Kasus Sampang
dan Paradoks Keberagamaan
Joko Wahyono ; Peneliti di
Center for Study of Religions
and
Social-Cultural Diversity UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta
|
SINAR
HARAPAN, 06 September 2012
Keberadaan agama (Islam) sering
kali menampakkan wajah ganda (double face).
Di satu sisi, agama bersifat rahmatan lil
alamin (rahmat bagi semua), mengajarkan kerukunan dan perdamaian.
Di sisi lain, agama kerap menjadi
sumbu pemicu lahirnya bencana, konflik, dan kekerasan antara sesama pemeluk
agama.
Meski terdapat penyanggahan
apologetis (pembelaan diri) bahwa agama secara esensial hanya mengajarkan
perdamaian dan menentang kekerasan, tak dapat dielakkan penyalahgunaan agama
oleh manusia untuk kepentingan tertentu kerap menyulut kekerasan. Pendek kata,
fenomena aksi kekerasan atas nama agama secara riil terjadi dalam kehidupan
kita.
Tragedi kekerasan warga Islam
Syiah di Sampang, Madura, Jawa Timur sungguh memancarkan sisi paradoksal ajaran
agama. Sejumlah tokoh agama menilai bahwa kekerasan itu bukanlah konflik antara
aliran agama Sunni-Syiah, melainkan murni berlatarbelakang keluarga. Mereka
adalah Tajul Muluk yang kebetulan pemimpin Syiah dengan saudara mudanya, Rois,
pemimpin Sunni.
Karena berlarut-larut sejak 2004
silam, konflik berkembang melibatkan pengikut kedua tokoh pemimpin aliran Islam
tersebut. Namun, apa pun motifnya, segala bentuk kekerasan tidak bisa
dibenarkan. Kekerasan, menurut Martin Luther King, Jr (1958), akan menjadi
spiral menurun yang berakhir dengan kehancuran bagi semua orang.
Di sinilah negara harus cermat
menangani konflik semacam ini. Terlalu dangkal jika konflik kaum Syiah Sampang
hanya dilihat sebagai dendam persaudaraan. Apakah negara lupa bahwa konflik
horizontal akan mengancam integrasi bangsa dalam genggaman NKRI?
Kekerasan akan melahirkan
masyarakat yang sakit, karena terjebak dalam kungkungan kebencian yang
memustahilkan persaudaraan. Kekerasan meninggalkan kepahitan bagi korban dan
kebengisan bagi para pelaku. Belum lagi kerugian material dan ongkos politik
yang mahal. Warisan kekerasan adalah kerajaan kekacauan tanpa akhir.
Mentalitas Patuh
Dalam bingkai masyarakat
multikultural, sulit menilai bahwa kekerasan terhadap kaum Syiah Sampang sama
sekali tidak ada korelasinya dengan motif keragaman aliran keagamaan. Pada
kenyataannya, konflik tersebut sarat sentimen aliran Islam, Sunni-Syiah.
Sudah jamak kita ketahui bahwa
hubungan dua kekuatan besar mazhab Islam, Suni-Syiah, ini acap kali diwarnai
ketegangan yang berujung pada konflik. Kita tidak bisa menolak fakta yang
terjadi di Irak dan Iran. Dua mazhab besar Islam, Sunni-Syiah, saling
berhadap-hadapan di satu sisi. Sementara
di sisi lain, negara-negara Arab dan Iran saling berhadapan.
Dari sinilah konflik Syiah di
Sampang memiliki akar sejarah yang panjang. Kita harus sadar bahwa agama sering
kali digunakan sebagai landasan ideologis dan pembenaran simbolis bagi tindak
kekerasan yang dilakukan sebagian umat beragama.
Fungsi ini digunakan untuk
memaknai sejauh mana tatanan sosial, relasi antarpersonal, status, dan
pandangan hidup seseorang dianggap sebagai representasi religius.
Namun, di lapangan, fungsi ini
tak jarang melahirkan kesenjangan dan pertentangan yang berujung pada
permusuhan dan beragam aksi kekerasan. Lebih jauh lagi, betapa naifnya jika
persoalan kebenaran agama harus diselesaikan dengan hanya mengacu pada kehendak
mayoritas.
Di sisi lain, fanatisme
berlebihan melahirkan klaim kebenaran (truth
claim) yang bersifat eksklusif. Eksklusivisme ini memandang penganut ajaran
agama yang berbeda sebagai musuh, sehingga melahirkan arogansi sosial, terutama
ketika ia menjadi mayoritas.
Dalam kondisi ini, mereka
cenderung melakukan pemaksaan dan kekerasan atas nama agama terhadap kelompok
lainnya. Fanatisme ini berkolaborasi dengan mentalitas “asal patuh” terhadap
ajaran agamanya tanpa dibarengi sikap kritis.
Mereka lebih patuh pada pemuka
agamanya dan lebih takut pada hukum agamanya daripada hukum positif negara yang
berlaku. Wajar jika penanganan kasus kekerasan agama dengan pendekatan hukum
tidak pernah tuntas.
Jalan Lain
Dibutuhkan jalan lain untuk
menangani kasus kekerasan Syiah Sampang ini. Beragama adalah soal keyakinan.
Begitu pula antara Sunni-Syiah, keduanya berpijak pada keimanan yang sulit
dijelaskan secara rasional empiris.
Oleh karenanya, kehadiran para
ulama adalah keniscayaan. Upaya rekonsiliasi di antara para ulama Sunni-Syiah
untuk mendamaikan dengan membuka ruang diskusi-dialogis harus dikampanyekan.
Mereka harus menyebarkan
pandangan agama yang terbuka dan toleran. Wajah agama harus berubah dengan
memberikan pertimbangan rasional, keterbukaan pada ajaran lain, kebebasan
umatnya, dan perubahan tata moral. Kesalehan individual harus terejawantah
secara sosial, sehingga tercipta iklim beragama yang demokratis, egaliter, dan
manusiawi.
Ekspresi keberagamaan tak hanya
sebatas logos dan ritus. Ini harus menjadi etos dan kekuatan moral untuk
menangkal isu-isu sektarian yang menghambat terwujudnya ummah wahidah (umat
yang satu).
Para ulama adalah pembawa pesan
pembebasan dan pembelaan terhadap kaum lemah dan tertindas. Mereka harus turun
ke ruang publik, bukan berarti simbolik dan karikatif, untuk memberi jalan
keluar yang ligitimate bagi umat.
Mereka harus mendesak pemerintah
untuk segera mewujudkan regulasi tentang perlindungan terhadap kaum minoritas
agama. Banyak aliran-aliran agama minoritas lainnya yang berbeda dengan aliran
arus utama di negeri ini yang rentan terhadap tindak kekerasan.
Para ulama harus menuntut negara
untuk menegakkan hukum terhadap pelaku kekerasan. Mereka harus mendorong negara
untuk menjadi mahram (protektor/pelindung) bagi kaum minoritas. Jangan sampai
penegakan hukum tidak memberi jalan keluar, sehingga jalur ekstra perlementer
dengan kekerasan dipilih masyarakat.
Negara dan aparat penegak
hukumnya serta para ulama harus berwibawa menjaga stabilitas sosial dan
perasaan nyaman dalam kehidupan beragama, berbangsa, dan bernegara. Jika sejak
awal hal ini dilakukan secara simultan, konflik Sunni-Syiah tidak akan terjadi.
Tidak ada alasan bagi warga Sunni-Syiah untuk tidak saling bergandengan tangan,
karena mereka bersaudara. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar