Kembalikan
Jakarta kepada Warganya
Ivan A Hadar ; Arsitek
Perencana Kota
|
KOMPAS,
08 September 2012
Putaran kedua Pilkada DKI
Jakarta akan berlangsung 20 September 2012. Dua pasangan dengan perolehan suara
tertinggi pada putaran pertama, Jokowi-Ahok dan Foke-Nara, kembali berlomba
untuk memenangi suara warga.
Siapa pun yang nanti
terpilih dipastikan dihadang berbagai permasalahan kompleks. Mulai dari
kemacetan, banjir, kepadatan penduduk, kemiskinan, menjamurnya kampung kumuh
hingga seabrek permasalahan lainnya. Tanpa dukungan pemerintah pusat dan
instansi terkait, serta terjalinnya sinkronisasi dengan pemda tetangga,
permasalahan yang dihadapi akan kian sulit ditangani. Lebih penting lagi, tanpa
keterlibatan dan dukungan warganya, persoalan Jakarta mustahil teratasi.
Selama ini, meski dilanda
berbagai masalah berat, oleh banyak pengamat perkotaan, Pemerintah DKI Jakarta
dinilai kurang memiliki sense of crisis,
dan belum mau berkorban untuk kepentingan warganya. Hal ini, misalnya, terlihat
dari alokasi sekitar 65-75 persen APBD untuk keperluan pemerintah, baik
eksekutif maupun legislatif. Rata-rata hanya sekitar seperempat sisa anggaran
yang dialokasikan untuk pembangunan. Ini pun belum tentu utuh karena dikorupsi
atau tidak tepat sasaran.
Kita berharap momentum
pilkada kali ini mampu menggugah kesadaran siapa pun yang terpilih untuk
memperhatikan berbagai aspirasi warganya. Tuntutan pelibatan warga atau jargon
”kembalikan Jakarta kepada warganya”,
yang beberapa tahun terakhir gencar disuarakan, tentu berkaitan erat dengan
kurangnya kesempatan bagi aktualisasi diri mayoritas warga Jakarta dalam proses
kreatif perancangan, implementasi, dan pemeliharaan berbagai sarana kota.
Partisipasi Warga
Dalam kaitannya dengan
proses menyediakan kesempatan itu, penting ditelusuri dan dicarikan jawaban
atas berbagai pertanyaan berikut. Siapa dan mewakili kepentingan apa saja,
misalnya, pelaku yang terlibat dalam proses kreatif tersebut, serta bagaimana
hubungan antara mereka. Apa saja organisasi dan pranata yang perlu dikembangkan
agar terjadi sinergi berbagai kepentingan yang berbeda untuk membangun,
mengoperasikan, dan merawat kota menjadi bersahabat, memesona, adil, makmur,
dan layak mukim bagi warganya.
Secara sederhana, para
pelaku pembangunan kota bisa dikategorikan sebagai pemerintah, komunitas usaha,
kelompok kepentingan dan perseorangan. Setiap pihak punya kepentingan, juga
sumber daya yang berbeda dan berpotensi melahirkan benturan. Benturan kepentingan
merupakan gejala kontekstual yang berubah dalam ruang dan waktu. Gejala
tersebut bisa diamati dalam berbagai implementasi rancangan kota, seperti
peremajaan pusat dan pinggiran kota serta daerah transisi.
Dalam proses pembangunan
kota seperti yang digambarkan di atas, nyaris semua keputusan dan pelaksanaan
rancangan ditentukan dua pemain utamanya, yaitu pemerintah kota dan pengusaha.
Padahal, di dalam negara yang dihantui oleh masalah lapangan kerja dan
kemiskinan, setiap kegiatan pembangunan kota seharusnya dikaitkan dengan visi
pembangunan berkeadilan.
Selama ini, gagasan yang
melandasi perancangan Jakarta nyaris tidak melibatkan masyarakat luas. Tanpa
banyak diketahui publik, misalnya, DKI memiliki beberapa Rencana Tata Ruang
Wilayah (RTRW) 2011-2020. Sebelumnya, pada RTRW 2010, Jakarta boleh dibilang
”tidak membumi”. Masalah klasik permukiman kumuh, pedagang kaki lima, tak
tersentuh. Dalam praktik, penggalian dan pemecahan masalah perkotaan, kalaupun
dilakukan, dimonopoli perancang kota dan penentu kebijakan.
Padahal, banyak bukti
menunjukkan bahwa warga kota sering lebih tahu permasalahan kota sesungguhnya,
bahkan mampu mengeluarkan ide-ide kreatif dan segar. Salah satu contoh best practise dari Porto Alegre,
Brasilia, kiranya menjadi bahan pembelajaran bagi Jakarta, terutama dalam
memetakan kebutuhan mendesak serta merancang APBD secara partisipatif.
Belajar dari Porto
Alegre
Porto Alegre adalah kota
berpenduduk 1,3 juta jiwa, di negara bagian Rio Grande do Sul, Brasil. Bermula
dari sebuah pusat industrialisasi, Porto Alegre berubah jadi pusat ekonomi
perdagangan. Dari waktu ke waktu, kota itu kian menarik sebagai tujuan migrasi
penduduk miskin pedesaan. Akibatnya, selain lebarnya kesenjangan sosial
ekonomi, terbentuk pula kawasan kumuh berskala besar yang selama puluhan tahun
terpinggirkan dari pelayanan infrastruktur kota.
Ketika Partai Buruh
memenangi pemilu di negara bagian ini, dikembangkan model inovatif dan
partisipatif untuk mengakhiri kondisi buruk tersebut. Model yang dikembangkan
adalah Orcamento Participativo (OP),
yang bisa diterjemahkan sebagai ”Keterlibatan
Warga dalam Perencanaan APBD”. Dalam kerangka OP, kota dibagi 16 subregion.
Dalam forum-forum lokal dan regional, warga berdiskusi tentang permasalahan
kota, serta mencarikan solusinya.
Selain memperoleh informasi
tentang sistem baru, setiap warga juga dibekali brosur setebal 30 halaman
tentang fungsi dan haknya sebagai warga kota. Konon, saat ini, 85 persen warga
Porto Alegre telah memahami OP dan 20.000-an warga terlibat aktif dalam
melakukan konseling.
Dari ratusan delegasi forum,
40 orang dipilih sebagai perwakilan dan berhak meneliti penggunaan keuntungan
pemerintah kota. Berbagai usulan dari forum kota itu dirangkum dalam rancangan
APBD, yang kemudian diserahkan oleh gubernur terpilih kepada dewan kota,
sebagai satu-satunya instansi yang berhak memutuskan APBD.
Dengan cara demikian, warga
kota sejak beberapa tahun terakhir dapat langsung memutuskan penggunaan dana
APBD yang berjumlah sekitar 750 juta dollar AS. Sebagian besar dana itu
dimanfaatkan untuk kemaslahatan lapis sosial terbawah, misalnya untuk kawasan
kumuh yang saat ini sebagian besar telah memperoleh layanan publik, seperti air
minum, kanalisasi, jalan, sistem pendidikan, pembuangan dan daur ulang sampah,
perbaikan alat transportasi kota, serta pengadaan jaringan pembuangan air
limbah.
Model partisipatif ini tak
terbatas pada aspek distribusi. Dengan moto ”siapa memiliki lebih, membayar lebih”, semua sistem yang berlaku
sebelumnya ditata ulang. Perusahaan besar diwajibkan terlibat dalam social engagement, misalnya ketika
perusahaan ingin memperluas areal pabriknya. Selain itu, dewan kota bersama
pihak terkait terlibat dalam perencanaan struktural berkaitan dengan arah
perkembangan ekonomi serta aspek teknologi dan budaya urban.
Suksesnya ”model Porto Alegre” telah menjadi acuan
ratusan dewan kota di Brasilia. Dalam kaitan ini, model demokrasi
representatif, setidaknya di Brasilia, semakin kehilangan pamor dibandingkan
keterlibatan langsung warga kota lewat Orcamento
Participativo. Gubernur terpilih Jakarta, kota yang mempunyai dewan kota
mulai dari tingkat kelurahan, tak ada salahnya belajar dari pengalaman Porto
Alegre sebagai salah satu acuan. Kembalikan
Jakarta kepada warganya! ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar