Selasa, 11 September 2012

Pembiaran Benih Teror


Pembiaran Benih Teror
Bambang Soesatyo ;  Anggota Komisi III DPR, Fraksi Partai Golkar
SUARA MERDEKA, 11 September 2012


PEMBIARAN terhadap benih-benih terorisme menjadi perjudian konyol bagi masa depan negara, dan kita telah menanggung akibatnya. Negara tidak boleh memberi toleransi sekecil apa pun terhadap benih terorisme. International Crisis Group mengklaim bahwa kekuatan kelompok-kelompok terorisme di Indonesia terus melemah setelah pengungkapan jaringan teroris pascaledakan bom Bali.

Sekalipun penilaian itu benar, negara dan rakyat tak boleh lengah. Sejumlah indikator tentang gerakan teroris di negara ini tetap harus diwaspadai. Fakta serta catatan terbaru yang tersaji di ruang publik akhir-akhir ini mewajibkan negara dan rakyat untuk tidak boleh menyepelekan bentuk ancaman itu.

Terlebih, baik Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) maupun pengamat sudah berulangkali mengindikasikan kemunculan jaringan atau kelompok baru yang ingin melancarkan aksi teror. Walaupun ada kelompok tertentu sering menilai informasi tersebut tidak akurat, masyarakat melihat pemerintah biasa-biasa saja menyikapi informasi penting itu.

Tidak mengherankan jika muncul anggapan pemerintah tidak tegas terhadap ancaman terorisme. Yang terlihat di permukaan hanya langkah atau aksi reaktif, berupa serangan balik pascaserangan terduga teroris. Serangan balik oleh Densus 88 Anti Teror pada pekan pertama September 2012 merupakan reaksi atas serangan tiga terduga teroris di Solo.

Ketiga terduga teroris melancarkan teror sejak paruh kedua Agustus 2012. Aksi mereka diwujudkan melalui penembakan pos pengamanan Serengan (Jumat, 17 Agustus) yang melukai dua polisi;  melempar granat ke pos pengamanan di Gladag (Sabtu, 18 Agustus); dan penembakan pos polisi Singosaren (Kamis, 30 Agustus) yang menewaskan Bripka Dwi Data Subekti.    

Akankah terus seperti itu upaya merespons eksistensi jaringan terorisme? Seandainya selalu reaktif seperti itu, pertanda negara dalam posisi lemah, dan warga tak berdosa tiap saat bisa menjadi korban. Apa jadinya jika bom rakitan meledak di rumah Muhammad Toriq, terduga teroris di Jalan Teratai VII Jembatan Lima Tambora, Jakarta Barat?  Sangat banyak warga yang terancam oleh kegiatannya.

Dilaporkan hingga saat ini ada 9 kelompok teroris yang berusaha menunjukkan eksistensi masing-masing. Kelompok itu membentuk jaringan, serta memiliki dana untuk membeli senjata, bahan peledak, dan membiayai kegiatan lain. Mereka juga telah menggelar latihan di sejumlah wilayah di Sulawesi. Wilayah Poso Sulawesi Tengah diduga sebagai basis.

Selain di Sulawesi Tengah,  jaringan teroris berlatih di Sulawesi Selatan dan Sulawesi Tenggara. Para anggota berasal dari sejumlah daerah. Peserta yang kembali ke daerah asal langsung membentuk sel-sel baru. Sebagai data atau informasi, gambaran tentang kelompok dan jaringan teroris tersebut harus diterjemahkan sebagai ancaman.

Tugas Kotor

Kalau seperti itu menerjemahkannya, bagaimana seharusnya negara dan pemerintah menyikapi dan merespons informasi tentang ancaman itu? Pemerintah yang harus paling tahu. Menurut pemahaman banyak orang, sebuah pemerintahan yang konsisten melindungi rakyat dan menjaga stabilitas nasional pasti akan langsung mengeliminasi ancaman tersebut, at all cost.

Beberapa fakta terbaru mengenai identitas terduga teroris menunjukkan bahwa mereka bukanlah orang lama melainkan anggota baru berusia belia. Dari fakta itu bisa dibuat kesimpulan bahwa proses perekrutan dan pelatihan calon pelaku teror terus berlangsung. Kalau fakta ini tidak direspons sebagaimana mestinya, berarti ada yang salah pada sistem hukum dan sistem pengendalian keamanan negara.

Fakta tentang terduga teroris jangan direduksi dengan faktor lain, seperti masalah keyakinan atau kepentingan sempit lain. Kalau bukti hukum menunjukkan bahwa yang bersangkutan adalah terduga teroris, dia harus diperlakukan sebagai terduga teroris, tanpa harus dikaitkan dengan keyakinan yang bersangkutan.

Kemunculan tindak kekerasan dan teror di berbagai daerah akhir-akhir ini setidak-tidaknya menimbulkan berbagai dugaan. Paling tidak, ada tiga kemungkinan terkait kinerja intelijen. Pertama; kinerja aparat intelijen telah merosot tajam dan tidak lagi bekerja profesional seperti masa Orba yang mampu mendeteksi secara dini tiap gerakan yang berpotensi mengganggu stabilitas nasional.

Kedua; aparat intelijen kita telah bekerja dengan benar dan profesional namun tiap laporan analisis dan perkiraan keadaan mereka tidak cepat ditindaklanjuti oleh jajaran lembaga yang berkompeten, bahkan masuk keranjang sampah.

Ketiga; operasi intelijen kita masih dipengaruhi oleh kepentingan politik kekuasaan yang tidak menjamin obyektivitas analisis dan profesionalisme. Tidak tertutup kemungkinan, justru diciptakan untuk melakukan tugas-tugas kotor kekuasaan. Dalam dunia intelijen modus itu biasa disebut dengan istilah black cell task force. Tugas mereka antara lain melakukan kontraintelijen terhadap lawan politik pemerintah atau pihak oposisi, pembusukan dan pengalihan isu manakala ada opini negatif yang mengancam kekuasaan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar