Munir dan
Reformasi Militer
Al araf ; Direktur
Program Imparsial;
Dosen
Studi Strategis Hubungan Internasional Universitas Al Azhar dan Paramadina
|
KOMPAS,
07 September 2012
Pada 7 September 2004, derap
kaki Munir—sang pejuang HAM—terhenti untuk selama-lamanya di dalam pesawat
milik maskapai kebanggaan kita: Garuda Indonesia.
Di tengah hiruk-pikuk
Pilpres 2004 dan perdebatan RUU TNI, Cak Munir—begitu panggilan
akrabnya—dibunuh secara kejam dan sistematis dengan menggunakan racun arsenik.
Hingga kini pengungkapan kasus Munir masih menghadapi jalan buntu.
Sedari awal, pengungkapan
kasus Munir sudah melalui jalan yang berkelok dan penuh keganjilan. Presiden
Susilo Bambang Yudhoyono terlihat setengah hati dalam mengungkap kasus Munir.
Pada awalnya, Presiden SBY tegas menyatakan pengungkapan kasus Munir sebagai test of our history yang kemudian
diikuti dengan pembentukan tim pencari fakta (TPF) melalui keputusan presiden.
Langkah ini tentu disambut baik banyak kalangan. Namun, dalam perjalanannya,
langkah pemerintahan SBY dipenuhi kegamangan dan keragu-raguan.
Presiden SBY tidak berbuat
apa-apa ketika Muchdi PR diputus bebas di tingkat Mahkamah Agung. Padahal,
Komite Aksi Solidaritas untuk Munir sudah mendesak Presiden untuk memerintahkan
Jaksa Agung melakukan peninjauan kembali atas putusan bebas itu sebagai wujud
nyata keseriusan pemerintah.
Pembunuhan terhadap Munir
jelas bukan pembunuhan biasa sehingga penyelesaiannya tidak bisa dilepas begitu
saja oleh Presiden. Pengungkapan kasus ini membutuhkan sebuah kemauan,
kesungguhan, dan konsistensi politik Presiden yang sangat tinggi. Mungkin
dugaan keterlibatan pihak-pihak dalam lembaga intelijen negara menjadi penyebab
kegamangan SBY sehingga kesulitan menemukan aktor di belakang layar kasus
pembunuhan Munir.
Sebagai bentuk pembunuhan
politik, tentu pembunuhan Munir memiliki motif politik spesifik: dilakukan
orang berkeahlian khusus, direncanakan matang, dilakukan secara bersengkokol,
dan kekuatan politik ataupun ekonomi yang besar di dalam menggerakkan operasi
pembunuhan tersebut. Keterlibatan oknum pejabat Garuda beserta pilot
Pollycarpus dalam memfasilitasi ataupun terlibat langsung dalam pembunuhan
Munir jelas tak bisa dilakukan tanpa adanya kekuasaan yang kuat yang dapat
memengaruhi maskapai itu.
TPF kasus Munir sendiri
menyimpulkan pembunuhan Munir tidak melibatkan satu-dua orang semata. TPF pun
merekomendasikan pihak-pihak tertentu di lingkungan Garuda dan Badan Intelijen
Negara yang terlibat dalam konspirasi pembunuhan Munir harus diperiksa secara
intensif dan dijadikan tersangka. Sayangnya, hingga kini beberapa pelaku yang
diduga terlibat dalam pembunuhan Munir masih menghirup udara kebebasan.
Dengan kata lain, dalang
pembunuh Munir masih bebas berkeliaran di sekeliling kita dan masih mungkin
untuk melakukan pembunuhan politik serupa. Pada titik ini, pengungkapan secara
tuntas kasus Munir bukan hanya menjadi kepentingan keluarga Munir, tetapi
menjadi kepentingan kita semua dalam mewujudkan rasa keadilan dan rasa aman
dalam masyarakat.
Gagasan Reformasi Militer
Pengungkapan kasus Munir
hingga tuntas tentu tak bisa ditawar-tawar. Namun, usaha itu juga harus
dilakukan paralel dengan meneruskan cita-cita Munir dalam memperjuangkan
penegakan hak asasi manusia (HAM) di republik ini.
Sebagai tokoh pejuang HAM
yang gigih dan pantang menyerah, gagasan dan pemikiran Munir dalam penegakan
HAM mensyaratkan perlunya melakukan reformasi militer guna tercipta tentara
profesional yang menghormati HAM, tunduk terhadap supremasi sipil dan prinsip
negara hukum, akuntabel, tak berpolitik dan berbisnis, serta ahli dalam
bidangnya.
Dalam konteks itu, usaha mengawal dan mengkritisi pembahasan RUU
Keamanan Nasional di parlemen jadi penting dilakukan oleh masyarakat sipil. Hal
ini mengingat draf yang diajukan pemerintah itu memuat pasal-pasal bermasalah
yang dapat mengembalikan peran TNI seperti pada masa lalu.
Meski reformasi militer
sudah meraih beberapa capaian positif, masih terdapat beberapa agenda krusial
yang menjadi pekerjaan rumah pejuang HAM, khususnya terkait penuntasan agenda
reformasi peradilan militer. Kritik Munir bahwa peradilan militer sering kali
jadi sarana impunitas oknum TNI yang melanggar HAM masih tetap relevan hingga
saat ini. Oleh karena itu, gagasan melakukan reformasi peradilan militer dengan
melakukan perubahan terhadap UU No 31/1997 tentang Peradilan Militer adalah
salah satu agenda penting yang sering disuarakan almarhum.
Sayangnya pembahasan
perubahan UU No 31/1997 ini terus mengalami jalan buntu. Pemerintah dan
parlemen periode 2004-2009 gagal mewujudkan perubahan tersebut. Tidak hanya
itu, revisi legislasi ini pun bahkan tidak masuk dalam agenda prolegnas tahun
2012 maupun 2013. Padahal, agenda reformasi peradilan militer secara tersirat dan
tersurat telah jadi mandat UU No 34/2004 tentang TNI.
Gagasan Munir dalam
mewujudkan tentara yang profesional juga terlihat dari pemikirannya tentang
pentingnya peningkatan kesejahteraan prajurit bagi anggota TNI. Hal itu
dilontarkan almarhum semasa hidup dalam beberapa forum diskusi ataupun dalam
perbincangan antara almarhum dan penulis.
Sahabat Munir, Ikrar Nusa
Bakti, juga mengakui perjuangan meningkatkan kesejahteraan prajurit adalah
bagian perjuangan Munir dalam membahas UU TNI. Meski saat ini gaji prajurit
meningkat, hal itu belum cukup memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari para
prajurit tamtama dan bintara. Kabar adanya prajurit yang menyambi kerja lain
untuk memenuhi kebutuhan hidupnya akibat kesejahteraan yang minim masih kerap
terdengar. Belum lagi masih adanya dugaan kasus uang lauk-pauk dan uang
tunjangan prajurit yang dikorup atasannya.
Di sisi lain, Munir juga
sering kali mendiskusikan ide mengurangi dominasi Angkatan Darat dan pentingnya
mewujudkan kekuatan maritim yang kuat. Di mata Munir, strategi dan orientasi
pertahanan Indonesia tak berubah dari masa ke masa, yakni lebih berorientasi ke
darat sementara realitas negara Indonesia adalah negara kepulauan yang kekuatan
maritimnya masih jauh dari yang diharapkan.
Meski transformasi
pertahanan penting dilakukan, bagi Munir, transparansi dan akuntabilitas serta
pemberantasan korupsi dalam sektor pertahanan dan keamanan mutlak dilakukan.
Ini mengingat masih terdapat kasus-kasus pengadaan peralatan militer yang
terindikasi korupsi.
Terakhir, agenda utama yang
penting untuk terus diperjuangkan adalah meneruskan perjuangan penyelesaian
kasus-kasus pelanggaran HAM. Sebutlah seperti kasus penghilangan orang secara
paksa, Tragedi Trisakti dan Semanggi, pelanggaran HAM di Aceh dan Papua, serta
beberapa kasus lainnya yang belum juga mendapatkan titik terang.
Cak, suaramu kini tentang
Indonesia sudah tak terdengar lagi dalam diskusi sore di Imparsial, tetapi ide
dan pemikiranmu adalah kekayaan peradaban yang harus terus dirawat oleh setiap
kami yang peduli akan kemanusiaan dan perdamaian. Salam hormat dan tangis untukmu, Cak.... ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar