Selasa, 11 September 2012

Integritas Hakim Tipikor Daerah


Integritas Hakim Tipikor Daerah
Jabir Alfaruqi ;  Koordinator KP2KKN Jawa Tengah 2007-2010,
Ketua PW Ansor Jateng 
SUARA MERDEKA, 11 September 2012


"Hakim yang masuk neraka adalah yang tahu mana perkara yang benar namun tidak memutus dengan pengetahuannya"

KETIKA Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) membawa proses pengadilan kasus suap yang dilakukan pejabat kota Semarang, yang juga melibatkan wali kota, ke pengadilan di Jakarta banyak pihak melancarkan protes. Bukan hanya para terdakwa yang mengajukan keberatan melainkan juga beberapa anggota Komisi III DPR, yang membidangi hukum pun menemui Ketua PN Semarang dan mempertanyakan kenapa kasus di daerah harus diadili di Jakarta?

Apa yang dilakukan oleh KPK itu dianggap oleh anggota parlemen sebagai perbuatan yang merendahkan Pengadilan Tipikor Semarang. KPK awalnya memang tidak menjelaskan secara rinci kenapa harus disidangkan di Jakarta. Ini bukan berarti KPK tidak mememiliki dasar hukum dan fakta kuat melainkan komisi antisuap itu ingin menyadarkan semua pihak, termasuk anggota Komisi III DPR, bahwa yang dilakukan KPK itu benar dan berdasar.

Penanganan kasus suap yang melibatkan Wali Kota Semarang nonaktif Soemarmo HS belum lama dilakukan dan belum hilang dari ingatan publik. Tiba-tiba masyarakat dikejutkan oleh berita penangkapan hakim ad hoc Pengadilan Tipikor Semarang Kartini Julianna Mandalena Marpaung dan hakim ad hoc Pengadilan Tipikor Pontianak Heru Kusbandono pada peringatan hari kemerdekaan 17 Agustus lalu.

Kartini Marpaung adalah salah satu hakim ad hoc Pengadilan Tipikor Semarang bersama dengan dua hakim lain, yakni Lilik Nuraini dan Asmadinata, yang kerap memvonis bebas beberapa kasus korupsi, yang secara hukum tak logis diputus bebas. Tersangka lain dalam kasus sama divonis bersalah kenapa tersangka yang lain diputus bebas. Keganjilan ini ternyata bukan hanya satu dua kasus tetapi terjadi pada beberapa perkara.

Komisi antisuap sudah memiliki data dan menganalisis semua putusan hakim yang kerap memvonis bebas para koruptor. Sejak itu sebenarnya sudah ada yang menjadi target sasaran. Namun hal ini tidak disampaikan kepada publik ketika ada yang ngotot untuk melaksanakan pengadilan kasus korupsi yang melibatkan petinggi daerah, baik eksekutif maupun legislatif, di Semarang.

KPK hanya ingin menyampaikan pesan kepada pihak-pihak yang ngotot untuk mengadili pejabat daerah di Semarang bahwa Pengadilan Tipikor di daerah, termasuk di Semarang, masih  jauh dari harapan. Integritas dan independensi para hakim masih rapuh sehingga mudah diintervensi oleh petinggi yang terlibat korupsi.

Mencari orang yang cerdas dan mampu memahami UU tidak terlalu sulit karena dunia pendidikan hukum kita bisa menyiapkannya. Mencari orang yang memiliki pengalaman hukum atau penegakan hukum juga tidak terlalu sulit. Yang sulit adalah mencari hakim yang berintegritas dan mampu menjatuhkan vonis dengan penuh integritas.

Pada awal pembentukan Pengadilan Tipikor di beberapa daerah, penulis mengajukan protes ke KPK dan Mahkamah Agung. Bila pembentukan pengadilan itu di daerah tidak diperkuat dengan SDM yang mumpuni dan berintegritas maka hanya menjadi pengadilan dagelan. Pengadilan Tipikor hanya menjadi sarana untuk membebaskan pejabat daerah yang korup.

Pengawasan Publik

Mengapa demikian? Jawabnya adalah pengawasan publik dan kontrol terhadap perilaku hakim di daerah sangat  lemah. Padahal Mahkamah Agung dan Komisi Yudisial hanya ada di Jakarta. Untung kewenangan KPK untuk melakukan penyadapan tidak dihapus. Seandainya kewenangan penyadapan itu dihapus maka Pengadilan Tipikor di daerah bisa menjadi surga baru bagi para koruptor. Suap-menyuap dan bebas-membebaskan perkara korupsi tidak akan terungkap.

Kemelemahan pengawasan menjadikan para hakim mudah goyah menghadapi tiap tawaran dan godaan yang terus datang dan menggiurkan. Hal ini karena semua orang yang ditangani adalah pejabat akif dan mantan pejabat yang memiliki banyak uang. Lazim, koruptor rela untuk berbagi kekayaan dari hasil  korupsi asal sang pengadil mau membebaskan atau setidak-tidaknya menjatuhkan vonis ringan. Akibatnya transaksi harga vonis menjadi hal yang tidak bisa dihindari.

Kondisi seperti itu menjadikan seseorang akan mudah berubah pikiran dan perilakunya. Orang yang tidak terbiasa, bisa tergoda, ingin sesekali mencoba. Yang sebelumnya memiliki bakat melobi dan menyuap sewaktu jadi pengacara maka ketika jadi hakim ad hoc Tipikor akan mempraktikkan untuk menjadi penerima suap. Ingin menikmati seperti apa nikmatnya menerima suap.

Karena hakim itu banyak godaan yang menggiurkan dan bisa mendorong ke jurang kenistaaan maka Rasulullah dalam sebuah hadis yang diriwayatkan Imam Ahmad menerangkan bahwa hakim itu ada tiga kelompok.

Dua kelompok masuk neraka dan satu kelompok lainnya masuk surga. Hakim yang masuk surga adalah hakim yang mengetahui mana perkara yang benar lalu memutus dengan pengetahuannya.

Adapun dua hakim yang masuk neraka adalah yang mengetahui mana perkara yang benar namun dia tidak memutus dengan pengetahuannya. Hakim yang tidak mengetahui mana perkara yang benar pasti memutus perkara tanpa menggunakan ilmu. Kejahatan yang dilakukan oleh hakim seperti itulah yang justru lebih berbahaya ketimbang yang dilakukan hakim yang memang benar-benar tidak tahu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar