tingkat partisipasi hingga besarnya angka mismatch guru di daerah. Ini diakui, misalnya oleh Direktur Pendidik dan Tenaga Kependidikan Kemendikbud Supriadi Rustad dalam wawancara dengan koran ini (13/10/11). 
Di tengah kritik masyarakat terhadap pemerintah yang acap dinilai lamban menangani masalah, SM-3T membuktikan pemerintah ’’mengakui’’ kesenjangan itu sekaligus memberikan respons menjanjikan. Program ini murni lahir dari konteks persoalan pendidikan tapi pada level makro kebijakan ini mengandung agenda strategis berkaitan dengan upaya merawat NKRI. 

Tentu tidak lantas bermakna dunia pendidikan selama ini abai terhadap persoalan keutuhan NKRI. Dunia pendidikan sudah menyediakan kurikulum plus buku pelajaran yang kurang lebih berisi pesan: NKRI harga mati. Itu saja tidaklah cukup. Banyak pendidik dan murid ingat soal NKRI hanya saat patok batas wilayah bergeser atau hilang, atau pada saat kekayaan budaya kita tiba-tiba diaku sebagai milik negeri tetangga. 

Sukar menerima respons yang telanjur tampak normal ini baik dalam bingkai HAM modern maupun kebudayaan. Dalam risalah klasik, The Teacher and The State, Kirkland (1903: 254) jauh-jauh hari mengingatkan, ’’Tak ada negara hebat yang kuasanya ditumpukan pada senjata semata’’. Selain itu, negeri ini punya warisan luhur tradisi dialog, urun rembuk, dan musyawarah mufakat yang mengakar kuat. 

Dengan penugasan ke daerah, guru muda yang tergabung dalam SM-3T secara langsung belajar tentang keragaman budaya masyarakat. Mereka belajar berdialog dengan masyarakat lokal, tidak saja dalam makna interpersonal tetapi juga terlibat langsung dalam dialog inter/ multikultural. Di sisi lain, masyarakat lokal memetik keuntungan pada sektor pendidikan atas kehadiran guru baru tersebut. 

Sejumlah Catatan

Lepas dari misi mulia, program SM-3T tetap memerlukan sejumlah catatan. Pertama; sindrom agen perubahan. Peserta program ini adalah sarjana belia. Sebagian di antara mereka mantan aktivis mahasiswa. Selama menjadi mahasiswa mereka direkognisi sebagai agen perubahan meskipun sesungguhnya ruang sosial untuk membuktikan posisi itu sangatlah minim. 

Jadi, bagi sebagian besar peserta, program ini merupakan kesempatan pertama membuktikan peran itu. Bila tidak diantisipasi dengan baik, hal ini dapat memicu sindrom yang kontraproduktif bagi pencapaian tujuan program. Dalam bahasa ekstrem, peserta misalnya bisa saja merasa diri laksana utusan Tuhan yang mendapat mandat menyelamatkan masyarakat sasaran. 

Kedua; keberlanjutan program. Kita harus memosisikan program ini sebagai emergency exit selama daerah sasaran belum dapat menyokong pemenuhan kebutuhan pendidikan, terutama di bidang tenaga kependidikan. Artinya, dukungan ketersediaan tenaga kependidikan berkualitas di daerah juga harus dilakukan secara simultan. Mengenai hal ini, Kemendikbud sudah memiliki skenario bahwa program SM-3T dilaksanakan sampai daerah sasaran mampu mencukupi kebutuhan tenaga kependidikan. 

Saat ini, sejumlah daerah telah mengirimkan mahasiswa belajar bidang kependidikan di sejumlah LPTK. Ketiga; dampak positif pendidikan dapat memicu masalah baru. Kesadaran adalah  dampak positif pendidikan tetapi bila tidak dikelola dengan baik berisiko memicu masalah baru. Sasaran program SM-3T sangat spesifik: daerah terdepan, terluar, tertinggal. Jujur kita harus mengakui, sebagian dari daerah tersebut tidak tersentuh kemajuan pembangunan. Kehadiran agen pendidikan muda ke tempat itu dapat dipahami secara ambigu: kepedulian di satu disi dan kesenjangan di sisi lain. 

Lepas dari persoalan ini, tentu semua pihak patut mengapresiasi prakarsa Kemendikbud. Tentu saja kita harus memberikan apresiasi tinggi kepada anak-anak muda yang memilih SM-3T sebagai alternatif mengekspresikan kemudaan dan cinta mereka kepada Ibu Pertiwi. Mereka inilah yang mungkin oleh Kirkland (1903: 256) dianggap sebagai ’’penyuara kebajikan silam dan penentu arah masa depan’’.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar