Ngantuk!
Franz Magnis-Suseno ; Guru
Besar Emeritus Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara
|
KOMPAS,
08 September 2012
Mudah ngantuk itu bakat atau
penyakit? Yang jelas, saya mudah sekali mengantuk begitu mendengar orang lain
bicara. Itu warisan dari ayah saya.
Waktu saya masih di rumah,
habis makan malam, keluarga kami duduk-duduk bersama, ngobrol, baca-baca.
Begitu pula kalau ada tamu keluarga dan kenalan berkunjung. Namun, biasanya
ayah saya duduk di sofa, tertidur nyenyak: 10 menit, seperempat jam, tak lebih.
Kami sudah biasa.
Bahwa saya mewarisi penyakit
itu, saya ketahui waktu jadi mahasiswa filsafat di Jerman. Terutama di kuliah
pertama, saya harus tidur dulu 10-15 menit, baru bisa mulai segar. Karena itu,
saya selalu memilih tempat duduk di baris paling depan, di kursi paling luar,
karena tempat itu di luar sudut pandang profesor.
Rekan mahasiswa yang iri sering
menegur: ”Kamu kok bisa tidur enak,
kemudian langsung menanyakan sesuatu!” Memang itulah taktik saya agar para
profesor merasa tenang. (Hanya sekali, sudah di Yogyakarta, saya menanyakan
sesuatu yang ekstrem bodoh, tetapi dosen malah mengira itu tanda wisdom lebih tinggi!)
Dua kali—sekali di Jerman,
sekali di Yogyakarta—saya tertidur begitu nyenyak hingga jatuh dari kursi di
tengah kuliah dengan bunyi besar. Dua kali itu profesor kaget, mengira saya
kena serangan jantung. Saya hanya bilang, ”Tidak
apa-apa.”
Dengan pengalaman itu, saya tak
pernah marah kalau mahasiswa di kuliah saya ngantuk. Biasanya di kuliah pertama
saya jelaskan tata tertib yang saya minta: omong-omong mengganggu saya. Namun,
kalau ada yang mengantuk, tak apa-apa, asal tidak mengorok. Pengalaman saya,
tidur 10 menit saja membuat segar untuk dua jam berikut. Itu lebih baik
daripada (amatan saya berulang-ulang) mahasiswa bersusah payah berusaha
mempertahankan sekurang-kurangnya satu mata terbuka: gantian kiri atau kanan.
Rasa saya, mesakaké wongé.
Kacau-Balau
Dua kali saya mengalami sesuatu
yang mengherankan saya sendiri. Yang pertama pada 1980-an, waktu kuliah
filsafat di UI. Malam sebelumnya saya pulang dari Yogyakarta naik kereta api.
Saya memang mengantuk. Nah, di tengah kuliah, saya sepertinya mengalami out of body experience. Saya
mendengarkan ada orang omong. Lama-kelamaan saya jadi sadar, yang omong itu
saya sendiri. Omongan itu kacau-balau. Ternyata saya tertidur sedang mengajar,
tetapi kok omong terus? Saya lalu memukul meja dan berteriak, ”Saya butuh
kopi!” ”Betul, Romo,” jawab mahasiswa dan mengambil kopi.
Pengalaman kedua di Sekolah
Tinggi Filsafat Driyarkara pada tahun 1970-an. Sekitar pukul 12 siang. Panas
sekali. Belum ada AC. Kuliah saya itu bacaan teks Inggris. Saya memberi mereka
teks untuk dianalisis sendiri. Semua sibuk dan diam. Kiranya saya lalu
tertidur.
Akhirnya saya mulai sadar
kembali. Suasana amat sepi. Semua mahasiswa kelihatan tertidur juga. Namun,
yang mengagetkan saya: kaki kanan saya ada di atas meja di depan saya!
Diam-diam saya turunkan kakiku, baru saya ribut-ribut sedikit agar mahasiswa
saya terbangun juga. Hanya ada satu mahasiswa yang ternyata tidak tertidur dan
menyaksikannya.
Saya selalu sadar akan
bahaya itu. Pernah Alvin Toffler, futurolog termasyhur itu, berceramah di
Gedung Manggala Wanabakti. Yang hadir barangkali seribu orang. Saya duduk agak
di belakang. Di samping saya duduk Wiratmo Soekito (almarhum). Begitu Toffler
mulai omong, saya tertidur pulas. Sesudah kira-kira 15 menit saya terbangun,
merasa segar, dan mulai mendengarkan Toffler dengan perhatian. Lima menit
kemudian Pak Wiratmo-lah yang tertidur. Beda dengan saya, beliau mendengkur,
cukup keras pula. Orang pada mulai memandang ke arah kami. Betapa bangga hatiku
duduk tegak dengan mata terbuka.
Waktu saya ikut penataran
P4, angkatan nasional ke-8 di Gedung BP7, Pejambon, saya didudukkan di baris
kedua dari depan. Ngeri sekali! Kalau saya ngantuk sedikit saja, mesti langsung
ketahuan. Akhirnya saya mengatasi masalah dengan bekerja keras. Saya memakai
ceramah yang diberikan untuk mempelajari secara intensif seluruh materi kami.
Jadi, saya baca teks-teks P4, UUD 1945, dan GBHN. Saya garis bawahi, saya beri
warna. Pokoknya sibuk sekali. Saya tidak jadi mengantuk.
Satu kali penceramah,
seorang mantan dirjen yang suka banyak melucu, menjadi gelisah melihat saya.
Rupa-rupanya ia takut bahwa saya mencatat setiap sabda dari mulutnya lalu
melaporkannya kepada pemimpinnya. Akhirnya beliau tak tahan, menyapa saya, ”Pak
Frans, tak perlu segala kata saya dicatat.” Saya jawab, ”Enggak apa-apa, Pak.”
Sekarang pun saya selalu
harus berjuang. Nah, bayangkan, tahun lalu Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia
mengadakan pertemuan tahunan di Puspiptek, Serpong. Bapak Presiden akan
memberikan ceramah penting! Saya gelisah. Dengan rambut putihku tak mungkin
saya tak diperhatikan. Jangan-jangan beliau tersinggung kalau kepala saya
angguk-angguk, saya lantas malah ditegur beliau.
Karena acara itu di aula
besar, saya bisa mencari tempat duduk jauh di pojok belakang (dan dengan tegas
menolak ajakan rekan-rekan akademisyen
untuk duduk bersama mereka). Amanlah saya. Ternyata waktu Bapak Presiden
berpidato, saya malah tidak ngantuk!
Berhadapan dengan seorang
perempuan yang berselingkuh, Yesus pernah ditanya apakah perempuan itu boleh
dirajam sesuai dengan hukum Taurat. Jawaban Yesus, ”Barangsiapa tidak berdosa, hendaklah ia yang pertama melemparkan batu.”
Tak ada yang berani. Saya suka dengan ucapan ini.
Ada ayat lain dari Mazmur
yang menghibur saya: ”Tuhan memberikan
(yang baik) kepada yang dicintai-Nya pada waktu tidur.” ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar