Toleransi
terhadap Intoleransi
Benny Susetyo ; Rohaniman
|
KOMPAS,
08 September 2012
Menurut laporan Setara Institute, dalam kurun
Januari-Juni 2012, terdapat 129 peristiwa pelanggaran kebebasan beragama yang
menyebar di 22 provinsi.
Lima provinsi dengan tingkat
pelanggaran paling tinggi: Jawa Barat, Jawa Timur, Jawa Tengah, Aceh, dan
Sulawesi Selatan.
Sudah lama kita memberi toleransi
terhadap intoleransi dalam sepak bola, dunia ekonomi, politik, dan urusan
beribadat. UUD 1945 sudah sejak awal maupun dengan amendemennya menjunjung
tinggi toleransi sejati atas dasar Pancasila.
Dengan memberi toleransi atas
intoleransi, yakni membiarkan saja ketidaktoleran sekelompok orang yang
mengkhianati RI berikut UUD 1945 dan Pancasila dengan menindas sesama warga
negara yang menjalankan hak asasinya, sesungguhnya kita sedang membohongi satu
sama lain saban kita menyanyikan ”Indonesia Raya”, mengucapkan rumus Pancasila,
dan mengangkat sumpah di pengadilan.
Pengingkaran
Membiarkan intoleransi
berkecamuk, padahal kita dalam posisi diberi kekuasaan menegakkan UUD 1945,
pada dasarnya bukanlah sekadar kegagalan menjalankan program atau kurang
suksesnya rencana kerja. Tindakan itu mengingkari sumpah jabatan dan membohongi
rakyat yang menjadi saksi tekad bakti kita dalam pemilihan umum.
Tidak cukup kita katakan ”itu hanyalah kegagalan dalam satu dua segi
program” sebab masa- lahnya tak dapat dihitung secara kuantitatif seperti
pelaksanaan proyek membangun rumah atau jembatan menurut perhitungan manajemen.
Masalahnya terletak pada pertanggungjawaban kualitatif mengenai hidup-matinya
orang dan tentang hak asasi manusia.
Toleransi terhadap intoleransinya
sekelompok rakyat atas warga lain adalah pilihan sadar untuk bersikap
meninggalkan janji suci yang diucapkan untuk melaksanakan sila Ketuhanan Yang
Mahaesa. Pada hakikatnya sikap itu mengingkari iman dalam agama mana pun: Tuhan
melihat segalanya sampai ke lubuk hati kita semua dan Tuhan menghendaki kita
saling mendukung dalam berbakti.
Semakin bermasalah lagi
kalau seseorang atau suatu kelompok toleran terhadap intoleran- sinya golongan
tertentu atas kelompok lain dengan memakai dasar religius, padahal kita bersama
sudah mempunyai dasar bersama sebagai satu bangsa: UUD 1945 dan Pancasila.
Kalau masih mau mempertahankan
dasar-dasar kita membentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia, kita harus
mengakhiri langkah-langkah de facto,
perda, atau aturan kenegaraan yang toleran terhadap intoleransi pelbagai
saudara kita sebangsa dalam bidang politis, yuridis, sosial, ekonomi, sampai
kepada kemerdekaan beragama dan beribadat.
Bila kita tidak menyudahi
praktik tak konsekuen dan tak konsisten itu, pujian mengenai sifat toleran
bangsa kita hanyalah semu belaka. Sumpah jabatan kita sekadar ritual tanpa
makna. Janji pemilu tak memiliki arti sama sekali. Dibutuhkan kemauan politik
dari penguasa negeri kembali ke Pancasila, UUD 1945, NKRI, dan Bhinneka Tunggal
Ika.
Agama yang hadir di Indonesia
harus menghayati makna keindonesiaan. Persoalan kita saat ini: agama direduksi
ke dalam pemaknaan yang amat sempit. Dalil agama seolah-olah mengabsahkan
perusakan dan pembunuhan tanpa pernah mengangkat dalil lain bahwa tujuan utama
beragama adalah memperoleh kedamaian.
Miopik dan Dangkal
Pemahaman agama secara
miopik dan dangkal seperti itu disebarkan terus-menerus untuk mendidik manusia
bahwa kebenaran agama tersimpan dalam perilaku di luar kemanusiaan.
Pertanyaannya, mengapa sebagi- an orang mudah tertarik dalam pemahaman sempit
seperti ini? Mengapa agama lebih mudah dijadikan sebagai aspirasi daripada
inspirasi dalam kehidupan?
Pemahaman agama yang
terjerembab dalam lubang kegelapan seperti ini memiliki konsekuensi logis:
orang sulit keluar dari pemahaman radikal yang menganggap agama sebagai
satu-satunya pembenaran untuk melakukan teror dan kekerasan.
Mereka yang sudah berada di
dalamnya sulit diajak berkomunikasi. Kehidupannya pun sangat eksklusif:
seolah-olah hidup sendiri di dunia penuh warna ini. Kesadaran toleransinya
tertutup rapat oleh tebalnya ”keimanan” dan keyakinan paling benar sendiri di
antara yang lainnya.
Karena itu, yang ada di
dalam otak mereka ialah melakukan pembasmian orang-orang di luar yang tak
berpemahaman sama dengan dirinya. Dalam kondisi demikian, agama mendapat citra
yang sangat buruk dan tidak manusiawi karena diperankan dalam ruang yang sangat
eksklusif dan hanya untuk golongan tertentu, bukan untuk kebaikan umat manusia.
UUD 1945, NKRI, dan Bhinneka
Tunggal Ika menjadi cara berpikir, bertindak, bernalar, dan berelasi anak
bangsa ini. Agama yang hadir di Indonesia seharusnya menghayati makna
keindonesiaan. Penafsiran teks kitab suci masa kini harus membantu bagaimana
cara beragama kita lebih rasional, toleran, peka, terbuka, dan tidak membuat
orang beriman menjadi picik dan mudah ditipu oleh alasan perjuangan keagamaan. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar