Pendidikan Lintas Madzhab
Jusuf AN ; Pengajar di Fakultas Ilmu Tarbiyah
dan Keguruan (FITK)
Unsiq Wonosobo
|
SUARA
KARYA, 14 September 2012
Suatu ketika, Sultan Harun Ar-Rasyid meminta izin
kepada Imam Malik untuk menggantungkan Kitab Al-Muwaththa' di Ka'bah dan
memaksa agar seluruh umat Islam mengikuti isinya. Tapi, Imam Malik menjawab,
"Jangan engkau lakukan itu, karena para shahabat Rasulullah SAW saja
berselisih pendapat dalam masalah furu'
(cabang), apalagi (kini) mereka telah berpencar ke berbagai negeri."
Membaca kisah tersebut, kita bisa memetik
pelajaran yang sangat berharga berkaitan dengan masalah khilafiyah, perbedaan pendapat. Perbedaan merupakan keniscayaan
yang tidak bisa dihindari. Lebih-lebih, dalam masalah fiqih dan paham teologis.
Al-Qur'an dan Hadist sebagai landasan umat dalam berakidah membutuhkan
penafsiran.
Sedangkan penafsiran menggunakan suatu metode,
dan metode yang digunakan para ulama terkadang berbeda satu dengan yang
lainnya. Belum lagi, kalau kita berbicara masalah kondisi dan situasi (sosial,
budaya, politik) di mana hukum Islam tersebut ditetapkan, ayat-ayat Al-Qur'an
dan hadist apa yang dijadikan dasar. Sungguh, kian terang keyakinan kita akan
niscayanya sebuah perbedaan.
Khilafiyah
Disadari atau tidak, khilafiyah seringkali memicu perpecahan di kalangan umat Islam.
Sayangnya, mata pelajaran Agama Islam yang di dalamnya terdapat materi Aqidah
dan Fiqih seringkali hanya terpaku pada satu pendapat atau madzhab.
Siswa didik kadang hanya dijejali dengan
pendapat-pendapat dari madzhab yang dianut oleh sang guru. Aspek khilafiyah atau pengenalan akan
perbedaan madzhab dikesampingkan. Pendapat lain yang tidak sesuai dengan
madzhab yang dianut sang guru tidak dianggap ada dan karenanya tidak pernah
disampaikan kepada siswa.
Akibatnya, pembelajaran Agama Islam di sekolah
cenderung bersifat doktriner dan pragmatis, tanpa pengayaan pada aspek
keberagaman pandangan agama. Tidak heran, jika wawasan siswa didik menjadi sempit,
kaku, dan pada akhirnya sulit untuk menghargai perbedaan pendapat yang mereka
temui di luar pagar sekolah.
Islam memang sangat membenci perpecahan dan
perselisihan, tetapi juga sangat menghargai perbedaan. Rasulullah bahkan pernah
memerintahkan kepada sahabat yang sedang membaca Al-Qur'an agar menghentikan
bacaannya apabila bacaannya itu akan mengakibatkan perpecahan.
Konflik di Sampang Jawa Timur, belum lama ini,
yang konon dipicu oleh perbedaan faham Agama Islam bisa menjadi contoh di mana
toleransi intern sesama umat Islam di Indonesia masih lemah. Hal ini
disebabkan, antara lain oleh pemahaman agama yang sempit.
Sebenarnya perbedaan antara Sunni dan Syi'ah
tidak banyak dan tidak perlu untuk dibesar-besarkan. Ketua Ikatan Jamaah Ahlul Bait Indonesia (IJABI) Jalaluddin Rahmat pernah
menyatakan bahwa perbedaan Sunni dan Syi'ah hanya terletak pada hadits. Jika
hadits Sunni paling besar berasal dari sahabat nabi seperti Abu Hurairah, maka
hadits Syi'ah berasal dari Ahlul Bait (Keluarga Nabi Muhammad SAW). Tetapi,
karena pemahaman agama yang sempit, umat Islam cenderung mudah terprovokasi dan
pertikaian menjadi sulit dihindari.
Pada titik inilah, pendidikan Agama Islam yang
diajarkan di sekolah memiliki peran utama dalam membentuk sikap dan mental
sebuah bangsa. Sebab, bukankah mental dan sikap yang positif sangat ditentukan
oleh bagaimana pendidikan dijalankan? Dan, untuk membentuk sikap tersebut,
mula-mula yang mesti dijalankan adalah mengenalkan perbedaan itu sendiri.
Kita tentu tidak ingin apa yang penah
diterapkan Orde Baru (Orba) di mana realitas masyarakat dengan keragamannya
direpresi dan didekontruksi sesuai dengan arah kebijakan Orba. Pemerintah Orba
menganggap bahwa perbedaan memiliki potensi berbahaya yang akan menyebabkan
kesatuan bangsa menjadi chaos.
Pendidikan monokultur dengan mengabaikan pluralitas seperti itu, pada
kenyataannya disadari atau tidak, telah memasung pertumbuhan pribadi yang
kritis, kreatif, dan toleran.
Oleh karena itu, sudah saatnya lembaga
pendidikan berupaya membumikan pendidikan Agama Islam lintas madzhab atau
multikultural. Dengan pendidikan lintas madzhab diharapkan siswa didik lebih
paham akan keniscayaan perbedaan, sehingga konflik-konflik kekerasan atas nama
agama tidak kembali terulang.
Umat Islam harus bersatu, itu "ya", tetapi persatuan
tersebut bukanlah dengan cara menyatukan pendapat fiqih atau faham teologis. Melainkan, dengan berusaha sekuat
mungkin agar umat Islam bisa saling menghargai perbedaan di antara kalangan
setauhid, agar umat Islam bersatu padu dalam satu cita-cita, yakni menegakkan
ajaran moral yang berasaskan monoteisme dan keadilan sosial. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar