Integritas Hakim Tipikor Daerah
Jabir Alfaruqi ; Koordinator
KP2KKN Jawa Tengah 2007-2010,
Ketua PW Ansor
Jateng
|
SUARA
MERDEKA, 11 September 2012
"Hakim yang masuk neraka adalah yang tahu mana perkara yang benar
namun tidak memutus dengan pengetahuannya"
KETIKA Komisi Pemberantasan
Korupsi (KPK) membawa proses pengadilan kasus suap yang dilakukan pejabat kota
Semarang, yang juga melibatkan wali kota, ke pengadilan di Jakarta banyak pihak
melancarkan protes. Bukan hanya para terdakwa yang mengajukan keberatan
melainkan juga beberapa anggota Komisi III DPR, yang membidangi hukum pun
menemui Ketua PN Semarang dan mempertanyakan kenapa kasus di daerah harus
diadili di Jakarta?
Apa yang dilakukan oleh KPK itu
dianggap oleh anggota parlemen sebagai perbuatan yang merendahkan Pengadilan
Tipikor Semarang. KPK awalnya memang tidak menjelaskan secara rinci kenapa
harus disidangkan di Jakarta. Ini bukan berarti KPK tidak mememiliki dasar
hukum dan fakta kuat melainkan komisi antisuap itu ingin menyadarkan semua
pihak, termasuk anggota Komisi III DPR, bahwa yang dilakukan KPK itu benar dan
berdasar.
Penanganan kasus suap yang
melibatkan Wali Kota Semarang nonaktif Soemarmo HS belum lama dilakukan dan
belum hilang dari ingatan publik. Tiba-tiba masyarakat dikejutkan oleh berita
penangkapan hakim ad hoc Pengadilan
Tipikor Semarang Kartini Julianna Mandalena Marpaung dan hakim ad hoc
Pengadilan Tipikor Pontianak Heru Kusbandono pada peringatan hari kemerdekaan
17 Agustus lalu.
Kartini Marpaung adalah salah
satu hakim ad hoc Pengadilan Tipikor
Semarang bersama dengan dua hakim lain, yakni Lilik Nuraini dan Asmadinata,
yang kerap memvonis bebas beberapa kasus korupsi, yang secara hukum tak logis
diputus bebas. Tersangka lain dalam kasus sama divonis bersalah kenapa
tersangka yang lain diputus bebas. Keganjilan ini ternyata bukan hanya satu dua
kasus tetapi terjadi pada beberapa perkara.
Komisi antisuap sudah memiliki
data dan menganalisis semua putusan hakim yang kerap memvonis bebas para
koruptor. Sejak itu sebenarnya sudah ada yang menjadi target sasaran. Namun hal
ini tidak disampaikan kepada publik ketika ada yang ngotot untuk melaksanakan
pengadilan kasus korupsi yang melibatkan petinggi daerah, baik eksekutif maupun
legislatif, di Semarang.
KPK hanya ingin menyampaikan
pesan kepada pihak-pihak yang ngotot untuk mengadili pejabat daerah di Semarang
bahwa Pengadilan Tipikor di daerah, termasuk di Semarang, masih jauh dari
harapan. Integritas dan independensi para hakim masih rapuh sehingga mudah
diintervensi oleh petinggi yang terlibat korupsi.
Mencari orang yang cerdas dan
mampu memahami UU tidak terlalu sulit karena dunia pendidikan hukum kita bisa
menyiapkannya. Mencari orang yang memiliki pengalaman hukum atau penegakan
hukum juga tidak terlalu sulit. Yang sulit adalah mencari hakim yang
berintegritas dan mampu menjatuhkan vonis dengan penuh integritas.
Pada awal pembentukan Pengadilan
Tipikor di beberapa daerah, penulis mengajukan protes ke KPK dan Mahkamah
Agung. Bila pembentukan pengadilan itu di daerah tidak diperkuat dengan SDM
yang mumpuni dan berintegritas maka hanya menjadi pengadilan dagelan.
Pengadilan Tipikor hanya menjadi sarana untuk membebaskan pejabat daerah yang
korup.
Pengawasan Publik
Mengapa demikian? Jawabnya adalah
pengawasan publik dan kontrol terhadap perilaku hakim di daerah sangat
lemah. Padahal Mahkamah Agung dan Komisi Yudisial hanya ada di Jakarta. Untung
kewenangan KPK untuk melakukan penyadapan tidak dihapus. Seandainya kewenangan
penyadapan itu dihapus maka Pengadilan Tipikor di daerah bisa menjadi surga
baru bagi para koruptor. Suap-menyuap dan bebas-membebaskan perkara korupsi
tidak akan terungkap.
Kemelemahan pengawasan menjadikan
para hakim mudah goyah menghadapi tiap tawaran dan godaan yang terus datang dan
menggiurkan. Hal ini karena semua orang yang ditangani adalah pejabat akif dan
mantan pejabat yang memiliki banyak uang. Lazim, koruptor rela untuk berbagi
kekayaan dari hasil korupsi asal sang pengadil mau membebaskan atau
setidak-tidaknya menjatuhkan vonis ringan. Akibatnya transaksi harga vonis
menjadi hal yang tidak bisa dihindari.
Kondisi seperti itu menjadikan
seseorang akan mudah berubah pikiran dan perilakunya. Orang yang tidak
terbiasa, bisa tergoda, ingin sesekali mencoba. Yang sebelumnya memiliki bakat
melobi dan menyuap sewaktu jadi pengacara maka ketika jadi hakim ad hoc Tipikor akan mempraktikkan untuk
menjadi penerima suap. Ingin menikmati seperti apa nikmatnya menerima suap.
Karena hakim itu banyak godaan
yang menggiurkan dan bisa mendorong ke jurang kenistaaan maka Rasulullah dalam
sebuah hadis yang diriwayatkan Imam Ahmad menerangkan bahwa hakim itu ada tiga
kelompok.
Dua kelompok masuk neraka dan
satu kelompok lainnya masuk surga. Hakim yang masuk surga adalah hakim yang
mengetahui mana perkara yang benar lalu memutus dengan pengetahuannya.
Adapun dua hakim yang masuk
neraka adalah yang mengetahui mana perkara yang benar namun dia tidak memutus
dengan pengetahuannya. Hakim yang tidak mengetahui mana perkara yang benar
pasti memutus perkara tanpa menggunakan ilmu. Kejahatan yang dilakukan oleh
hakim seperti itulah yang justru lebih berbahaya ketimbang yang dilakukan hakim
yang memang benar-benar tidak tahu. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar