Rabu, 21 November 2012

Dahlan, DPR, dan Penerapan Kode Etiknya


Dahlan, DPR, dan Penerapan Kode Etiknya
Sabam Leo Batubara ;  Mantan Wakil Ketua Dewan Pers
KORAN TEMPO, 20 November 2012


Dalam pertemuan tertutup dengan Badan Kehormatan DPR, 5 November lalu, Menteri BUMN Dahlan Iskan menyampaikan nama dua anggota DPR yang diduga memeras BUMN. Lusanya Dahlan menyerahkan surat ke BK DPR berisi nama lima anggota DPR yang diduga memeras BUMN. Kemudian anggota BK merilis nama-nama terduga ke pers.
Apa reaksi DPR dan pendapat berbagai kalangan atas pengaduan tersebut? Setelah Dahlan menyampaikan tujuh nama tersebut, Ketua BK DPR M. Prakosa mengatakan tidak ada bukti-bukti konkret yang menunjukkan adanya pemerasan. Berdasarkan laporan dari BK DPR, Ketua DPR Marzuki Ali berpendapat tidak ada bukti dan data yang menunjukkan adanya tindakan pemerasan.
Menanggapi pengaduan Menteri BUMN itu, Wakil Ketua DPR Priyo Budisantoso kepada wartawan di Jakarta, 5 November lalu, mengatakan, jika Dahlan bijak, sebenarnya kasus pemerasan itu dilaporkan saja ke pimpinan fraksi atau ke KPK dan kepolisian.
Wakil Ketua Komisi VII dari Fraksi PDIP Effendi Simbolon menyatakan kegeramannya kepada Dahlan yang melempar isu soal upeti. Dahlan disebutnya kampungan. Kalau ada temuan seperti itu mestinya diajukan ke kepolisian atau KPK. Menurut Ketua DPP PKS/anggota Fraksi PKS DPR, Al Muzzammil Yusuf, Dahlan seharusnya melaporkan data tersebut ke aparat penegak hukum, terutama KPK. Berbeda dengan sikap tersebut, anggota DPR dari Partai Gerindra, Martin Hutabarat, mengapresiasi langkah Dahlan itu dan mengharapkan Dahlan menyebutkan semua nama yang diduga terlibat agar isu ini bisa ditindaklanjuti BK. 
Apa reaksi Sofyan Djalil atas benturan BUMN-DPR tersebut? Mantan Menteri BUMN itu mengatakan bahwa isu tentang pemerasan terhadap perusahaan negara telah ada dari dulu, tapi baru Dahlan yang berani mengemukakannya (Koran Tempo, 6 November 2012).
Badan Etik
Sepengetahuan saya, setelah membaca Peraturan DPR Nomor 1 Tahun 2011 tentang Kode Etik, BK DPR bukan lembaga penegak hukum, melainkan badan etik yang menegakkan kode etik DPR untuk menjaga kehormatan dan martabat 560 anggota Dewan.
Karena itu, menyikapi pengaduan Dahlan ke BK, seharusnya BK DPR memahami bahwa Dahlan tidak mengadu ke lembaga hukum KPK karena tujuannya bukan untuk mengkriminalkan DPR. Dahlan mengadu ke lembaga etik BK DPR karena tujuannya adalah agar standar keprofesionalan DPR berdasarkan Pasal 2 sampai 10 Kode Etik DPR ditaati, khususnya Pasal 3 Ayat 8: "Anggota DPR dilarang menggunakan jabatannya untuk mencari kemudahan dan keuntungan pribadi, keluarga, sanak famili, dan kelompoknya." Juga Pasal 4 Ayat 4, "Anggota DPR tidak diperkenankan melakukan hubungan dengan mitra kerjanya dengan maksud meminta atau menerima gratifikasi, atau hadiah untuk kepentingan atau keuntungan pribadi, keluarga dan/atau golongan."
Kenapa DPR justru kebakaran jenggot? BK DPR semestinya memanfaatkan pengaduan itu untuk mengingatkan anggota DPR lebih menaati standar keprofesionalannya. Ketaatan pada kode etik DPR akan memperkuat fungsi kontrolnya dan menghapuskan kecenderungan memperdagangkan fungsi anggaran dan legislasinya.
Dalam menyikapi pengaduan, sepertinya penanganan BK DPR, jika dibandingkan dengan bagaimana lembaga etik Dewan Pers menangani pengaduan masyarakat atas media, tercatat perbedaan. Ketua dan anggota Dewan Pers tidak mempublikasi penilaian apakah terdapat atau tidak ada pelanggaran kode etik jurnalistik (KEJ), sebelum penilaian akhir diterbitkan. Dewan Pers mengeluarkan putusan pernyataan penilaian setelah mendengar keterangan pengadu dan teradu, serta memberikan kesempatan kepada pengadu dan media teradu berdialog dengan difasilitasi Dewan Pers merujuk KEJ. Setelah itu, Dewan Pers secara resmi menerbitkan pernyataan penilaian dan memberikan rekomendasi sanksi, dan baru mempublikasikannya ke pers.
Penanganan DPR lain. BK DPR belum mendengarkan keterangan terduga dan perusahaan negara terkait, belum menggelar pertemuan tripartit antara terduga, perusahaan negara terkait dan BK, tapi Ketua BK dan Ketua DPR telah merilis penilaiannya bahwa tidak ada bukti pemerasan. Dahlan mengadu ke BK DPR dalam konteks kode etik DPR, malah anggota DPR menilai Dahlan sebagai kampungan karena tidak mengkriminalkan anggota Dewan terduga dengan mengadukannya ke KPK. Bahwa setelah mendengarkan keterangan semua pihak terkait, BK misalnya menilai tidak ada kode etik DPR yang dilanggar, adalah hak anggota Dewan menempuh jalur hukum.
Dari reaksi dan pendapat DPR yang disuarakan menyikapi pengaduan Dahlan, terkesan sebagian besar anggota DPR masih berparadigma right or wrong is my DPR, benar atau salah pokoke membenarkan DPR.
Berbeda dengan sikap komunitas pers dan Dewan Pers yang telah berparadigma right is right, wrong is wrong. Ketika tulisan tokoh pers Rosihan Anwar dimuat di salah satu surat kabar nasional dengan judul, 80% Wartawan Melakukan Pemerasan, tidak ada tokoh pers yang merasa pers dilecehkan. Justru informasi itu menjadi masukan bagi kalangan pers untuk semakin membenahi dirinya.
Ribuan media telah diadukan ke Dewan Pers. Karena fungsi Dewan Pers adalah melindungi kemerdekaan pers, sikapnya pun membenarkan dan membela pers yang taat KEJ, tapi menyalahkan pers yang melanggar KEJ. Sebagian besar media yang diadukan ke Dewan Pers justru dinilai Dewan Pers telah melanggar KEJ.
Kesimpulan
DPR telah memiliki kode etik yang sangat baik. Jika kode etik yang terdiri atas sembilan pasal dan 35 ayat tersebut pernah dibaca dan kemudian dipedomani, tentu saja 560 anggota DPR berhak disebut sebagai wakil rakyat yang terhormat. Namun, jika seseorang anak bangsa bernama Dahlan Iskan mengadu ke BK DPR dengan iktikad baik, lalu dimusuhi oleh kalangan DPR, bagaimana DPR bisa dinilai terhormat? Padahal, keterangan terduga dan perusahaan negara terkait belum didengar serta dialog antara pengadu, perusahaan negara terkait, dan anggota Dewan teradu belum digelar oleh BK?
Sebagai usul, patut dipertimbangkan agar 3 dari 11 anggota BP berasal dari pakar, misalnya Ichlasul Amal, Syafii Maarif, Saldi Isra, dan satu dari mereka menjadi ketua BK. Usul itu tentu saja harus ditolak jika DPR masih berparadigma right or wrong is DPR. Namun, jika DPR benar-benar merasa sebagai wakil rakyat, BK DPR semestinya didesain independen dalam menilai, fair, berintegritas, dan berparadigma right is right, wrong is wrong. Desain seperti itu pasti membantu DPR dapat efektif melaksanakan fungsi konstitusionalnya, yakni mengawasi penyelenggaraan negara, tapi juga mengawasi anggotanya agar dalam pelaksanaan fungsi legislasi dan anggaran tampil mengawasi, bukan memperdagangkan kewenangannya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar