Dahlan, DPR,
dan Penerapan Kode Etiknya
Sabam Leo Batubara ; Mantan Wakil Ketua Dewan Pers
|
KORAN
TEMPO, 20 November 2012
Dalam
pertemuan tertutup dengan Badan Kehormatan DPR, 5 November lalu, Menteri BUMN
Dahlan Iskan menyampaikan nama dua anggota DPR yang diduga memeras BUMN.
Lusanya Dahlan menyerahkan surat ke BK DPR berisi nama lima anggota DPR yang
diduga memeras BUMN. Kemudian anggota BK merilis nama-nama terduga ke pers.
Apa reaksi DPR
dan pendapat berbagai kalangan atas pengaduan tersebut? Setelah Dahlan
menyampaikan tujuh nama tersebut, Ketua BK DPR M. Prakosa mengatakan tidak
ada bukti-bukti konkret yang menunjukkan adanya pemerasan. Berdasarkan
laporan dari BK DPR, Ketua DPR Marzuki Ali berpendapat tidak ada bukti dan
data yang menunjukkan adanya tindakan pemerasan.
Menanggapi
pengaduan Menteri BUMN itu, Wakil Ketua DPR Priyo Budisantoso kepada wartawan
di Jakarta, 5 November lalu, mengatakan, jika Dahlan bijak, sebenarnya kasus
pemerasan itu dilaporkan saja ke pimpinan fraksi atau ke KPK dan kepolisian.
Wakil Ketua
Komisi VII dari Fraksi PDIP Effendi Simbolon menyatakan kegeramannya kepada
Dahlan yang melempar isu soal upeti. Dahlan disebutnya kampungan. Kalau ada
temuan seperti itu mestinya diajukan ke kepolisian atau KPK. Menurut Ketua
DPP PKS/anggota Fraksi PKS DPR, Al Muzzammil Yusuf, Dahlan seharusnya
melaporkan data tersebut ke aparat penegak hukum, terutama KPK. Berbeda
dengan sikap tersebut, anggota DPR dari Partai Gerindra, Martin Hutabarat,
mengapresiasi langkah Dahlan itu dan mengharapkan Dahlan menyebutkan semua
nama yang diduga terlibat agar isu ini bisa ditindaklanjuti BK.
Apa reaksi
Sofyan Djalil atas benturan BUMN-DPR tersebut? Mantan Menteri BUMN itu mengatakan
bahwa isu tentang pemerasan terhadap perusahaan negara telah ada dari dulu,
tapi baru Dahlan yang berani mengemukakannya (Koran Tempo, 6 November 2012).
Badan
Etik
Sepengetahuan
saya, setelah membaca Peraturan DPR Nomor 1 Tahun 2011 tentang Kode Etik, BK
DPR bukan lembaga penegak hukum, melainkan badan etik yang menegakkan kode
etik DPR untuk menjaga kehormatan dan martabat 560 anggota Dewan.
Karena itu,
menyikapi pengaduan Dahlan ke BK, seharusnya BK DPR memahami bahwa Dahlan
tidak mengadu ke lembaga hukum KPK karena tujuannya bukan untuk
mengkriminalkan DPR. Dahlan mengadu ke lembaga etik BK DPR karena tujuannya
adalah agar standar keprofesionalan DPR berdasarkan Pasal 2 sampai 10 Kode
Etik DPR ditaati, khususnya Pasal 3 Ayat 8: "Anggota DPR dilarang
menggunakan jabatannya untuk mencari kemudahan dan keuntungan pribadi,
keluarga, sanak famili, dan kelompoknya." Juga Pasal 4 Ayat 4,
"Anggota DPR tidak diperkenankan melakukan hubungan dengan mitra
kerjanya dengan maksud meminta atau menerima gratifikasi, atau hadiah untuk
kepentingan atau keuntungan pribadi, keluarga dan/atau golongan."
Kenapa DPR
justru kebakaran jenggot? BK DPR semestinya memanfaatkan pengaduan itu untuk
mengingatkan anggota DPR lebih menaati standar keprofesionalannya. Ketaatan
pada kode etik DPR akan memperkuat fungsi kontrolnya dan menghapuskan
kecenderungan memperdagangkan fungsi anggaran dan legislasinya.
Dalam
menyikapi pengaduan, sepertinya penanganan BK DPR, jika dibandingkan dengan
bagaimana lembaga etik Dewan Pers menangani pengaduan masyarakat atas media,
tercatat perbedaan. Ketua dan anggota Dewan Pers tidak mempublikasi penilaian
apakah terdapat atau tidak ada pelanggaran kode etik jurnalistik (KEJ),
sebelum penilaian akhir diterbitkan. Dewan Pers mengeluarkan putusan pernyataan
penilaian setelah mendengar keterangan pengadu dan teradu, serta memberikan
kesempatan kepada pengadu dan media teradu berdialog dengan difasilitasi
Dewan Pers merujuk KEJ. Setelah itu, Dewan Pers secara resmi menerbitkan
pernyataan penilaian dan memberikan rekomendasi sanksi, dan baru
mempublikasikannya ke pers.
Penanganan DPR
lain. BK DPR belum mendengarkan keterangan terduga dan perusahaan negara
terkait, belum menggelar pertemuan tripartit antara terduga, perusahaan
negara terkait dan BK, tapi Ketua BK dan Ketua DPR telah merilis penilaiannya
bahwa tidak ada bukti pemerasan. Dahlan mengadu ke BK DPR dalam konteks kode
etik DPR, malah anggota DPR menilai Dahlan sebagai kampungan karena tidak
mengkriminalkan anggota Dewan terduga dengan mengadukannya ke KPK. Bahwa
setelah mendengarkan keterangan semua pihak terkait, BK misalnya menilai
tidak ada kode etik DPR yang dilanggar, adalah hak anggota Dewan menempuh
jalur hukum.
Dari reaksi
dan pendapat DPR yang disuarakan menyikapi pengaduan Dahlan, terkesan sebagian
besar anggota DPR masih berparadigma right or wrong is my DPR, benar atau
salah pokoke membenarkan DPR.
Berbeda dengan
sikap komunitas pers dan Dewan Pers yang telah berparadigma right is right, wrong is wrong. Ketika
tulisan tokoh pers Rosihan Anwar dimuat di salah satu surat kabar nasional
dengan judul, 80% Wartawan Melakukan Pemerasan, tidak ada tokoh pers yang
merasa pers dilecehkan. Justru informasi itu menjadi masukan bagi kalangan
pers untuk semakin membenahi dirinya.
Ribuan media
telah diadukan ke Dewan Pers. Karena fungsi Dewan Pers adalah melindungi
kemerdekaan pers, sikapnya pun membenarkan dan membela pers yang taat KEJ,
tapi menyalahkan pers yang melanggar KEJ. Sebagian besar media yang diadukan
ke Dewan Pers justru dinilai Dewan Pers telah melanggar KEJ.
Kesimpulan
DPR telah
memiliki kode etik yang sangat baik. Jika kode etik yang terdiri atas
sembilan pasal dan 35 ayat tersebut pernah dibaca dan kemudian dipedomani,
tentu saja 560 anggota DPR berhak disebut sebagai wakil rakyat yang
terhormat. Namun, jika seseorang anak bangsa bernama Dahlan Iskan mengadu ke
BK DPR dengan iktikad baik, lalu dimusuhi oleh kalangan DPR, bagaimana DPR
bisa dinilai terhormat? Padahal, keterangan terduga dan perusahaan negara
terkait belum didengar serta dialog antara pengadu, perusahaan negara
terkait, dan anggota Dewan teradu belum digelar oleh BK?
Sebagai usul, patut
dipertimbangkan agar 3 dari 11 anggota BP berasal dari pakar, misalnya
Ichlasul Amal, Syafii Maarif, Saldi Isra, dan satu dari mereka menjadi ketua
BK. Usul itu tentu saja harus ditolak jika DPR masih berparadigma right or wrong is DPR. Namun, jika DPR
benar-benar merasa sebagai wakil rakyat, BK DPR semestinya didesain
independen dalam menilai, fair, berintegritas, dan berparadigma right is right, wrong is wrong. Desain
seperti itu pasti membantu DPR dapat efektif melaksanakan fungsi
konstitusionalnya, yakni mengawasi penyelenggaraan negara, tapi juga
mengawasi anggotanya agar dalam pelaksanaan fungsi legislasi dan anggaran
tampil mengawasi, bukan memperdagangkan kewenangannya. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar